Alhamdulillah wa Sholatu wa Salamu
‘alaa Rosulillah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam.
Melanjutkan artikel seputar qurban
tahun yang lalu (klik di sini). Terdapat sebuah permasalahan
yang sering ditanyakan atau kita dapati dalam kehidupan sehari-hari.
Permasalahan inilah yang kami jadikan judul artikel kita kali ini.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah pernah
ditanya,
Pertanyaan :
‘Apakah
ibadah qurban disyari’atkan bagi orang yang telah meninggal dunia atau bagi
orang yang hidup (saja –ed.) ?’
Maka beliau Rohimahullah menjawab,
Jawaban :
‘Disyari’atkan bagi orang yang hidup.
Karena sepengetahuan saya,tidak terdapat riwayat dari Nabi Shollallahu
‘alaihi wa Sallamdan Shahabat beliau Rodhiyallahu ‘anhum mereka
berqurbanatas nama orang yang telah meninggal secara tersendiri.
Sesungguhnya ketika Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam masih
hidup, beliau mempunyai anak laki-laki dan perempuan yang meninggal, demikian
pula beliau memiliki istri-istri yang telah meninggal dan sanak saudara. Namun
beliau tidak berqurban atas nama salah seorangpun dari yang disebutkan. Beliau
tidak berqurban atas nama paman beliau Hamzah, tidak juga atas nama istrinya
Khodijah, Zainab bintu Khuzaimah, ketiga anak perempuan beliau dan anak
laki-laki beliau Rodhiyallahu ‘anhum.Seandainya perkara ini
disyari’atkan maka tentulah RosulullahShollallahu ‘alaihi wa Sallam telah
menjelaskannya dalam sunnahnya baik berupa sunnah qouliyah/perkataan atau
sunnah fi’liyah/perbuatan. Namun seseorang hanya berqurban atas
nama dirinya dan keluarganya’.
Beliau Rohimahullah melanjutkan,
‘Adapun memasukkan si mayyit dalam
qurban sebagai hal yang mengikuti/dompleng nama maka hal ini
telah ditunjukkan bahwasanya Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam menyembelih
atas namanya dan ahli baitnya[1].
Sedangkan ahli baitnya termasuk di dalamnya para istri beliau telah meninggal
dan yang masih hidup. Demikian juga beliau berqurban atas nama ummatnya,
termasuk mereka yang sudah meninggal dan yang belum hidup. Namun qurban
atas nama mereka secara tersendiri maka aku tidak mengetahui dalil dari hadits
Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam yang menunjukkan hal itu’.
Beliau Rohimahullah melanjutkan,
‘Oleh karena itulah sebagian para
ulama berpendapat bahwaberqurban atas nama orang yang sudah
meninggal secara khusus/tersendiri sebagai perbuatan bid’ah
yang dilarang.Namun pendapat yang menilai sebagai bid’ah ini merupakan
pendapat yang keras/terlalu berani. Karena minimal kita katakan bahwa hal
itu termasuk dari jenis sedekah dan telah jelas bahwa bolehnya bersedekah atas
nama orang yang sudah meninggal. Walaupun sebenarnya yang diinginkan adalah
qurban dan tidak semata-mata bersedekah dengan daging yang disembelih tersebut,
berdasarkan Firman Allah Subhana wa Ta’ala,
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا
“Daging-daging
unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah”. (QS.
Al Hajj [22] : 37)
Namun hal terpenting dalam hal ini
adalah taqorrub/mendekatkan diri kepada Allah dalam bentuk menyembelih hewan
sembelihan’[2].
Demikian jawaban beliau Rohimahullah. Mudah-mudahan
hal ini jelas bagi kita.
Berkaitan dengan perkataan Syaikh
Muhammad bin Sholeh Al ‘UtsaiminRohimahullah,
“Namun
pendapat yang menilai sebagai bid’ah ini merupakan pendapat yang keras/terlalu
berani”
Maka Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdur Rohman
Alu Bassaam Rohimahullahyang juga merupakan murid Syaikh ‘Abdur
Rohman bin Naashir As Sa’diyRohimahullah mengatakan,
‘Syaikh Hamd bin Naashir Ma’mar Rohimahullah mengatakan,
“Para ulama berbeda pendapat dalam masalah apakah berqurban atas nama mayit
lebih utama atau bersedekah dengan yang senilai dengan qurban atas nama si
mayit ?
Ulama Mazhab Hambali dan mayoritas ahli
fiqih berpendapat
bahwalebih utama menyembelih qurban dari pada bersedekah dengan
sesuatu yang senilai dengan qurbannya. Ini adalah pendapat yang dipilihSyaikhul
Islam Ibnu Taimiyah.
Sebagian ulama lainnya berpendapat
bahwa lebih utama bersedekah dengan sesuatu yang senilai dengan
qurbannya. Ini merupakan pendapat yang lebih kuat dari sisi
tinjauan pendalilan. Sebab qurban atas nama orang
yang sudah meniggal (secara khusus/tersendiri) merupakan sebuah perkara yang
tidak dikenal di masa (Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam). Namun
perkara ini merupakan perkara yang longgar (karena termasuk perkara
ijtihadiyah) Insyaa Allah”[3].
Al Imam Taqiyuddin Abu Bakr bin
Muhammad Asy Syafi’iRohimahullah –penulis Kifaayatul Akhyaar-
mengatakan,
Al Maawardiy Rohimahullah mengatakan,
“Bagi seorang imam kaum muslimin wajib berqurban atas nama kaum muslimin yang
biayanya diambil dari baitul maal. Tidak dibenarkan/dibolehkan
berqurban atas nama mayit menurut pendapat yang paling kuat kecuali
si mayit berwasiat sebelumnya”
Memang benar, boleh menggantikan
terhadap hal yang benar-benar dinadzarkan mayit sebelum meniggal. Allahu a’lam”[4].
Menjelang
‘Isya 26 Dzul Qo’dah 1435 H/21 September 2014 M.
Aditya
Budiman bin Usman
[1] HR. Ahmad (291-292/VI), Ath Thohawi dalam Syarh Ma’ani
Al Atsar (177/IV), Al Bazzaar no. 1208 (Al Kasyf), Al Baihaqi (298/IX). Hadits
ini dinilai hasan oleh Al Haitsami dalam Al Majma’ (24/IV).
[2] Lihat Syarhul Mumthi’ ‘alaa Zaad Al Mustaqni’ oleh
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rohimahullah hal.
323-324/VII terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh.
[3] Lihat Taudhihul Ahkaam min Bulughil Maroom oleh Syaikh
‘Abdullah bin ‘Abdur Rohman Alu Bassaam Rohimahullah hal.
77/VII terbitan Maktabah Asaadiy, Makkah Mukarromah,KSA.
http://alhijroh.com/fiqih-tazkiyatun-nafs/bolehkah-berqurban-atas-nama-orang-yang-sudah-meninggal/#more-1501
Komentar
Posting Komentar