Salaf Shalih antara Ilmu dan Iman
Penulis:
Syaikh ‘Abdullâh Jibrîn
Penterjemah
: Ustâdz Khâlid Syamhudi
Sumber : http://muslim.or.id
Kata Pengantar Syaikh Abdulloh bin Abdurrahman Al
Jibrin
Segala
puji hanya bagi Alloh, aku memuji, memohon pertolongan dan petunjuk hanya
kepadanya. Juga aku memohon kepada-Nya taufik untuk mendapatkan ilmu yang
benar. Semoga salam dilimpahkan kepada Nabi termulia Muhammad, keluarga dan
para sahabatnya. Wa ba'du.
Ini
adalah sebuah risalah yang telah aku sampaikan pada salah satu masjid, kemudian
direkam oleh sebagian pelajar dan ditranskrip. Aku ingin menyebarkannya agar
manfaatnya merata dan supaya pembaca mengetahui apa yang dimiliki oleh para
salaf (pendahulu) umat ini berupa iman yang kuat, kemantapan akidah, istiqomah
di atas kebenaran, berpegang teguh dengan sunnah dan dalil, mempraktekkan
syariat. Dan agar pembaca tahu hasil dari semua itu yang merupakan salah
pengaruh positifnya berupa pengorbanan dalam rangka memenangkan al haq dengan
jiwa dan harta, peperangan dalam mempertahankan keyakinan terhadap agama ini,
meskipun keluarga mereka terkena bahaya kala itu.
Orang
yang seperti ini, dia akan mendapatkan akhir yang terpuji, sebagaimana para
salaf ini, semoga Alloh mencurahkan rahmat-Nya kepada mereka dan menjadikan
kita termasuk di antara orang yang mengikuti mereka. Wa shallohu 'ala Muhammad
wa aalihi wa sallam.
Abdulloh
bin Abdurrahman Al Jibrin
10/1/1413
Muqoddimah
Segala
puji bagi Alloh semoga sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rosululloh,
keluarga dan para sahabatnya serta orang yang berloyalitas kepadanya. Amma
ba'du:1
Cinta
sejati ialah cinta karena Alloh Subhanahu wa Ta'ala. Kita memohon kepada Alloh
cinta-Nya dan cinta orang yang mencintai-Nya. Sebagaimana kita memohon kepada
Alloh agar menjadikan kita termasuk orang-orang yang mencintai Nabi-Nya yang
jujur, para sahabatnya yang baik, yang ucapan mereka dijadikan sebagai hujjah,
karena ilmu mereka terhadap agama ini. Perkataan mereka tidak akan terucap
kecuali kepastian, dan tidak berbuat kecuali karena dalil dan mereka tidak akan
meriwayatkan hadits kecuali setelah tatsabbut (mengadakan pengecekan). Oleh
karena itu Alloh menerangkan keutamaan mereka.
Alloh
berfirman:
"Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia." (QS. Ali Imran:
110)
Dan
sunnah juga menerangkan keutamaan mereka, sebagaimana dalam sabda Rosululloh
shollallohu 'alaihi wa sallam:
"Sebaik-baik
kalian adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi
berikutnya, kemudian generasi berikutnya -Imran mengatakan: 'Aku tidak tahu,
apakah beliau mengatakannya dua atau tiga kali setelah generasi beliau.
Kemudian setelah itu akan ada suatu kaum yang memberikan persaksian padahal
mereka tidak diminta memberikan persaksian, mereka berkhianat sehingga tidak
bisa dipercaya, mereka bernazar tapi tidak dipenuhi dan muncul pada mereka
obesitas (kegemukan).'" (HR. Al Bukhori 2651 dan Muslim 2535)
Dalam
risalah singkat ini kita akan mengetahui siapa salaf itu, ilmu dan amalan
mereka. Mereka adalah suri teladan. Semoga Alloh memberikan taufik kepada kami
untuk menggambarkan langkah-langkah mereka, dan mengikuti petunjuk mereka. Wa
sholallohu 'ala Nabiyina Muhammad wa aalihi wa sallama tasliman katsiran.
Pengertian Salaf dan Keutamaannya
Para
ulama mengartikan kata salaf untuk kaum muslimin yang ada pada qurun mufadhalah (generasi-generasi
unggulan), bermakna kaum muslimin yang ada pada tiga generasi pertama islam
yang mereka namakan salaf. Sementara orang-orang setelahnya disebut dengan
generasi khalaf, jika mereka masih muslim.
Kata
Khalaf, kurang bila dibandingkan dengan salaf, terkadang khalaf itu jelek.
Sebagaimana diterangkan dalam Al Quran dalam firman-Nya:
"Maka
datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan sholat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kesesatan."
(QS. Maryam: 59)
Generasi
salaf adalah generasi sahabat Rosululloh, generasi tabi'in (generasi setelah
generasi sahabat), generasi tabi'ut tabi'in (generasi setelah generasi tabi'in)
dan pengikut generasi tabi'ut tabi'in. Para
sahabat yaitu orang-orang yang melihat nabi shollallohu 'alaihi wa sallam,
dalam keadaan beriman kepada beliau, dan wafat dalam keadaan iman, baik laki
atau wanita. Mereka telah mencapai puncak kemuliaan. Hal itu karena mereka
mendahului yang lainnya, mereka menemani Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam,
mengambil ilmu dari beliau shollallohu 'alaihi wa sallam dan mendengar langsung
sabda beliau. Tidak diragukan lagi bahwa ini satu keistimewaan.
Generasi
tabi'in adalah mereka yang pernah melihat salah seorang sahabat dan menyadari
penglihatannya, meskipun yang ditemuinya seorang sahabat yang masih kecil.
Orang seperti ini diberi istilah tabi'i karena dia pengikut generasi
sebelumnya. Generasi tabi'in berlanjut lalu sebagian di antara mereka ada yang berumur
panjang yaitu sampai penghujung abad kedua, namun mereka ini bertingkat
tingkat.
Di antara
para pembesar generasi tabi'in dari penduduk Madinah yaitu Fuqaha' Al Sab'ah
(para ahli fikih Madinah yang tujuh) yang sempat bertemu dengan para shahabat
seperti Sa'id bin Musayyib, Ubaidullah bin Ubaidillah bin Utbah bin Mas'ud, Al
Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr, dan anak-anak sahabat lainnya yang mengambil
ilmu dari pembesar para sahabat, sempat mendapati Khulafa'ur Rasyidin atau
sebagiannya. Ashagir tabi'ien (tabi'in kecil) yaitu yang melihat sebagian kecil
dari para sahabat. Mereka menyebutkan bahwa Al A'masy sempat mendapati Anas bin
Malik, sehingga ditetapkan bahwa dia melihat Anas, sehingga Al A'masy
dikategorikan generasi tabi'in kecil.
Sedangkan
generasi tabi'ut tabi'in yaitu orang-orang yang sempat melihat tabi'in,
meskipun tabi'in generasi akhir dan orang yang diriwayatkan (gurunya) pernah
melihat salah seorang sahabat, atau sempat mendapati salah seorang di antara
mereka meskipun generasi akhir. Dan diceritakan bahwa generasi sahabat tidak
tersisa satu pun bersamaan dengan berakhirnya abad pertama. diriwayatkan bahwa
sahabat yang paling terakhir wafat adalah Anas bin Malik yang wafat tahun
sembilan puluh tiga hijriah, akan tetapi ada juga yang menceritakan bahwa ada
di antara para sahabat yang sampai usia seratus seperti Thufail. Di antara
generasi tabi'ut tabi'in ini adalah para imam seperti Malik bin Anas, Abu
Abdirrahman bin Al Auza'i dan orang yang sezaman dengan mereka. Mereka ini
termasuk akabir tabi'in (pembesar tabi'in), di antara mereka ada yang menjadi
ulama dan para pengemban ilmu. Generasi tabi' tabi'in masih ada sampai
menjelang abad ketiga atau pertengahan abad ketiga.
Sedangkan
atba' tabi' tabi'in (generasi setelah tabi' tabi'in), di antaranya adalah Imam
Bukhari, Imam Muslim, Imam Syafi'i, Imam Ahmad dan yang lainnya. Mereka ini
termasuk akabir atba' tabi' tabi'in. Singkat kata bahwa kaum muslimin yang ada
qurun mufaddhalah disebut salaf.
Mereka
disebut salaf karena mereka telah berlalu. Salaf artinya orang sudah lewat.
Salaf dari sesuatu maksudnya sesuatu yang sudah lewat masanya. Mereka telah
berlalu zamannya, namun mereka berlalu di atas istiqomah, di atas aqidah yang
benar. Tidak di antara mereka yang menyimpang, ahli bid'ah; Mereka ini adalah
pengawal ilmu, di antara mereka ada yang menjadi ahli bid'ah baik laki atau
wanita. Secara umum, mereka semua adalah qudwah (suri tauladan).
Faktor Keutamaan Salaf
enapa
para salaf dilebihkan diatas generasi setelahnya? Syara' telah menjelaskan
keutamaan mereka,
begitu juga sunnah telah menjelaskan keutamaan mereka. Imam Ahmad menyebutkan
dalam risalahnya As Shalat bahwa Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Kalian
lebih baik dari anak-anak kalian, anak-anak kalian lebih dari anak-anak mereka
dan cucu-cucu kalian lebih baik daripada anak-anak mereka." (HR. Al Bazaar
2774 dari hadits Anas dan lihat Thobaqaat Al Hanabilah 1/270-271)
Maksudnya
bahwa kebaikan (keunggulan) itu untuk yang pertama-tama. Tidak diragukan lagi
bahwa generasi pertama telah mencapai puncak kemuliaan yaitu menemani
Rosululloh, sehingga mereka lebih baik dari generasi setelahnya.
Oleh
karena itu, para ulama ahli hadits sepakat menyatakan para sahabat itu 'udul
(adil) yang diterima riwayatnya, tidak ada di antara mereka yang dinukil bahwa
dalam riwayatnya ada kelemahan, dusta atau yang ditolak. Namun riwayat mereka
diterima, dan disepakati bahwa semua
mereka 'udul (adil). Ini salah satu dari keistimewaan mereka. Dan terdapat
dalam hadits shahih, sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam:
"Sebaik-baik
kalian adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi
berikutnya, kemudian generasi berikutnya - Imran mengatakan: 'Aku tidak tahu,
apakah beliau mengatakannya dua atau tiga kali setelah generasi beliau.
Kemudian setelah itu akan ada suatu kaum yang memberikan persaksian padahal
mereka tidak diminta memberikan persaksian, mereka berkhiat sehingga tidak bias
dipercaya, mereka bernadzar tapi tidak dipenuhi dan muncul pada mereka obesitas
(kegemukan)...'" (Takhrijnya sudah lewat). Dalam hadits ini juga terdapat
bukti keunggulan mereka.
Urutan Keutamaan Salaf
Urutan
keutamaan mereka sebagaimana urutan keberadaan mereka. Yang paling utama adalah generasi
pertama yang berakhir masanya dengan tahun seratus, kemudian diikuti oleh
generasi kedua yang berakhir dengan tahun dua ratus (hijriah), kemudian diikuti
oleh generasi ketiga yang berakhir dengan tahun tiga ratus.
Ini kalau
kita menganggap satu generasi itu sama dengan seratus tahun. Di antara para
ulama ada berpendapat bahwa satu generasi yaitu sekelompok orang yang saling
bertemu pada satu masa, usia-usia mereka berdekatan, kemudian mereka wafat.
Yang paling akhir wafat berarti dialah akhir dari generasi tersebut. Tidak
disangsikan lagi bahwa mereka yang ada pada zaman itu, atau abad-abad itu
memiliki keutamaan, kemuliaan, aqidah yang selamat.
Sehingga
mereka menjadi yang terbaik. Begitu juga, bid'ah belum muncul. Jika ada
perbuatan bid'ah
yang muncul, maka akan segera dihancurkan dan pelakunya akan terhina. Sehingga
dengan ini mereka menjadi yang lebih baik dari yang lain. Oleh karena itu
mereka menjadi panutan, ucapan-ucapan mereka dijadikan sebagai hujjah
(argumentasi), terutama perkataan ulamaulama mereka dan ahli ibadah di antara
mereka yang mengerti tentang agama Alloh ini, yang beribadah kepada Alloh dengan
landasan cahaya dan dalil. Ucapan mereka dijadikan dalil, karena kita
berprasangka baik kepada mereka. Mereka tidak akan melakukan satu amal kecuali
berlandaskan dalil, tidak akan mengatakan sesuatu atau meriwayatkan sesuatu
kecuali setelah ricek (cek ulang).
Oleh
karena itu mursal shahabat bisa diterima, menurut kesepakatan para ulama.
Sedangkan mursal kibar tabi'in masih diperselisihkan, namun pendapat yang
terkuat (menyatakan) bisa diterima jika ada bukti keabsahannya, meskipun
sanadnya tidak bersambung.
Begitu
juga dengan perkataan mereka yang mereka jadikan hujjah atau pendapat mereka;
semua ini bisa dijadikan dalil. Dikatakan, "Perkataan ini pernah diucapkan
oleh Fulan seorang sahabat, atau seorang tabi'in atau perkataan ini pernah
dikatakan oleh orang sebelum kita yaitu Fulan dari generasi
tabi'in dan mereka adalah para ulama besar yang tidak akan mengucapkan sesuatu
kecuali bersumber dari keyakinan."
Hakikat Ilmu Salaf
Yang
dimaksud dengan ilmu yaitu ilmu yang benar, ilmu yang diwarisi dari para
Rosululloh, warisan para nabi Alloh. Sebagaimana sabda Rosululloh shollallohu
'alaihi wa sallam:
"Sesungguhnya
para ulama itu adalah pewaris para nabi dan para nabi itu tidaklah mewariskan
dinar dan dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu. Maka barang siapa yang
mengambilnya berarti dia telah mengambil warisan yang banyak."
(Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 3641, Tirmidzi 2682, Ibnu majah no. 223 dari
hadits Abu Darda')
Ilmunya
para salaf diambil langsung dari Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam,
sahabat yang kecil mengambil ilmu dari sahabat yang sudah dewasa, yang dewasa
dari sahabat sebelumnya mereka, sampai kemudian mereka menyambungnya ke
sumbernya yang murni yaitu Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam.
Alloh
telah memperbanyak ulama dari mereka dan orangorang setelah mereka, untuk
menjaga ilmu yang benar ini, membersihkannya dan menjaganya dari
kedustaankedustaan yang masuk kepada ilmu ini. Karenanya mereka meletakkan
sanad yang bisa didapatkan dalam kitab-kitab hadits, sehingga sebuah perkataan
tidak akan diterima kecuali setelah mengecek keabsahannya.
Para
ulama menyebutkan bahwa para salaf tidak pernah bertanya kepada para sahabat
tentang sanad (jalur periwayatan), akan tetapi (manakala) mereka melihat sikap
terlalu gampang meriwayatkan sesuatu yang belum dicek keabsahannya, maka mereka
mengatakan, "Sebutlah rijal kalian!" (sehingga mereka bisa mengetahui
dari mana dia mendapatkan suatu riwayat). Jika mereka menyebutkan orang yang
terpercaya, mereka akan tahu bahwa hadits atau atsar tersebut bisa diterima.
Sedangkan jika menyebutkan orang yang lemah, bukan ahli hadits, maka mereka
tahu bahwa hadits tersebut tidak sah. Inilah yang menjadi penyebab penyebutan
sanad. Ini adalah bukti antusiasme para salaf dalam menjaga sunnah dan
membentenginya dari semua yang hendak memasukinya.
Kandungan Ilmu Salaf
lmu para
salaf mencakup, hafalan terhadap sunnah Nabawiyah yang mereka riwayatkan dari
nabi shollallohu 'alaihi wa sallam. mereka juga menghafal Kalamulloh (Al
Quran). Mereka antusias untuk memelihara ilmu ini dari tangan-tangan jahil.
Karenanya, setelah wafat Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, pertama kali
mereka berkonsentrasi untuk membukukan Al Quran.
Mereka
menulisnya dalam beberapa lembaran, lalu mereka jadikan satu, sehingga tidak
ada yang terlupakan ataupun tertinggal.
Di antara
cakupan ilmu mereka juga adalah sibuk untuk menjelaskan Al Quran dan
menerangkan makna-makna yang terkadang samar bagi generasi setelah mereka. Ini
dikarenakan, mereka menyaksikan saat-saat turunnya Al Quran dan juga
dikarenakan Al Quran turun dengan menggunakan bahasa mereka. Dan juga karena
mereka lebih tahu tentang sebab-sebab turun sebuah ayat dan maksudnya. Oleh
karena tafsir (penjelasan) para sahabat dan murid-muridnya lebih didahulukan
daripada orang-orang zaman terakhir, yang menerapkannya dalam faktafakta dan
kondisi-kondisi (yang ada) atau yang lainnya.
Oleh
karena itu, para ulama umat ini yang sibuk dengan ilmu tafsir berdalil dengan
hadits-hadits serta atsar-atsar yang berhubungan dengan Al Quran, karena memang
dia adalah penjelas bagi Al Quran. Kita sudah tahu bahwa Alloh menurunkan
syariat dan risalah ini kepada Muhammad shollallohu
'alaihi wa sallam dan Alloh memerintahkannya untuk menyampaikan risalah ini,
dengan firman-Nya:
"Kewajibanmu
tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah)." (QS. As Syura: 48) dan
firman-Nya:
"Hai
Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu." (QS. Al
Maidah: 67)
Kita
beriman tanpa ragu bahwa Rosululloh telah menyampaikan risalah itu, bahkan
Rosululloh tidak sebatas menyampaikan risalah kepada mereka akan tetapi beliau
shollallohu 'alaihi wa sallam menjelaskannya dengan amal dan perkataan.
Rosululloh menjelaskan sesuatu yang samar bagi mereka, menerangkan sesuatu yang
perlu diterangkan, sebagai realisasi dari firman Alloh Subhanahu wa Ta'ala:
"Dan
Kami turunkan kepadamu al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka." (QS. An Nahl: 44)
Penjelasan
beliau terhadap Al Quran adalah penjelasan beliau dengan praktek dalam sholat,
haji, masalah-masalah lain yang masih global, seperti hudud dan sanksi. Begitu
juga Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan ayat-ayat,
menerangkan makna-maknanya sebagaimana telah dipersaksikan oleh para ahli
tafsir. Dan tidak diragukan juga bahwa para sahabat (yang telah mendapatkan
penjelasan langsung dari Rosululloh -pent) ini telah menyampaikan seluruhnya
kepada murid-muridnya, karena Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam memerintahkan
mereka untuk itu. Terdapat dalam hadits yang sah, bahwa Rosululloh shollallohu
'alaihi wa sallam bersabda:
"Hendaklah
orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir." (Diriwayatkan oleh
Imam Bukhari no. 68 dari Abu Bakar rodhiallohu 'anhu dan Imam Muslim no. 1354
dari Abu Syuraih rodhiallohu 'anhu)
Rosululloh
shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang sah:
"Semoga
Alloh membaguskan wajah orang yang mendengarkan sabdaku, lalu menghafalnya dan menyampaikannya
sebagaimana dia mendengarnya. Bisa jadi orang yang diberitahu lebih paham
daripada orang yang mendengar (dari Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam),
terkadang orang yang membawa fikih bukanlah orang yang faqih dan bisa jadi
pembawa fikih membawanya kepada orang yang lebih bisa memahaminya."
(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Musnad 5/187, Imam Abu Daud no. 3660,
Imam Tirmidzi no. 2656 dan Ibnu Majah no. 230 dari hadits Zaid bin Tsabit
rodhiallohu 'anhu)
Ketika
para sahabat mendengar sabda beliau shollallohu 'alaihi wa sallam ini, mereka
tahu bahwa Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam akan wafat dan mereka akan
mengemban risalah ini setelahnya, mengemban nashnashnya, makna-maknanya dan
kaifiyah (tata cara)nya.
Maka
mereka tidak tinggal diam, mereka menyampaikan dan memberitahukan kepada
orang-orang tertentu dan orang umum, apa yang mereka tahu dan apa yang mereka
hafal serta dapatkan dari Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam.
Demikianlah, amal mereka nampak sebagai realisasi dari ilmu. Karena ilmu yang
benar, pasti akan diiringi amal perbuatan, karena amal merupakan buah ilmu. Dan
tidak diragukan bahwa ilmu-ilmu para salaf yang mereka dapatkan dari Rosululloh
shollallohu 'alaihi wa sallam, yang mereka dapatkan dari para guru mereka dan
tokoh-tokoh sahabat adalah ilmu-ilmu yang benar.
Semuanya
berkait dengan syariat, berkait dengan perintah dan larangan Alloh Subhanahu wa
Ta'ala. Mereka mempelajari ilmu yang bisa mendekatkan diri mereka kepada Alloh
Subhanahu wa Ta'ala yaitu masalah-masalah ibadah. Mereka mempelajari
amalan-amalan yang harus dikerjakan dalam kehidupan ini serta hal-hal haram
yang harus ditinggalkan. Mereka mempelajari semua masalah ini dan
menyampaikannya. Tidak diragukan, bahwa orang yang mengikuti mereka dalam
masalah ini -generasi setelahnya meskipun beberapa abad- akan dibangkitkan pada
hari kiamat bersama mereka.
Karena
mengikuti mereka, mewarisi ilmu-ilmu dan antusiasme mereka bahkan membukukan
kejadiankejadian itu merupakan pengutamaan mereka dan bukti cinta mereka kepada
para salaf dan bukti penghargaan terhadap salaf dengan penghargaan yang layak.
Orang
seperti ini tidak disangsikan lagi, dia akan mengikuti salaf dengan iman dan
amal; mereka melakukan amalanamalan yang dilakukan para salaf. Kemudian di hari
kiamat, dikumpulkan bersama para salaf. Orang yang cinta kepada suatu kaum,
maka dia akan dikumpulkan bersama dengan
orang yang dia cinta, sebagaimana diterangkan dalam hadits. (Diriwayatkan oleh
Imam Bukhari no. 6169 dan Imam Muslim 2640 dari Abdullah bin Mas'ud, dan lafazh
hadits ini adalah riwayat Imam Muslim, Abdullah rodhiallohu 'anhu mengatakan:
Seseorang datang kepada Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam seraya
mengatakan:
"Wahai
Rosululloh, bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang cinta kepada satu kaum
padahal dia belum pernah menjumpai mereka?" Rosululloh shollallohu 'alaihi
wa sallam menjawab, "Orang itu bersama dengan yang dia cinta.")
Maka kami
katakan, dalam keadaan membahas tentang ilmu salaf, "Sesungguhnya wajib
atas kita untuk mempelajari ilmu yang benar yang diwariskan oleh para salaf
dari Nabi mereka shollallohu 'alaihi wa sallam dan wajib atas kita untuk
memprioritaskannya di atas ilmu-ilmu lain yang menyainginnya." Ilmu-ilmu
yang dipelajari oleh salaf ada beberapa macam:
Pertama, ilmu yang mereka ucapkan dengan lisan dan mereka
yakini dengan hati. Ini adalah masalah aqidah.
Kedua, mereka mempelajari dari Rosululloh ilmu yang bias
mendekatkan diri kepada Alloh. Ini adalah urusan ibadah.
Ketiga, mereka mempelajari dari nabi shollallohu 'alaihi
wa sallam apa-apa yang wajib mereka lakukan dalam kehidupan dan mempelajari
perkara haram yang wajib mereka tinggalkan dan lain sebagainya.
Tidak
diragukan lagi, bahwa siapa saja yang mengikuti mereka -meskipun dia ada
beberapa dekade setelah merekamaka dia akan dikumpulkan bersama mereka, karena
dengan mengikuti mereka, berarti mengutamakan mereka, mencintai mereka dan
menghargai mereka sebagaimana mestinya.
Dan siapa saja yang mencintai suatu kaum maka dia akan dikumpulkan bersama
mereka. Kalau
kita tidak menyibukkan dengan ilmu-ilmu ini berarti kita kehilangan banyak ilmu
dan hilang kesempatan mendekatkan diri kepada Alloh dengan amal-amal shalih.
Sebaliknya,
jika menyibukkan diri dengannya dan arahkan langkah kita ke sana, maka kita
akan sampai kepada Alloh dalam keadaan berada di atas jalan yang lurus, kita
menempuh jalan lurus, tidak ada penyimpangan dan kebengkokan.
Sedangkan
jika mengikuti orang setelah generasi salaf dan kita menempuh jalan-jalan
menyimpang dalam amalanamalan kita, maka kita akan masuk ke dalam jurang
kebinasaan, minimalnya kita (terjerumus) mengadakan perbuatan bid'ah yang tidak
pernah diperintahkan oleh Alloh Subhanahu wa Ta'ala.
Ilmu para
salaf terbentuk dari ilmu nash-nash dan mencakup menghafal ayat dan
hadits-hadits, memahaminya dan menjelaskannya, menjelaskan makna dan
kandungannya, mengamalkan. Demikian juga mencakup masalah menampakkannya dan
mengajarkannya. Jadi sumber ilmu-ilmu mereka adalah: hafalan, pemahaman,
praktek, dan menjelaskan.
Klasifikasi Ilmu Salaf
Ilmu para
salaf dapat dikategorikan menjadi beberapa:
Pertama, ilmu tentang ayat-ayat Al Quran, maknanya dan yang
terkait dengannya. Ini disebut tafsir.
Kedua, ilmu hadits, cabang dan pengklasifikasiannya serta
pembagiannya dalam beberapa macam dan lain sebagainya. Termasuk juga yang
terkait dengannya adalah mengetahui hadits shahih dari yang lemah, yang dapat
diterima dan yang tertolak dan mengetahui para perawi dan riwayat yang
berhubungan dengan mereka. Ini disebut ilmu sunnah.
Ketiga, ilmu memahami dan mengambil faedah dari nash. Ini
disebut ilmu fikih.
Keempat, ilmu i'tiqad (keyakinan). Mereka membaginya
menjadi ilmu ushul dan furu' (cabang). Yang ushul yaitu ilmu yang berkait
dengan aqidah. Ilmu ini mereka jelaskan dan terangkan dari satu sisi tertentu.
Sedangkan yang berkait dengan furu' (cabang) mereka jelaskan dari segi yang
lainnya.
Ketika
mereka menyadari bahwa ada beberapa masalah yang menyebabkan seseorang bisa
menjadi kafir, mereka menyendirikannya dalam tulisan. Mereka menulis banyak
kitab yang berkait dengan aqidah, ilmu sunnah. Karena melihat dan menyaksikan
beberapa ahlul bid'ah yang dikhawatirkan akan melakukan pengrusakan di muka
bumi, maka membantah kebid'ahan-kebid'ahan mereka.
Mereka
menulis sesuatu yang membantah syubhat-syubhat yang mereka lontarkan kepada
orang lemah imannya. Alloh menjagakan kitab-kitab yang ditulis oleh para salaf
tersebut buat kita. Misalnya bisa didapatkan kitab-kitab yang berisi aqidah
yang ditulis pada abad kedua, kebanyakannya ditulis pada abad ketiga.
Kitab-kitab ini ada dan mudah didapatkan. Jika seorang alim mengumpulkannya,
membacanya dan mengikat diri dengannya, maka dia akan tahu bahwa para salaf
berada di atas aqidah yang kokok dan ilmu yang dalam. Nara sumber ilmu mereka
adalah dua wahyu yaitu Al Quran dan sunnah yang jadikan sebagai referensi.
Sedangkan
masalah far'iyah (cabang) yang ditulis oleh para salaf dan diwariskan turun
temurun, juga banyak. Hal ini karena mereka ingin menjaga sunnah nabi mereka
dan ilmu diwarisi dari beliau shollallohu 'alaihi wa sallam. Sehingga mereka
menulis kitab-kitab mereka dalam masalah furu'. Mereka
isi dengan hadits-hadits yang sah dari nabi Muhammad shollallohu 'alaihi wa
sallam, mereka riwayatkan
dengan membawakan sanadnya sampai ke nara sumbernya (yaitu Rosululloh
shollallohu 'alaihi wa sallam).
Kitab-kitab
mereka juga berisi atsar-atsar dari sahabat, tabi'in yang menjelaskan perkataan
dan pendapat mereka. Ini semua demi menjaga ilmu itu sehingga tidak terlupakan.
Karena Alloh Subhanahu wa Ta'ala telah menjamin keterpeliharaan syariat ini,
maka Alloh menakdirkan ulamaulama salaf untuk syariat ini yang akan menjaganya:
1. Dengan
sanad dalam dada mereka.
2. Dengan
menuliskan sanad dan mengetahui orangorangnya agar bisa mengetahui hadits yang
shahih dari yang lemah.
3. Dengan
menulisnya. Karena mereka khawatir, ada ilmu sedikit yang hilang akibat lupa
atau lainnya, akibat wafatnya orang yang menghafalnya di dada mereka. Karenanya
mereka segera membukukannya sehingga syariat ini tetap terjaga tidak ada yang
hilang.
Yang
termasuk imam abad kedua dalam masalah ini yaitu Imam Malik dan Abu Hanifah
yang banyak menulis pada abad kedua tentang permasalahan yang berkait dengan
furu'. Begitu juga dua teman Abu Hanifah yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Al
Hasan. Termasuk orang-orang yang ada pada zaman itu adalah Ibnu Juraij,
Abdurrazaq bin Hammam, Ma'mar bin Rasyid dan ulama lain pada masa itu.
Kemudian
setelah mereka adalah murid-murid mereka. Mereka juga menulis banyak kitab
dalam masalah ini, seperti penulis shahih Bukhari dan Shahih Muslim, penulis
kitab-kitab sunan, kitab-kitab musnad. Sebagian di antara mereka, ada yang
hidup pada akhir abad kedua dan ada pula yang hidup pada abad ketiga, maksudnya
masih dalam abad-abad yang diutamakan.
Kemudian
generasi setelah mereka, orang-orang yang menulis dalam masalah furu' itu,
semoga Alloh memberikan manfaat dengan ilmu-ilmu mereka.
Metoda Belajar Salaf
Pertama, hafalan. Tidak diragukan lagi bahwa ilmunya para salaf
itu benar, lebih dapat berbuah (kebaikan) dan lebih absah. Karena kesibukan
mereka dengan ilmu ini dan antusiasme mereka untuk menulis
dan mengokohkannya. Semua ini merupakan karunia Alloh kepada mereka. Hal itu
karena mereka ketika menerima warisan ilmu, sebagian di antara mereka sibuk
untuk menghafalnya dalam dada hingga tidak pernah lupa. Sehingga Alloh
menganugerahkan orang saat itu hafalan yang kuat, sampai-sampai
diriwayatkan dari As Sya'bi Amir bin Syarahbil mengatakan,
"Aku tidak pernah menuliskan hitam di atas putih."
Maksudnya dia hanya menghafal, dia menghafal semua ilmu yang sampai kepadanya, dan tidak butuh menulis di buku. Buktinya adalah atsar-atsar dan hadits-hadits yang diriwayatkan darinya.
"Aku tidak pernah menuliskan hitam di atas putih."
Maksudnya dia hanya menghafal, dia menghafal semua ilmu yang sampai kepadanya, dan tidak butuh menulis di buku. Buktinya adalah atsar-atsar dan hadits-hadits yang diriwayatkan darinya.
Kedua, pemahaman. Hal ini dengan memahami nash-nash,
mempelajarinya dan menyimpulkan hukum darinya.
Ketiga, kombinasi antara hafalan dan pemahaman. Dalam
masalah ini, Rosululloh membuat sebuah permisalan dengan air hujan yang jatuh
ke bumi dan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa air
hujan, jika jatuh ke muka bumi, maka bumi terbagi menjadi empat:
Menadah
air sehingga manusia bercocok tanam, member minum ternak-ternak mereka dan bisa
melepaskan dahaga dengannya. Bagian ini sama dengan kedudukan orangorang yang
dianugerahkan Alloh hafalan, meskipun tidak memiliki pemahaman.
Bumi yang
kena air atau hujan, akan tetapi tanah ini tidak bisa menadah air, namun
diserap. Kemudian tumbuhan mulai tumbuh dan manusia bisa memanfaatkan tumbuhan
ini dan menggembalakan ternak mereka disana. Bagian ini sama dengan kedudukan
para ulama ahli fikih yang berikan kemampuan untuk memahami dan menyimpulkan
hukum, meskipun dia tidak memiliki kemampuan untuk menghafal.
Bumi yang
memiliki kedua sifat di atas yaitu bisa menadah air hujan untuk keperluan
minum, dan sisanya untuk menumbuhkan rumput yang banyak. Ini sama dengan orang
yang mengumpulkan antara dua hal itu yaitu antara hafalan dan pemahaman.
Bumi yang
gersang, tidak bisa menumbuhkan tanaman juga tidak menahan air. Ini perumpamaan
bagi orang yang tidak menyibukkan dengan ilmu sedikit pun bahkan dia
menjauhinya. pembagian
ini dijelaskan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau shollallohu
'alaihi wa sallam:
"Sesungguhnya
perumpamaan ilmu dan hidayah yang aku bawa seperti air hujan yang menimpa bumi.
Di antara bumi ini ada yang kelompok yang baik, dia menerima air lalu
menumbuhkan rumput yang banyak, di antaranya juga ada yang gersang (cadas), dia
bisa menahan (menadah) air, sehingga bisa dimanfaatkan oleh manusia, manusia
bias minum, mengairi (tanaman) dan bisa menggembala. Dan air hujan itu juga
mengenai bagian bumi yang lain yaitu lembah yang tidak bisa menahan air dan
tidak bisa menumbuhkan rumput. Itulah perumpamaan orang yang paham tentang
agama Alloh (Islam), dia mendapatkan manfaat dari apa yang aku bawa, dia tahu
lalu mengajarkannya. Dan perumpamaan
orang yang tidak memperdulikannya sama sekali dan tidak menerima hidayah dari
Alloh yang aku bawa." (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 79, Imam Muslim
no. 2282 dari Abu Musa Al Asy'ari rodhiallohu 'anhu)
Kemunculan Bid'ah Di Zaman Salaf
Tidak
diragukan pada zaman salaf sudah ada pelaku bid'ah, sudah ada kebid'ahan,
perbuatan dusta dan maksiat serta yang lainnya. Namun pada saat itu ada orang
yang menghadapinya, membantahnya, mematahkan syubhat-syubhat mereka dan
menjelaskan kebatilan perbuatan-perbuatan dan tipu daya ahlul bid'ah, sehingga
bid'ah tidak meninggalkan bekas.
Umat
(secara umum) tidak terancam bahaya ahlul bid'ah, karena yang haq itu banyak,
pembawa panji al haq sangat kuat, sehingga ahlul bid'ah tidak mampu
mempengaruhi mereka. Di antara bid'ah yang muncul pada qurun mufaddhalah
(masa-masa yang penuh keutamaan), kami hanya menyebutkan contoh-contoh saja:
Bid'ah Khawarij
Bid'ah
khawarij ini muncul pada masa sahabat. Mereka diperangi oleh Ali rodhiallohu
'anhu dan sahabat lain setelah Ali sampai akhir abad pertama.
Kebid'ahan
khawarij ini termasuk kebid'ahan yang paling ringan (pada awalnya, namun
setelah itu mereka termasuk pelaku bidah yang banyak menumpahkan darah kaum
muslimin sampai saat ini, sehingga pantaslah bila dinamakan Rosululloh sebagai
anjing neraka -pen). Yaitu mereka menganggap perbuatan memberi maaf termasuk
perbuatan dosa dan menganggap dosa sebagai kekufuran.
Mereka
mengkafirkan orang akibat dari dosa, dan menganggap orang yang berdosa telah
murtad dari islam. Mereka menghalalkan darah dan hartanya, menganggap mereka
telah keluar dari lingkup kaum muslimin dan menetapkan hukum bahwa orang yang
berdosa itu termasuk penghuni neraka. Inilah aqidah mereka. Beberapa hadits
datang membawa celaan kepada mereka,
menjelaskan aqidah buruk mereka. Hadits-hadits ini telah diriwayatkan
dan telah masyhur. Tatkala kondisinya seperti ini,
tidak ada seorang sahabat pun yang mengikuti mereka (khawarij), tidak juga
ulama umat. Mereka hanya diikutioleh orang-orang awam dan sebagian orang yang
sukamenakwilkan nash, orang yang tidak memiliki ilmu mendalam yang diwarisi
dari sahabat rodhiallohu 'anhum.
Bid'ah Mengingkari Takdir
Kemudian
di akhir-akhir masa sahabat, muncul bid'ah yang lain yaitu bid'ah pengingkaran
terhadap takdir, maksudnya mengingkari ada takdir sebelum sebuah kejadian.
Sebagaimana
dikatakan oleh Yahya bin Ya'mar:
"Orang
yang pertama kali berbicara (maksudnya menolak) tentang takdir di Bashrah
adalah Ma'bad al Juhani. Lalu aku dan Humaid bin Abdurrahman berangkat
menunaikan ibadah haji (atau umrah). Kami berkata: 'Seandainya kami berjumpa
dengan salah seorang sahabat, maka kami akan bertanya tentang apa yang
dikatakan oleh orang-orang ini tentang takdir.' Lalu kami diberi kemudahan
menjumpai Abdullah bin Umar bin Al Khattab dalam keadaan masuk masjid, maka
kami mendekatinya, salah seorang kami dari sebelah kanan dan yang lain dari
sebelah kiri. Aku mengira bahwa temanku mewakilkan pertanyaan ini kepadaku,
maka aku katakan: 'Wahai Abu Abdurrahman, sesungguhnya telah muncul sekelompok
orang di tengahtengah kami, mereka membaca Al Quran, menuntut ilmu (mereka
menuntut dan meneliti ilmu. Dalam riwayat lain yatafaqqarun, dengan
mendahulukan huruf fa'). Mereka mengatakan bahwa tidak ada takdir dan semua
kejadian itu adalah baru.' (baru, tidak diawali dengan qada' dan takdir. Lihat
An Nihayah karya Ibnul Atsir). Abdullah bin Umar mengatakan 'Jika engkau
berjumpa dengan mereka, beritahukanlah mereka bahwa aku berlepas diri dari
mereka dan mereka berlepas diri dariku. Demi Zat yang dipergunakan untuk
bersumpah oleh Abdullah bin Umar, seandainya salah seorang di antara mereka
memiliki emas sebesar gunung Uhud lalu dia menginfakkannya, maka Alloh tidak
akan menerimanya sampai dia beriman dengan takdir, baik dan buruk...'"
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim no.7, Abu Daud no. 4695 dan Tirmidzi no. 2610)
Kelompok
ini mengingkari ilmu Alloh yang mendahului segala sesuatu. Mereka mengatakan,
"Sesungguhnya
Alloh tidak mengetahui sesuatu sampai sesuatu itu terjadi." Mereka
mengingkari Alloh telah menuliskan takdir segala sesuatu di Lauh al Mahfuzh.
Mereka mengingkari bahwa Alloh telah menetapkan takdir apa yang akan diperbuat
seorang hamba dan Alloh tahu orang yang akan bahagia dan yang akan sengsara.
Mereka mengingkari nash-nash yang gamblang dalam masalah ini.
Akan
tetapi para salaf telah membantah mereka dan kesalahan-kesalahan mereka telah
dijelaskan. Para salaf telah menerangkan bahwa ini adalah perkataan batil,
karena menganggap ilmu Alloh itu kurang.
Oleh
karena itu Imam Syafi'i rohimahulloh mengatakan:
"Debatlah
mereka dengan ilmu Alloh, jika mereka mengakui Ilmu Alloh, berarti mereka
terkalahkan. Jika mereka mengingkari Ilmu Alloh berarti mereka telah
kufur."
Maksudnya,
tanyailah mereka, apakah kalian mengakui bahwa Alloh Maha Tahu (mengilmui)
terhadap segala suatu? apakah kalian mengakui bahwa Alloh mengetahui apa telah
terjadi, yang tidak terjadi dan yang belum terjadi, jika sudah terjadi, Alloh
Maha Tahu bagaimana kejadiannya. Jika mereka mengakui bahwa Alloh 'Alim (Maha
Tahu) terhadap segala sesuatu, berarti argumen mereka telah terkalahkan, tidak
ada lagi yang bisa mereka jadikan pegangan. Jika mereka mengingkarinya dan
mengatakan:
"Kami
tidak mengakui bahwa Alloh 'Alim (Maha Tahu) terhadap segala sesuatu."
Berarti mereka telah kufur. Karena mereka telah menganggap Alloh memiliki
kekurangan, dan mensifatiNya dengan sifat jahil. Orang yang menolak sifat Ilmu
berarti dia menetapkan sifat jahil bagi Alloh.
Bid'ah
ini telah muncul, namun ada sahabat yang melawannya dan membantahnya, sehingga
bid'ah ini tidak mapan pada masa itu. Karena kekuatan yang dimiliki pembawa
kebenaran dan kwantitas mereka besar dan juga karena kuatnya dalil-dalil yang
mereka bawakan. Sehingga terputuslah syubhat dan agama Alloh menang walaupun
Ahlul Bid'ah membencinya.
Bid'ah Jahmiyah
Bid'ah
Jahmiyah muncul di awal abad kedua. Mereka mengingkari bahwa Alloh bisa
berbicara, mereka mengingkari bahwa Al Quran itu kalamulloh. Mereka menolak
bahwa Alloh menyukai hamba-Nya yang disukai dan menolak bahwa Alloh telah
berbicara dengan Musa atau menjadikan Ibrahim sebagai kekasih.
Ketika
mereka menampakkan pendapat mereka ini, tokoh pelopornya yaitu Ja'ad bin Dirham
telah dibunuh pada masa salaf. Dia dibunuh Gubernur (Amir) Iraq Khalid bin
Abdullah Al Qusari pada saat hari raya idul Adha dan menganggapnya sebagai
binatang qurban. Dia mengatakan,
"Wahai
sekalian manusia, berkorbanlah kalian. Semoga Alloh menerima ibadah qurban
kalian. Sesungguhnya aku berqurban dengan (menyembelih) Ja'ad bin Dirham,
karena dia menganggap Alloh tidak pernah berbicara dengan Musa dan tidak
menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya. Maha Tinggi Alloh dari ucapan
Ja'ad." Dia lalu turun dan menyembelihnya. Ini sebagaimana diriwayatkan
oleh Imam Al Bukhari dalam kitabnya "Khalqu 'Af'aalil 'Ibad." (Lihat
Khalqu 'Af'aalil 'Ibad hal. 7 dan lihat Siyar A'lamin Nubala' 5/423).
Para
salaf memiliki ilmu dan iman sehingga mereka mengingkari perbuatan bid'ah Ja'ad
dan mencela al Jahmiyah pengikutnya. Beginilah kondisinya saat itu, tidak ada
bid'ah pada masa salaf yang memiliki kekuatan. Namun sangat disayangkan,
bid'ah-bid'ah ini yaitu bid'ah mu'tazilah, jahmiyah dan bid'ah qadariyah
akhirnya menyebar setelah tiga generasi ini lewat, terutama bid'ah jahmiyah
yang mengingkari sifat-sifat Alloh. Bid'ah ini menguat sehingga pada abad
keempat dan seterusnya, pendapat salaf dalam masalah aqidah hampir tidak bias
diketahui. Bahkan kemudian mereka melecehkan para ulama salaf, dan menjuluki
para salaf itu orang-orang bodoh. Mereka mengumpamakan mereka seperti orang
yang tidak bisa baca tulis, yang tidak mengerti Al Quran kecuali dongengan
bohong belaka, sebagaimana Alloh menggunakan kata-kata ini untuk menceritakan
ahlul kitab. Alloh 'azza wa jalla berfirman:
"Dan
di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat),
kecuali dongengan bohong belaka." (QS. Al Baqoroh: 78). Maksudnya hanya
sekedar bisa membaca tanpa mengerti maknanya sedikit pun.
Sedangkan
generasi khalaf yaitu generasi empat, lima dan enam dan seterusnya, menuduh
bahwa salaf itu hanya beriman dengan lafazh-lafazh semata, tanpa mengerti
maknanya. Mereka) para salaf tersebut hanya) mengimani lafazhnya dan
menyerahkan maknanya (kepada Alloh).
Tidak
diragukan lagi, hal ini merupakan bentuk pelecehan terhadap salaf, hingga
mereka mengira bahwa ilmu salaf tidak lebih dari sekedar tafwidh (penyerahan
makna kepada Alloh). Orang-orang ini berdalil dengan perkataan para ulama salaf
tentang hadits-hadits yang menunjukkan sifat Alloh, "Biarkanlah (makna)
sifat itu sebagaimana aslinya, tanpa takyiif (mengumpamakan atau menerangkan
hakikatnya)."
Tidak
diragukan lagi bahwa ini adalah bentuk pelecehan dan celaan kepada para salaf.
Karena banyak hal yang dinukil dari salaf yang menunjukkan keimanan mereka
kepada Alloh, kepada sifat-sifatNya, kepada semua yang datang dari-Nya; juga
menunjukkan penerimaan mereka terhadap syariat, keimanan mereka terhadap
nash-nash serta meyakini kandungan-kandungannya; mereka menyifati Alloh dengan
sifat-sifat kesempurnaan dan membiarkan makna ayat-ayat sifat sebagaimana
aslinya.
Mereka
hanya melarang perbuatan takyiif
(mengumpakan/menyamakan), melarang membebani diri dengan menanyakan
hakikat sifat Alloh atau yang sejenisnya.
Inilah
maksud dari perkatan mereka, tentang ayat-ayat sifat, "Biarkanlah
ayat-ayat itu sebagaimana dia dating tanpa mengumpamakan (takyiif)."
Maksudnya, janganlah kalian bertanya tentang hakikat sifat. Dan sebagaimana
ucapan Imam Malik bin Anas (beliau rohimahulloh salah seorang ulama tabi'
tabien) ketika beliau rohimahulloh ditanya tentang istiwa':
"Istiwa' itu sudah maklum, hakikatnya
tidak akan bisa diketahui akal, mengimaninya wajib, bertanya tentang hal itu
adalah sebuah kebid'ahan."
Perkataan
ini juga diriwayatkan dari guru beliau rohimahulloh yaitu Rabi'ah bin Abu
Abdurrahman. Beliau ini termasuk pembesar tabi'in dari Madinah. Dia ditanya
tentang istiwa'. Maka dia menjawab,
"Istiwa' sudah maklum, hakikatnya tidak bisa diketahui, dari Alloh risalah ini datang, kewajiban rasul menyampaikan dan kewajiban kita adalah mengimaninya." Ucapan mereka menunjukkan bahwa para salaf itu memahami makna-makna ayat, mengerti maksud nash-nash, mengimaninya, hanya saja mereka tidak mengetahui hakikatnya. Hakikat ini yang tidak bisa dicapai oleh ilmu makhluk.
"Istiwa' sudah maklum, hakikatnya tidak bisa diketahui, dari Alloh risalah ini datang, kewajiban rasul menyampaikan dan kewajiban kita adalah mengimaninya." Ucapan mereka menunjukkan bahwa para salaf itu memahami makna-makna ayat, mengerti maksud nash-nash, mengimaninya, hanya saja mereka tidak mengetahui hakikatnya. Hakikat ini yang tidak bisa dicapai oleh ilmu makhluk.
Ini dan
yang lainnya merupakan ilmu-ilmu para salaf. Ketika mereka telah mendapatkan
ilmu warisan (para nabi) ini, maka berikutnya mereka mempraktekkannya dalam
permasalahan aqidah (keyakinan) dan amalan praktis. Juga mereka membantah para
pelaku bid'ah dan syubhatsyubhat yang mereka bawakan. Mereka mengingkari
kebid'ahan-kebid'ahan yang terjadi pada masa mereka, sehingga bid'ah-bid'ah itu
tidak bisa menguat kecuali pada masa-masa terakhir.
Para
ulama umat ini seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh telah
menjelaskan bahwa aqidah para salaf dan para pengikut mereka adalah aqidah yang
pernah diyakini oleh para sahabat rodhiallohu 'anhum dan disampaikan oleh
Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam kepada mereka serta diambil dari dua
wahyu yaitu Al Quran dan Sunnah. Inilah yang diwajibkan dan merupakan petunjuk
yang dibawa Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam dalam firman Alloh
Subhanahu wa Ta'ala:
"Dialah
yang mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Qur'an) dan agama yang
benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama." (QS. At Taubah: 33)
Tidak
diragukan lagi bahwa setiap orang yang mengikuti Rosululloh shollallohu 'alaihi
wa sallam maka dia berada di atas petunjuk. Dan orang yang meninggalkannya dan
menentangnya, berada di atas kesesatan. Tidak disangsikan lagi bahwa Rosululloh
shollallohu 'alaihi wa sallam adalah jalan lurus yang Alloh perintahkan kepada
kita untuk mengikutinya dalam firman-Nya:
"Dan
bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah
dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan
itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya..." (QS. Al An'am:153)
Dalam
hadits yang shohih, (dijelaskan) bahwa Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam
menjelaskan makna ayat ini. Beliau membuat sebuah garis lurus seraya bersabda,
"Ini adalah jalan Alloh." Kemudian beliau shollallohu 'alaihi wa
sallam membuat beberapa garis di samping kiri dan kanan garis (pertama) seraya
bersabda,
"Ini adalah subul (dalam ayat di atas -pent). Di atas masing-masing garis (yangsebelah kanan dan kiri) ini ada syaitan yang mengajak ke jalan itu." (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 1/436, Ad Darimi 67-68, Al Hakim 2/239 dari hadits Abdullah bin Mas'ud rodhiallohu 'anhu. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah no. 11 dari hadits Jabir bin Abdullah rodhiallohu'anhu)
"Ini adalah subul (dalam ayat di atas -pent). Di atas masing-masing garis (yangsebelah kanan dan kiri) ini ada syaitan yang mengajak ke jalan itu." (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 1/436, Ad Darimi 67-68, Al Hakim 2/239 dari hadits Abdullah bin Mas'ud rodhiallohu 'anhu. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah no. 11 dari hadits Jabir bin Abdullah rodhiallohu'anhu)
Maksudnya
orang yang berjalan di atas jalan lurus ini, maka dia akan selamat. Dan orang
yang menyimpang darinya, maka itu akan menyebabkan kebinasaannya. Jalan ini
disebut mustaqim (lurus) karena tidak ada kebengkokan, tidak ada penyimpangan,
dan rambu-rambunya jelas bias diketahui oleh semua manusia.
Keimanan Salaf
Tidak
diragukan lagi bahwa keimanan yang mendasar adalah keyakinan yang mengakar
dalam hati. Keyakinan
(aqidah tersebut) harus memiliki sandaran. Sesuatu yang memiliki sandaran, dia
akan kuat menancap, tidak dikhawatirkan akan goyang dan roboh. Sebagaimana tiang-tiang penyangga masjid atau
bangunan lainnya yang menjadi tiang tumpuan bagi atap. Jika tiang ini memiliki
fondasi, kuat, tertanam kokoh di bumi, maka bangunan itu akan kuat dan
berfungsi. Sedangkan jika tidak memiliki fondasi, misalnya mengambang di atas
permukaan tanah, dan tidak memiliki dasar tempat bertumpu, maka bangunan itu
akan runtuh dan roboh atau akan mengalami kejadian yang lain.
Begitu
juga dengan ilmu para salaf yang merupakan keyakinan yang kokoh mengakar.
Penyebabnya adalah kekuatan dalil yang mereka jadikan pijakan. Yaitu nashnash
(teks) yang jelas, tidak ada kesamaran dan kerancuan. Hal itu karena mereka
membangun aqidah di atas dasardasar yang kokoh yang ditopang oleh dalil aqli
dan naqli.
Dalil-dalil
naqli yaitu dalil yang mereka dapatkan dari Rosululloh shollallohu 'alaihi wa
sallam berupa Al Quran dan hadits-hadits. Dalil-dalil aqli yaitu pemandangan
yang dilihat oleh fitrah mereka yang masih bersih dan lurus, belum terkotori
kebid'ahan dan khurafat atau yang lainnya. Bahkan Alloh membentenginya dari
syubhat dan penyimpangan-penyimpangan. Ini merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan mereka tetap eksis di atas aqidah ini dan kekokohannya, dan tetap
tidak guncang. Oleh karena itu, syubhat-syubhat tidak berdampak apapun kepada
mereka sebagaimana dampaknya kepada yang lain, seperti ahli bid'ah, khawarij
dan mu'tazilah.
Mu'tazilah
misalnya, memiliki beberapa syubhat yang dijadikan sandaran, akan tetapi
syubhat-syubhat tersebut tidak perlu diperhatikan, tidak kuat (rapuh) bahkan
syubhat-syubhat itu akan saling menghancurkan.
Syaikhul
Islam memiliki sebuah bait syair yang masyhur, yang beliau sebutkan di akhir
kitab Aqidah Al Hamuwiyah:
Hujah-hujah kontradiktif seperti kaca yang
dipukulkan
Benar-benar dan setiap yang menghancurkan akan
hancur
Argumen
dan syubhat-syubhat mereka ibarat kaca. Jika anda memiliki dua kaca, yang satu
di tangan kanan dan yang satu di tangan kiri, lalu kamu adukan keduanya,
bukankah keduanya akan hancur?! begitu pula argument orang-orang mu'tazilah.
Sebab, argumen-argumen logika akan saling membantah satu dengan yang lain,
misalnya argumen-argumen golongan qadariyah mematahkanargumen golongan
jahmiyah dan begitu seterusnya.
Sebagian
ulama lain seperti Ibnul Qayyim rohimahulloh dalam kitab "As Shawa'iqul
Mursalah" mengumpamakan mereka dalam syair. Beliau rohimahulloh
mengatakan:
Buatlah
perumpamaan dengan dua orang buta yang dilepas Dalam kegelapan yang mereka
tidak mengetahui jalanan Mereka bertabrakan dengan tangan dan tongkatnya
Pukulan yang membuat arena pertempuran menjadi panjang Hingga bila telah bosan
berperang, kamu melihat mereka Dalam
keadaan terluka atau meninggal atau terbunuh Kedua orang buta saling memaafkan
hingga mengadakan Perdamaian lalu teriakannya bertambah memuncak tinggi Ini
adalah perumpamaan argumen-argumen mereka.
Mereka
ibarat dua orang buta, jika keduanya berbenturan karena tidak mengerti jalan
dan masing-masing tidak mengerti posisi yang lain, salah seorang di antara
mereka mengira bahwa temannya ini sengaja. Maka ia akan memukulnya dengan
tangan dan tongkat. Lalu kamu akan lihat, mereka saling pukul memukul.
Beginilah
keadaan syubhat-syubhat orang-orang ini. Saat kebenaran (al haq) itu masih
unggul dan menonjol, maka syubhat-syubhat itu tidak akan berdampak sama sekali.
Karena syubhat-syubhat ini hanya berasaskan kebohongan dan praduga yang tidak
bisa diterima, bahkan syubhatsyubhat itu saling menjatuhkan. Oleh karena itu
sering disebutkan bahwa sebagian di antara mereka merusak argumen mereka
sendiri. Seperti ahlul bid'ah, salah satu di antara mereka membuat-buat argumen
dan dijadikan sebagai dalil, lalu dia batalkan sendiri argumen ini atau dilawan
oleh syaikhnya atau muridnya. Ini menunjukkan bahwa syubhat-syubhat tidak
berlandaskan ilmu yang kokoh.
Sedangkan
hujjah-hujjah (argumen-argumen) para sahabat, tabi'in, tabi' tabi'in berdiri
tegak di atas dalil kokoh. Sehingga syubhat-syubhat tidak meninggalkan efek
sama sekali, karena kekokohan aqidah, kekuatan iman para salaf dan mengakar
iman dalam hati-hati mereka.
Beberapa Contoh Kekokohan Iman
Para Salaf
Tidak
disangsikan lagi ada beberapa kisah para sahabat, baik yang laki ataupun wanita
yang dapat menjadi dalil (bukti) kemantapan iman mereka dan kekokohan aqidah
keyakinan mereka. Terlebih lagi ilmuilmu yang mereka ketahui dan amalkan.
Bukankah ada di antara mereka yang menaklukkan beberapa negara, berjihad dengan
benar di jalan Alloh Subhanahu wa Ta'ala, sehingga Alloh menangkan dien ini
dengan perantaraan mereka dalam waktu singkat. Mereka berhasil menaklukkan
beberapa negara dalam waktu kurang dari delapan puluh tahun. Kenapa? Karena
iman mereka kokoh mengakar dalam hati-hati mereka, lalu bersinergi dengan
kekuatan dan melakukan peperangan dengan gagah berani. Maka Alloh Subhanahu wa
Ta'ala memenangkan agama ini dengan perantara tangan mereka, lalu Islam
berhasil merambah bumi bagian timur dan barat, didengar oleh penduduk yang jauh
dan dekat.
Tidak
diragukan lagi bahwa ini merupakan bukti kekokohan iman mereka. Iman yang kuat
melahirkan keberanian pada diri pemiliknya. Hal ini disebabkan karena dia tahu
bahwa dunia hanyalah perhiasan yang menipu sedangkan Akhirat adalah negeri
abadi.
Jadi
keimanannya kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala, kepada hari akhir, surga dan
neraka dan adanya pahala, ini semua memotivasi dia untuk siap mengorbankan
dirinya dan tidak takut dengan celaan orang yang mencela. Maka dia akan
mengucapkan perkataan yang haq di hadapan siapa saja, tidak berbuat nifaq dan
tidak berpura-pura. Dia juga akan (termotivasi untuk) menginfakkan apa yang
dimilikinya di jalan Alloh demi mencapai ridha-Nya, sampaisampai di malam
harinya dia tidak memiliki makanan apapun juga, karena percaya kepada Alloh Subhanahu
wa Ta'ala.
Untuk
menjelaskan betapa kuat dan kokoh keimanan para salaf, kami akan membawakan dua
contoh dengan singkat.
Keimanan Abu Bakar As Shiddiq
-rodhiallohu 'anhu-
Ketika
Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam
memerintahkan
kepada para sahabatnya untuk bersedekah, Abu Bakar rodhiallohu 'anhu datang
dengan membawa semua hartanya. Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bertanya
kepadanya, "Apa yang engkau tinggalkan buat keluargamu?"
Abu Bakar
menjawab: "Aku tinggalkan Alloh dan Rasul-Nya buat mereka." Maksudnya
saya yakin bahwa Alloh akan memberikan rezeki kepada mereka. Bukankah ini bukti
kekuatan dan kekokohan iman mereka?!
Keimanan Imam Ahmad
-rohimahulloh-
Istrinya
yaitu Ummu Abdillah bercerita tentang Imam Ahmad, "Yang paling membuat
Imam Ahmad bahagia adalah jika aku mengatakan kepadanya, 'Gandum sudah habis
tanpa sisa, kita tidak memiliki gandum lagi yaitu makanan.' Beliau rohimahulloh
mengatakan: 'Kalau begitu, sekarang harapanku akan bergantung kepada Alloh. Dan
saya tahu bahwa Dialah yang memberikan rezeki, dan mempermudah sebab
mendapatkannya (usaha).'"
Ini
karena mereka tahu bahwa semua yang di sisi Alloh itu akan senantiasa kekal dan
ada. Ini semua merupakan buah dari keimanan yang benar dan lurus yang di antara
dalildalinya adalah nash-nash yang shahih.
Diantara Atsar Keimanan Salaf
Di antara
Atsar keimanan Salaf juga adalah penampakan kebenaran di hadapan orang yang
menentang dan menyelisihinya. Sebagai contoh, pada abad ketiga pada zaman imam
Ahmad sebagian ahli bid'ah berhasil mempengaruhi sebagian kholifah dan mereka
mengajak kepada bid'ah Jahmiyah pengingkar adanya sifat-sifat bagi Alloh dan
berpendapat bahwa Al Quran adalah makhluk bukan kalam Alloh. Namun imam Ahmad
kokoh bertahan dan sabar mendapatkan siksaan di penjara berupa pukulan,
cambukan dan sebagainya.
Bukankah
ini bukti kekuatan iman?! Iman yang kokoh mengakar di hati beliau dan
mendorongnya untuk sabar. Karena kekhawatiran pada umat ini beliau berjihad
dengan sungguh-sungguh dan menghadapi orang-orang sesat dan penyeru kepada
kesesatan tersebut, agar dapat memenangkan kebenaran dari kebatilan sehingga
kebatilan itu pun menjadi lebur (hilang). Ketika imam Ahmad istiqomah di atas
kebenaran maka umatnya pun bersama beliau seluruhnya dan seluruh salaf bersaksi
bahwa beliau berada di atas kebenaran dan didukung dalil yang kuat. Apa yang
membuatnya dapat bersabar menahan gangguan, dipenjara, dipukul dan dicambuk
dengan sangat keras dan kuatnya di hadapan orang-orang zalim dari para da'i
yang mengajak kepada kesesatan yang telah membohongi kholifah agar memenjara
beliau dan mencambuknya atau membunuhnya?! Satu kepastian yang membuatnya sabar
atas hak itu seluruhnya adalah rasa percaya bahwa ia berada di atas kebenaran
dan imannya beliau bahwa beliau di atas keyakinan benar dan yang selainnya
adalah batil.
Juga
pendapat mereka batil tidak dibangun di atas dalil. Ini jelas-jelas adalah
keimanan yang kokoh. Siapa
yang ingin memantapkan keimanan dalam hatinya, maka hendaklah dia mengambil
keimanan tersebut dari sumbernya yang masih murni yaitu kitab-kitab sunnah dan
kitab-kitab yang diisi dengan penjelasan para ulama tentang aqidah salaf dan
dalil-dalil mereka.
Dan
hendaknya dia juga tahu sedikit mengenai sejarah hidup para salaf dan
penjelasan mengenai aqidah mereka. Tidak diragukan lagi bahwa aqidah mereka
adalah aqidah firqah najiyah (golongan yang selamat) diberitahukan oleh
Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bahwa mereka berada di atas Al Haq.
Sebagaimana dalam sabda beliau shollallohu 'alaihi wa sallam:
"...
dan umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya masuk
dalam neraka kecuali satu."
Para
sahabat bertanya, "Siapakah mereka, Wahai Rosululloh?" Beliau
menjawab: "Orang yang berjalan di atas jalan yang aku tempuh saat ini
dengan para sahabatku." (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad 3/145,
Ibnu Maajah no. 3993 dari Anas bin Malik rodhiallohu 'anhu, Imam Ad Darimiy
2/241, Abu Daud no. 4597 dari Muawiyah bin Abu Sufyan, dan diriwayatkan oleh
Imam Tirmidzi no. 2641 dari Abdullah bin Umar rodhiallohu 'anhuma)
Persaksian
Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bahwa mereka adalah firqah najiyah
(golongan yang selamat) merupakan bukti bahwa mereka berada di atas al haq,
baik yang berkaitan dengan aqidah atau masalah-masalah furu' (cabang-cabang).
Dan di dalam sabda beliau itu juga terdapat penjelasan bahwa generasi setelah
mereka lebih sedikit kebenarannya, meskipun generasi setelah merekalebih ringan
kesalahan dibandingkan dengan generasi berikutnya.
Maka barang
siapa yang mengikuti para salaf dalam masalah aqidah, ilmu, amal, maka bisa
diharapkan dia akan dikumpulkan bersama para salaf tersebut. Sedangkan orang
yang menyimpang dari jalan yang benar dan meniti jalan kebid'ahan, berarti dia
sudah meniti salah satu jalan di antara jalan-jalan kesesatan atau sudah
terjerumus dalam kesesatan.
Begitu
juga orang-orang yang mendalami ilmu-ilmu yang tidak syar'i dan lebih
mengutamakannya dari pada ilmuilmu syar'i, seperti orang yang sibuk mempelajari
ilmu filsafat yang merupakan lawan ilmu syar'i. Ilmu yang benar itu adalah
agama Alloh Subhanahu wa Ta'ala dan warisan para nabi.
Barang
siapa tersibukkan oleh ilmu-ilmu yang bertentangan dengan ilmu syar'i atau jauh
dari ilmu syar'i, maka tidak diragukan lagi orang ini telah menghalangi dirinya
sendiri dari ilmu yang benar.
Kami
tidak mengatakan, bahwa semua orang tidak boleh mempelajari kecuali ayat-ayat
dan hadits-hadits atau yang semakna. Akan tetapi boleh saja mempelajari
ilmu-ilmu modern tapi dengan syarat tidak bertentangan dengan ilmu syariat,
tidak mengurangi hak ilmu syariat, dan memberikan perhatian yang cukup kepada
ilmu syariat, sehingga dia bisa memahami agamanya, baik yang berkaitan dengan
aqidah atau dengan amal perbuatan.
Semoga
Alloh menjadikan kita termasuk orang-orang yang istiqomah, orang yang berjalan
di atas jalannya para salaf, termasuk orang-orang yang berpegang teguh dengan
sunnah nabi kita Muhammad shollallohu 'alaihi wa sallam dan termasuk
orang-orang yang meniti jalan beliau shollallohu
'alaihi wa sallam.
Wallohu
a'lam wa ahkam. Washallohu 'ala nabiyina Muhammadin wa 'ala alihi wa shahbihi
wa sallama tasliman katsiran.
Catatan Kaki:
1 Asal risalah ini adalah ceramah Syaikh Abdulloh bin Abdurrahman Al Jibrin, kemudian ditranskrip dalam tulisan kertas lalu aku perbaiki dan hapus lafadz yang berulang-ulang dan menambah tambahan yang sesuai dengan susunan kalimatnya. Kemudian aku bacakan kepada Syaikh Jibrin lalu beliau menshohihkannya dan mengizinkan untuk dicetak dan disebarkan, agar bermanfaat untuk semua. Semoga Alloh menjadikannya dalam timbangan amalan beliau dan memberikan pahala dan balasan bagi semua yang terlibat dalam mencetaknya, sesungguhnya Alloh Maha Mendengar lagi Maha Penerima do'a.
1 Asal risalah ini adalah ceramah Syaikh Abdulloh bin Abdurrahman Al Jibrin, kemudian ditranskrip dalam tulisan kertas lalu aku perbaiki dan hapus lafadz yang berulang-ulang dan menambah tambahan yang sesuai dengan susunan kalimatnya. Kemudian aku bacakan kepada Syaikh Jibrin lalu beliau menshohihkannya dan mengizinkan untuk dicetak dan disebarkan, agar bermanfaat untuk semua. Semoga Alloh menjadikannya dalam timbangan amalan beliau dan memberikan pahala dan balasan bagi semua yang terlibat dalam mencetaknya, sesungguhnya Alloh Maha Mendengar lagi Maha Penerima do'a.
Disebarkan
dalam bentuk Ebook di Maktabah Abu Salma al-Atsari http://dear.to/abusalma
Komentar
Posting Komentar