Oleh : Ust. Achmad Rofi’i, Lc.
بسم
الله
الرحمن
الرحيم
السلام
عليكم
ورحمة
الله
وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati
Allooh سبحانه
وتعالى,
Bahasan kali ini adalah tentang Aadaab
Dzikri atau Tatacara Berdzikir atau Kaifiyat Berdzikir kepada
Allooh سبحانه
وتعالى.
Kalau kita sudah melazimkan berdzikir, maka kita tinggal melakukan introspeksi.
Kalau ada yang salah, maka mudah-mudahan bahasan ini bisa berfungsi sebagai
pelurus. Kalau belum berdzikir, maka mudah-mudahan bahasan ini menjadikan kita
tertarik untuk melazimkan berdzikir. Kalau sudah biasa berdzikir tetapi masih
kurang, maka mungkin dengan bahasan ini lalu bisa ditambah. Dan kalau ada
pemahaman yang keliru, maka tentunya harus kita luruskan sesuai dengan tuntunan
Rosuulullooh صلى
الله
عليه
وسلم.
Istilah Dzikir bagi
kita tentunya sudah tidak asing lagi, bahkan dalam beberapa dekade terakhir ini
menjadi suatu trendy, yaitu beberapa istilah akhir-akhir ini misalnya: Dzikir
Nasional, Dzikir Akbar, Majlis Dzikir, dll. Selain itu kita juga sering
mendengar ada istilah “Istighootsah kubro”, dll yang merupakan
kreativitas, padahal semestinya kita kembali kepada landasan yang benar,
tidaklah hanya sekedar sebagai suatu istilah saja.
Aadaab Dzikir itu tidak kalah
pentingnya untuk kita perhatikan, karena tidak kurang dari 12 poin yang
berkenaan dengan dzikir. Kami nukilkan dari kitab Mausuu’at Al ‘Aadaab Al
Islamiyyah, yang ditulis oleh seorang Syaikh bernama Abdul ‘Aziz bin
Fathi As Sayyid Nida.
Perlu kita sadari bahwa “Dzikir“
maknanya adalah “Ingat“. Tetapi tidak identik dengan “eling”.
Karena “eling” berasal dari ajaran kejawen, sedangkan
“Adz Dzikru“ berasal dari bahasa Arab,
bahkan berasal dari Al Qur’an dan Hadits Rosuulullooh صلى الله عليه
وسلم.
Maka istilah Dzikir bukanlah istilah yang diciptakan, dilontarkan
atau dicetuskan oleh manusia, melainkan Dzikir adalah wahyu dari
Allooh سبحانه
وتعالى.
Sehingga bisa dipastikan bedanya. Apalagi bila diperhatikan dari sisi
prakteknya, maka Dzikir yang dimaksud oleh Syar’i itu tidak lah
sama dengan “eling”.
Dzikir adalah diperintahkan oleh Allooh سبحانه وتعالى, dan hukumnya sama dengan hukum-hukum Syar’i yang
lain. Kalau kita tahu bahwa sholat 5 waktu hukumnya adalah Wajib, zakat
hukumnya adalah Wajib, shoum hukumnya adalah Wajib, maka Dzikir pun sebenarnya
hukumnya adalah Wajib.
Karena Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Al Ahzab (33) ayat 41:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْراً كَثِيراً
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, dzikirlah
(ingatlah) kalian kepada Allooh dengan dzikir (ingat) yang
seBANYAK-BANYAK-nya.”
Yang bisa dipastikan dalam ayat
tersebut adalah tiga hal:
1.
Dzikir (ingat)
2.
Yang diingat (di-dzikir-i), yaitu Allooh سبحانه وتعالى
3. Banyak
(katsiiran). Arti “BANYAK” disini adalah mutlak. TIDAK
BOLEH ADA
ORANG YANG MEMBATASI BANYAKNYA DZIKIR. Dzikir tidak
bisa disebutkan berapa kali jumlahnya, KALAU TIDAK ADA DALIIL YANG MENENTUKAN
JUMLAHNYA.
Bahwa dalil itu bila ia mutlak,
maka biarkanlah ia mutlak sampai dengan datangnya suatu dalil yang me-muqoyyad-kan
(men-detailkan) dalil yang mutlak tersebut. Kata “katsiiran”
(banyak) artinya adalah mutlak, tidak dijelaskan berapa banyaknya. Sehingga tidak
boleh ada orang yang mengatakan bahwa banyaknya harus 1000 kali atau 100 kali
atau 7 kali, TANPA SUATU DALIL. Yang demikian ini adalah tidak boleh.
Yang harus kita pahami juga, bahwa Dzikir
itu adalah ibadah. Dzikir bukanlah kreativitas, karena bukan termasuk
masalah duniawi. Melainkan Dzikir adalah perintah Allooh سبحانه وتعالى dan hukum aslinya adalah Wajib, seperti perintah berdzikir
sebanyak-banyaknya sebagaimana yang telah disebutkan pada ayat diatas.
Al Qur’an itu minimal terdiri atas
dua perkara yang paling inti, yaitu Hukum dan Khobar.
Hukum berisi perintah dan larangan. Perintah bisa menjadi Wajib
dan bisa menjadi Sunnah. Larangan bisa menjadi Harom dan bisa
menjadi Makruh. Dan kalau tidak ada perintah atau larangan, maka
hukumnya adalah Mubah (Boleh).
Khobar ada berberapa kriteria, yaitu khobar tentang masa
lalu, dan khobar tentang masa yang akan datang termasuk hari esok sampai
hari Kiamat.
Ada khobar yang merupakan
berita yang akan terjadi di masa yang akan datang, seperti ‘Alam Barzakh
(kubur), Hari Kiamat dan sebagainya, yaitu balasan bagi ahli Tauhiid maupun
ahli Syirik.
Dengan demikian, maka Dzikir adalah
termasuk Hukum. Karena berupa Hukum dan Perintah Allooh سبحانه وتعالى, maka dzikir adalah tergolong ibadah. Karena
dzikir itu ibadah, maka harus melekat pada setiap hati dan pikiran kita bahwa
Ibadah itu hukum asalnya adalah Harom, bila tidak ada dalil tentangnya.
Dalam kaidah dikatakan:
“Al Ashlu fil ‘ibaadati
attahriim illaa ma ja’a bihii daliil” (Hukum ibadah itu asalnya
adalah Harom, kecuali bila ada dalilnya).
Contohnya:
a) Seandainya
ada orang mengatakan “Anda harus mengamalkan suatu dzikir”. Jika ia yang
mengatakan demikian itu, tidak bisa membuktikan dalilnya bahwa dzikir yang
dimaksud tersebut mesti dilakukan, maka dzikir itu secara hukum adalah Harom
untuk dilaksanakan.
b)
Sebaliknya, bila ada orang yang mengatakan “Tidak boleh berdzikir”. Jika
ia yang mengatakan demikian itu ternyata tidak ada dalil tentang larangan
tersebut, maka larangan itu adalah Harom.
Dzikir itu adalah Ibadah.
Dan karena merupakan ibadah, kalau ada dalilnya akan kita bahas dan kita
amalkan. Kalau tidak ada dalilnya, maka Harom untuk kita amalkan atau
kita lazimkan.
Demikianlah landasan sebagai muqoddimah
bahasan kita kali ini, sehingga kita lurus dalam memahami perkara Dzikir ini.
Berkenaan dengan Dzikir, ada 6
perkara yang tidak boleh dilanggar yaitu:
1. SEBAB.
Apa yang menjadi sebab dari seseorang itu berdzikir.
Misalnya: Seseorang berdzikir karena
ingin mendapatkan istri. Sebab yang seperti ini bisa menjadi salah, karena
tergolong beribadah kepada Allooh سبحانه وتعالى
dengan sebab yang tidak disyari’atkan oleh Allooh سبحانه وتعالى.
Padahal, seharusnya seseorang itu
berdzikir karena ingin melaksanakan perintah Allooh سبحانه وتعالى, bukan sebagaimana sebab seperti yang dicontohkan di atas
atau sebab-sebab duniawi lainnya seperti ingin sakti, dll.
Yang benar, seseorang berdzikir itu
landasannya haruslah Syar’i. Kalau tidak syar’i, berarti menyimpang atau
Bid’ah.
2. CARA
berdzikir. Cara berdzikir haruslah sesuai dengan tatalaksana menurut Sunnah
Rosuulullooh صلى
الله
عليه
وسلم.
Kalau cara berdzikirnya itu mengarang sendiri atau menurut ketentuan dan rumusan sendiri, baik secara untaian lafadz, ataupun urutan dzikirnya, ataupun urutan sistematikanya; maka yang demikian itu termasuk perbuatan Bid’ah karena tidak ada ajarannya dari Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Kalau cara berdzikirnya itu mengarang sendiri atau menurut ketentuan dan rumusan sendiri, baik secara untaian lafadz, ataupun urutan dzikirnya, ataupun urutan sistematikanya; maka yang demikian itu termasuk perbuatan Bid’ah karena tidak ada ajarannya dari Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Misalnya: dzikir dengan
kepala digeleng-gelengkan, atau badan digoyang-goyangkan, yang seperti itu
tidak boleh karena tidak ada dalilnya. Dzikir dengan menggunakan tasbih,
atau dzikir diharuskan dengan berpakaian seragam putih-putih, hal-hal ini pun
termasuk tidak boleh karena tidak ada dalilnya.
3. BILANGAN (JUMLAH) berdzikir.
Bilangan (Jumlah) berdzikir bukanlah wewenang manusia untuk menentukannya.
Misalnya: Ada yang mengatakan “Bila
ingin mudah rizqinya, maka ucapkanlah yaa Wahhaab, yaa Wahhaab sebanyak 1001
kali.” Menyebutkan bilangan seperti itu adalah tidak boleh, karena tidak
ada dalilnya. Bilangan-bilangan dzikir yang tidak ada tuntunannya yang shohiih
dari Rosuulullooh صلى
الله
عليه
وسلم
ini, seringkali berasal dari buku-buku yang dijual di pasaran kaki lima,
seperti: Khasiat Asmaa’ul Husna, dll, dimana juga dikatakan kalau
tulisan-tulisan dzikir itu hendaknya dimasukkan kedalam air putih, lalu diminum,
dstnya. Yang dimana hal-hal seperti ini tidak ada dalilnya, jadi walaupun
dijual belikan dalam buku yang edisi cetakannya bagus (tampak mahal) sekali
pun, janganlah dibeli dan tidak boleh diamalkan.
Tetapi kalau memang ada dalilnya
yang berasal dari Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه
وسلم,
dan dalilnya adalah shohiih, maka barulah benar dan boleh untuk
dilaksanakan.
Contoh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imaam Al Bukhoory dan Imaam Muslim dari shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
Contoh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imaam Al Bukhoory dan Imaam Muslim dari shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنْ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ حَتَّى يُمْسِيَ وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلَّا أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ
Artinya:
“Barangsiapa membaca “Laa
Ilaaha Illalloohu Wahdahu Laa Syariikalahu, Lahul Mulku Walahul Hamdu Wahuwa
‘Alaa Kulli Syai’in Qodiir” (artinya: “Tidak ada yang berhak diibadahi
dengan sebenarnya, kecuali hanya Allooh dan tidak ada sekutu bagi-Nya,
milik-Nya segala Kerajaan dan Pujian dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu”)
sebanyak 100 kali dalam sehari, maka baginya (pahala) seperti memerdekakan
sepuluh budak, ditulis seratus kebaikan, dihapus darinya seratus keburukan dan
mendapatkan perlindungan dari syaithoon pada hari itu hingga sore hari.”
(Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory no: 3293 dan Imaam Muslim no: 7018 dan
ini lafadz dari Imaam Al Bukhoory)
4. TEMPAT
Kalau ada orang yang mengatakan “Anda
harus berdzikir di Gunung Kidul, atau di kaki Gunung Ciremai atau di makam Wali
Songo”, misalnya, maka berarti ia telah memberikan suatu ketentuan tempat;
yang jika menentukan suatu tempat tertentu untuk berdzikir itu tidak ada
landasan dalilnya maka dikategorikan sebagai Bid’ah.
Bahkan sampai untuk urusan Haji atau
Umroh sekalipun, diantara kaum muslimin berkembang suatu khurofat (tahayul),
dimana mereka meyakini bahwa jika seseorang mudah masuk ke Gua Hira lalu
sholat dua roka’at didalamnya, maka ia akan dimudahkan segala urusannya di
dunia. Ini tidak benar, karena tidak ada landasan dalil yang shohiih
tentangnya. Padahal, Gua Hira itu diatas tebing gunung yang tinggi,
sulit dijangkau, tidak ada rumput, hanya batu-batuan yang terjal, kalau orang
terpeleset jatuh ke bawah maka ia bisa mati. Tetapi banyak kaum muslimin yang
tidak jera, mereka berduyun-duyun naik ke Gua Hira karena ingin
melakukan amalan yang tidak ada sunnahnya. Hal ini hendaknya menjadi
peringatan bagi kaum muslimin.
5. WAKTU
Misalnya ada yang mengatakan “Anda
harus berdzikir sebelum matahari terbenam atau sesudah terbit matahari”,
dsbnya yang tidak ada landasan dalil yang shohiih tentangnya, maka itu
terkategorikan Bid’ah.
6. JENIS dzikir
Ketentuan dzikir itu haruslah
berdasarkan tuntunan dan ajaran dari Allooh سبحانه وتعالى
dan Rosuulullooh صلى
الله
عليه
وسلم.
Tidak boleh ada orang yang mengarang dzikir sendiri, kecuali bila itu hanyalah
sekedar mengingat Allooh سبحانه
وتعالى
di dalam hati saja.
Tetapi memberi ketentuan jenis
dzikir tertentu lalu diajarkan, diijazahkan kepada orang lain untuk diamalkan
dan itu jelas tidak ada tuntunannya dari Rosuulullooh صلى الله عليه
وسلم,
maka yang demikian itu adalah tergolong Bid’ah. Meskipun yang
mengajarkannya adalah Kyai atau Ajeungan sekalipun, tetap tidak
boleh diamalkan bila tidak ada dalil shohiih tentangnya.
Enam perkara tersebut perlu untuk
diketahui dan dijadikan landasan pada diri kita masing-masing, ketika kita
membahas tentang masalah dzikir atau ibadah-ibadah yang lainnya.
Kalau enam perkara itu ada dalam
tuntunan yang shohiih dari Allooh سبحانه وتعالى
dan Rosuululloh صلى
الله
عليه
وسلم,
maka itu merupakan Sunnah untuk diamalkan. Tetapi bila tidak ada
ajarannya, tidak ada tuntunannya, maka janganlah coba-coba; karena kalau hal
itu dilakukan, maka sebanyak atau selama apa pun Anda berdzikir, maka dzikir
itu nilainya adalah nol dihadapan Allooh سبحانه وتعالى.
Tidak akan diterima, dan tertolak.
Sebagaimana sabda Rosuulullooh صلى الله عليه
وسلم:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
Artinya:
“BARANGSIAPA MENGADAKAN
SESUATU YANG BARU DALAM URUSAN DIIN kami yang bukan berasal
darinya, maka (PERBUATAN ITU) TERTOLAK.” (Hadits Riwayat Imaam
Al Bukhoory no: 2697 dan Imaam Muslim no: 4589, dari ‘Aa’isyah رضي الله عنها)
Jadi barangsiapa yang beramal
tidak sesuai dengan ajaran Rosuulullooh صلى الله
عليه
وسلم,
maka amalan itu tertolak, tidak akan diterima oleh Allooh سبحانه وتعالى.
Meskipun dzikirnya itu dikerjakan
dengan khusyu’, dengan rasa haru sampai melelehkan air mata, menangis
dan sebagainya; itu semua tidak ada artinya. Karena ini adalah urusan ibadah,
bukan urusan rasa. Bukan urusan enak dan tidak enak, bukan urusan sreg
dan tidak sreg; tetapi urusannya adalah dalil. Kalau tidak ada
dalilnya, tidak ada perintah dari Allooh سبحانه وتعالى
dan Rosuul-Nya, maka berarti Bid’ah. Kalau ada dalilnya, maka itu
berarti adalah masyru’ (Syar’i).
Bab. DZIKIR
Kalau kita hendak berdzikir, karena
kita tahu bahwa Dzikir itu adalah perintah Allooh سبحانه وتعالى dan tuntunan Rosuulullooh صلى الله
عليه
وسلم,
maka ada beberapa hal yang perlu dan harus kita perbuat, yaitu:
1. Harus dengan NIAT IKHLAS dan Lillaahi
Ta’alaa
Ketika kita berniat untuk berdzikir,
haruslah tulus karena Allooh سبحانه وتعالى.
Ikhlas dalam niat berdzikir, motivasinya adalah:
a. Karena Allooh سبحانه وتعالى memerintahkannya kepada kita, sebagaimana firman-Nya
dalam QS. Al Baqoroh (2) ayat 152 :
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُواْ لِي وَلاَ تَكْفُرُونِ
Artinya:
“Karena itu, ingatlah kamu
kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku,
dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat)-Ku.”
b. Karena kita butuh
kepada Allooh سبحانه
وتعالى,
sementara Allooh سبحانه
وتعالى
tidaklah butuh kepada kita.
Dalam Hadits riwayat Imaam Al
Bukhoory no: 6407, Rosuulullooh صلى الله
عليه
وسلم
bersabda:
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ
Arinya:
“Perumpamaan orang yang ingat
(berdzikir) kepada Robb-nya dengan orang yang tidak ingat
(berdzikir) kepada Robb-nya adalah laksana orang yang hidup dengan orang
yang mati.”
c. Dzikir kita
hanyalah ditujukan kepada Allooh سبحانه وتعالى,
bukan kepada selain-Nya. Tidak usah menyebut-nyebut para Wali, para
‘Ulama misalnya Abdul Qodir Jaelani karena yang demikian tidak diajarkan
oleh Rosuulullooh صلى
الله
عليه
وسلم.
Tidak ada pula dzikir untuk mengingat Wali atau ‘Ulama si Anu dsbnya. Juga
tidak ada tuntunan dari Rosuul صلى الله
عليه
وسلم
untuk mengirim bacaan Surat Al Faatihah kepada si Fulan bin Fulan. Itu
semua tidak ada tuntunannya dari Rosuulullooh صلى الله
عليه
وسلم
dan merupakan perkara yang Bid’ah.
d. Berdzikir itu
hanya karena berharap ganjaran dan pahala kebajikan dari Allooh سبحانه وتعالى belaka.
Perhatikan firman Allooh dalam
QS. Al Ahzaab (33) ayat 35:
… وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيراً وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم
مَّغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً
Artinya:
“… laki-laki dan perempuan yang
banyak menyebut (nama) Allooh, Allooh telah menyediakan untuk mereka
ampunan dan pahala yang besar.”
Juga Hadits dari shohabat Abud Darda
رضي
الله
عنه,
dimana Rosuulullooh صلى
الله
عليه
وسلم
bersabda : “Maukah kamu kutunjukkan perbuatan yang terbaik, paling
suci disisi Allooh, dan paling mengangkat derajatmu; lebih baik
bagimu daripada infaq emas ataupun perak, dan lebih baik bagimu daripada
bertemu dengan musuhmu lantas kamu memenggal lehernya atau mereka yang
memenggal lehermu?”
Para shohabat yang hadir berkata, “Mau,
ya Rosuulullooh !”
Maka beliau صلى الله عليه
وسلم
bersabda, “Dzikir kepada Allooh yang Maha Tinggi.”
Itulah yang dimaksud dengan ikhlas
kepada Allooh سبحانه
وتعالى
dalam berdzikir. Tidak peduli penilaian dari orang lain, komentar orang lain,
yang jelas dzikir karena ikhlas, tulus berharap dari sisi Allooh سبحانه وتعالى belaka.
Sedangkan dalil tentang “Ikhlas”
adalah umum seperti halnya untuk ibadah-ibadah yang lain, sebagaimana firman
Allooh سبحانه
وتعالى
dalam QS. Ghofir (40) ayat 65 :
هُوَ الْحَيُّ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya:
“Dialah Yang hidup kekal, tiada
Tuhan (yang berhak diibadahi) melainkan Dia; maka ibadahilah Dia dengan
memurnikan ibadah kepada-Nya. Segala puji bagi Allooh Robb semesta alam.”
Dan dalam QS. Al Bayyinah (98) ayat
5:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ …
Artinya:
“ Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya beribadah kepada Allooh dengan memurnikan keta`atan
kepada-Nya dalam (menjalankan) dien dengan lurus…”
Juga dalam QS. Az Zumar (39) ayat
11:
قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصاً لَّهُ الدِّينَ
Artinya:
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku
diperintahkan supaya beribadah kepada Allooh dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) dien.”
Jadi, tidaklah kita diperintahkan
oleh Allooh سبحانه
وتعالى
untuk melakukan sesuatu, kecuali hanyalah untuk beribadah kepada Allooh سبحانه وتعالى dengan tulus. Tidak ada perintah lain, kecuali untuk
beribadah. Maka satu-satunya tugas pekerjaan kita di dunia ini adalah untuk beribadah
kepada Allooh سبحانه
وتعالى.
Ketika kita beribadah kepada Allooh سبحانه وتعالى termasuk dzikir, keadaannya haruslah ikhlas, jangan
terpaksa, jangan karena selain Allooh سبحانه وتعالى.
Harus betul-betul karena Allooh سبحانه وتعالى.
Dorongan dan motivasi kita adalah dari Allooh سبحانه وتعالى dan untuk Allooh سبحانه وتعالى,
juga berdasarkan syari’at dari Allooh سبحانه وتعالى.
Itulah hal yang penting yang harus kita ingat, ketika kita berdzikir.
Ada Hadits Rosuulullooh صلى الله عليه
وسلم
yang sangat masyhur, dimana beliau صلى الله
عليه
وسلم
bersabda:
إنما الأعمال بالنيات
“Inna a’malu binniyaat” (“Amalan itu haruslah
dibarengi dengan niat”),
Lalu sabda beliau صلى الله عليه
وسلم
selanjutnya:
“Seseorang itu akan berhak
mendapatkan balasan dari Allooh sesuai dengan niatnya.”
Kalau seseorang itu beramal karena
selain Allooh سبحانه
وتعالى,
maka ia tidak akan mendapatkan apa-apa; paling-paling hanyalah mendapatkan
pujian dari orang lain. Tetapi bila seseorang itu beramal karena Allooh سبحانه وتعالى, maka kata Ibnu Rojab Al Hambali رحمه الله :
“Jika ada seseorang beribadah kepada Allooh سبحانه وتعالى, ia tulus karena Allooh سبحانه وتعالى, lalu ada orang yang memujinya; maka menurut Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم itu adalah berita gembira sebagai balasan dari Allooh سبحانه وتعالى yang didahulukan di dunia ini bagi orang yang beramal shoolih. Ia tidak berharap, tetapi ia mendapat. Karena orang yang beramal shoolih dan mengharapkan balasannya di akhirat, maka ia tidak hanya mendapatkan balasan di akhirat saja melainkan di dunia pun ia juga akan mendapatkan balasan.”
“Jika ada seseorang beribadah kepada Allooh سبحانه وتعالى, ia tulus karena Allooh سبحانه وتعالى, lalu ada orang yang memujinya; maka menurut Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم itu adalah berita gembira sebagai balasan dari Allooh سبحانه وتعالى yang didahulukan di dunia ini bagi orang yang beramal shoolih. Ia tidak berharap, tetapi ia mendapat. Karena orang yang beramal shoolih dan mengharapkan balasannya di akhirat, maka ia tidak hanya mendapatkan balasan di akhirat saja melainkan di dunia pun ia juga akan mendapatkan balasan.”
Maka hendaknya berdzikir itu
ikhlas karena Allooh سبحانه
وتعالى.
Jangan berdzikir dengan dibuat-buat (Tashonnu’) atau berpura-pura
rajin berdzikir. Jangan pula meninggalkan berdzikir karena orang.
Kata para ‘Ulama: “Kalau anda
melakukan suatu perbuatan karena manusia, atau anda tidak melakukan suatu
perbuatan itu juga karena manusia; maka ketahuilah bahwa anda telah berlaku
Riya’.”
2. Dzikir tidak perlu dibatasi,
kalau memang tidak ada batasannya
Berdzikirlah kepada Allooh سبحانه وتعالى dengan dzikir yang banyak (QS. Al Ahzab (33) ayat 41):
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْراً كَثِيراً
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, dzikirlah
(ingatlah) kalian kepada Allooh dengan dzikir (ingat) yang
sebanyak-banyaknya.”
Memperbanyak dzikir itu adalah dalam
berbagai keadaan.
Para ‘Ulama sudah banyak menulis
untuk kita sekalian, yang merupakan suatu warisan yang sangat besar sebagai
suatu tuntunan praktis untuk kita, seperti Imaam An Nawawy رحمه الله yang menulis kitab khusus yang berjudul Kitab “Al
Adzkaar”. Di Indonesia, yang ada adalah Ringkasan dari Kitab “Al
Adzkaar” tersebut, jadi diambil hanyalah hadits-hadits yang shohiih-nya
saja. Karena didalam kitab aslinya, ada pula dimuat hadits-hadits yang dho’iif
(lemah). Namun pada intinya, kitab tersebut merupakan rujukan penting bagi
kita dalam masalah Dzikir, terutama Dzikir dalam berbagai keadaan.
Karena firman Allooh سبحانه وتعالى seperti disebutkan diatas, yakni agar kita berdzikir
dengan dzikir yang banyak, maka dzikir itu tidak dibatasi. Misalnya bisa dimana
saja, ketika kita berada di rumah, di kantor, di jalan yang macet, dan
sebagainya. Hendaknya dzikir itu kita lazimkan dalam hidup kita sehari-hari.
Dalam sebuah Hadits shohiih yang
diriwayatkan oleh Imaam Muslim, dari istri beliau yakni ‘Aa’isyah رضي الله عنها,
bahwasanya Rosuulullooh صلى
الله
عليه
وسلم
selalu berdzikir dalam berbagai keadaan :
عن عائشة رضي الله عنها قالت : كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يذكر الله على كل أحيانه
(Hadits Riwayat Imaam At Turmudzy
no: 3384)
Berarti berdzikir itu tidak harus
menunggu malam Jum’at Kliwon, atau malam Kamis, atau malam
Nisfu Sya’ban atau malam-malam tertentu, sebagaimana yang diyakini oleh
sebagian kalangan di masyarakat kita. Tetapi Dzikir itu adalah
dilakukan dalam berbagai keadaan, kapan saja, dimana saja, dan didalam berbagai
perkara; sebagaimana yang dilakukan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه
وسلم
berdasarkan berita dari ‘Aa’isyah رضي الله
عنها
dari Hadits diatas.
Dan dalam QS. Aali ‘Imroon (3)
ayat 191, Allooh سبحانه
وتعالى
berfirman:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ
Artinya:
“(yaitu) orang-orang yang
mengingat Allooh sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): “Ya Robb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Juga dalam Hadits yang diriwayatkan
oleh Imaam Al Bukhoory dan Imaam Muslim dari shohabat Abu Huroiroh رضي الله عنه,
dimana Rosuulullooh صلى
الله
عليه
وسلم
bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً
Artinya:
“Allooh سبحانه وتعالى berfirman, ‘Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku
kepada-Ku. Aku bersamanya bila dia ingat Aku. Jika dia mengingat-Ku dalam
dirinya, Aku mengingatnya dalam diri-Ku. Jika dia menyebut Nama-Ku dalam
suatu perkumpulan, maka Aku menyebutnya dalam perkumpulan yang lebih baik dari
mereka. Bila dia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya
sehasta. Jika dia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku mendekat kepadanya
sedepa. Jika dia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku
mendatanginya dengan berjalan cepat.”
(Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory no: 7405 dan Imaam Muslim no: 6981)
Demikian pula, ketika kita menutup
suatu majlis (majlis ta’lim ataupun musyawarah), maka kita diajarkan untuk
membaca do’a Kaffaratul Malis, yaitu:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
Artinya:
“Maha Suci Engkau, ya Allooh, aku
memuji-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar
kecuali Engkau, aku meminta ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imaam
At Tirmidzy dan Imaam An Nasaa’i dari shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه,
dimana Rosuulullooh صلى
الله
عليه
وسلم
bersabda :
عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم من جلس في مجلس فكثر فيه لغطه فقال قبل أن يقوم من مجلسه ذلك سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت استغفرك وأتوب إليك إلا غفر له ما كان في مجلسه ذلك
Artinya:
“Barangsiapa duduk dalam suatu
majlis, lalu ada kekeliruan dan banyak kesalahan, kemudian sebelum ia bangkit
dari majlis itu, ia membaca: “Subhaanakalloohumma wabihamdika asyhadu allaa
Illaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika”, maka Allooh akan
menghapus kesalahannya yang terjadi di majlis tersebut.” (Hadits Riwayat
Imaam At Turmudzy no: 3433)
Jadi do’a Kaffaratul Majlis
adalah sebagai penghapus dosa dalam majlis tersebut. Karena menurut para
‘Ulama, seandainya dalam bermusyawarah atau duduk dalam majlis ta’lim
itu ada pikiran-pikiran yang jelek, atau tidak pernah berdzikir (ingat kepada
Allooh سبحانه
وتعالى)
sama sekali, maka hendaknya tutuplah majlis itu dengan do’a Kaffaratul
Majlis, sebagai suatu tebusan bahwa majlis itu hendaknya dilandasi oleh
dzikir kepada Allooh سبحانه
وتعالى.
Hal ini menunjukkan bahwa kita harus selalu berdzikir kepada Allooh سبحانه وتعالى.
Dalam memperbanyak dzikir ada munaasabah,
kesempatan-kesempatan yang intinya adalah melazimkan dzikir. Dalam hal ini, ada
7 perkara mengapa kita harus memperbanyak Dzikir, yaitu:
a. Karena kita
mengetahui dan yakin bahwa Allooh سبحانه وتعالى
menyediakan pahala yang besar dari dzikir itu.
b. Karena kita
membayangkan atas janji Allooh سبحانه وتعالى
yaitu surga. Siapa yang banyak berdzikir kepada Allooh سبحانه وتعالى, maka baginya disediakan surga.
c. Meyakini bahwa Allooh
سبحانه
وتعالى
menyertai kita semuanya
d. Kita yakin bahwa dzikir
bisa berfungsi sebagai benteng (pelindung) dari syaithoon. Orang yang tidak
berdzikir, yang hatinya kosong dari mengingat Allooh سبحانه وتعالى, maka ia akan cenderung dirasuki oleh syaithoon. Mungkin
pikirannya atau mungkin ia menjadi kesurupan.
e. Dzikir merupakan
pengganti dan penyempurna dari ibadah-ibadah lain yang diperintahkan kepada
kita. Kalau misalnya, sholat kita kurang sempurna, maka dengan selalu
berdzikir, akan disempurnakan ibadah kita itu
f. Dzikir adalah paling
mudah dilakukan. Misalnya dengan menyebut: Laa Illaaha Ilallooh, atau Subhaanallooh,
atau Laa Haula Walaa Quwwata Illaa Billaah, atau Alloohu Akbar,
atau Alhamdulillah, atau Astaghfirullooh, dll. Sangat mudah mengucapkannya.
Tidak susah.
g. Dzikir bisa membantu kita
merasa ringan untuk menunaikan ibadah-ibadah yang lain. Dengan dzikir, kita
menjadi ringan dan mudah menunaikan ibadah-ibadah yang lain. Itulah salah satu
berkah dari dzikir itu sendiri.
3. Hendaknya ketika berdzikir, kita
menggabungkan antara HATI, MULUT dan PERBUATAN
Hati berdzikir, mulut berdzikir dan
perbuatan kita hendaknya juga dalam rangka berdzikir kepada Allooh سبحانه وتعالى.
عن عبد الله بن بسر رضي الله عنه : أن رجلا قال يا رسول الله إن شرائع الإسلام قد كثرت علي فأخبرني بشيء أتشبث به قال لا يزال لسانك رطبا من ذكر الله
Berdasarkan Hadits dari shohabat ‘Abdullooh
bin Busr رضي
الله
عنه,
beliau رضي
الله
عنه
menjelaskan bahwa ada seorang laki-laki berkata, “Wahai Rosuulullooh,
sesungguhnya syari’at Islam ini telah banyak bagiku, oleh karena itu
beritahukanlah aku tentang sesuatu yang dapat dijadikan pegangan.”
Maka beliau صلى الله عليه
وسلم
bersabda, “Tidak henti-hentinya lidahmu basah karena berdzikir (lidahmu
senantiasa mengucapkan dzikir) kepada Allooh.” (Hadits Riwayat
Imaam At Tirmidzy no: 3375 dan Imaam Ibnu Maajah no: 3793)
Oleh karena itu, jadikanlah MULUT
kita senantiasa MENGUCAPKAN dzikir kepada Allooh سبحانه وتعالى, dan itu lebih baik karena akan meninggikan derajat kita
sendiri di sisi Allooh سبحانه
وتعالى.
Sebagaimana dalam Hadits riwayat
Imaam Ahmad dan Imaam At Turmudzy, dari shohabat Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه,
dikatakan bahwa :
عن أبي الدرداء رضي الله عنه قال : قال النبي صلى الله عليه و سلم ألا أنبئكم بخير أعمالكم وأزكاها عند مليككم وأرفعها في درجاتكم وخير لكم من إنفاق الذهب والورق وخير لكم من أن تلقوا عدوكم فتضربوا أعناقهم ويضربوا أعناقكم ؟ قالوا بلى قال ذكر الله تعالى فقال معاذ بن جبل رضي الله عنه ما شيء أنجى من عذاب الله من ذكر الله
Artinya:
“Tidak ada amal yang dilakukan
anak Adam yang lebih menyelamatkannya dari adzab Allooh سبحانه وتعالى, selain daripada dzikir kepada-Nya.” (Hadits Riwayat Imaam At Turmudzy no: 3377)
Juga firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Hasyr (59) ayat 19 :
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ أُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya:
“Dan janganlah kamu seperti
orang-orang yang lupa kepada Allooh, lalu Allooh menjadikan mereka lupa
kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang faasiq.”
Sedangkan dalam hadits lain yang
diriwayatkan oleh Imaam Al Baihaqy رحمه الله
dalam As Sunan Al Kubro no: 3148 dan Haditsnya adalah shohiih menurut
Syaikh Nashiruddin Al Albaany رحمه الله,
bahwa Rosuulullooh صلى الله
عليه
وسلم
selalu berTASBIH dengan TANGAN KANAN-nya:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ : رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَعْقِدُ التَّسْبِيحَ بِيَمِينِهِ
Jadi bukan dengan memegang untaian Biji
Tasbih atau alat penghitung yang lainnya, tetapi yang disunnahkan itu
adalah berdzikir hendaknya dengan menggunakan TANGAN KANAN. Yang dimaksud dengan tangan kanannya adalah tangan kanan
beliau صلى
الله
عليه
وسلم
selalu dibuka, ditutup, menggerak-gerakkan jari-jemarinya ketika
berdzikir (- untuk menghitung bilangan dzikir, ketika ada daliil yang
menjelaskan tentang bilangan dzikir tersebut -). Itulah yang dimaksud
dengan hatinya berdzikir, mulutnya basah dengan ucapan dzikir dan
tangannya ikut mendukung berdzikir (ingat) kepada Allooh سبحانه وتعالى.
Apabila ada seseorang berdzikir
mengucapkan Astaghfirullooh, memohon ampun kepada Allooh سبحانه وتعالى; namun tangannya, kakinya dan anggota tubuh lainnya berbuat
ma’shiyat maka dzikir yang demikian itu tidak berfaedah, bahkan bermakna
mengolok-olok. Ia secara lisan memohon ampun kepada Allooh سبحانه وتعالى namun disisi lain ia berbuat ma’shiyat.
4. Berkumpul untuk berdzikir
Sebagian kalangan menyebutnya
sebagai Majlis Dzikir.
Perhatikanlah Hadits Rosuulullooh صلى الله عليه
وسلم
berikut ini yang diriwayatkan oleh Imaam Al Bukhoory dan Imaam Muslim dari
shohabat Abu Hurairoh رضي
الله
عنه,
dimana Rosuulullooh صلى
الله
عليه
وسلم
bersabda:
عن أبي هريرة أو عن أبي سعيد قالا : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن لله ملائكة سياحين في الأرض فضلا عن كتاب الناس فإذا وجدوا أقواما يذكرون الله تنادو هلموا إلى بغيتكم فيجيئون فيحفون بهم إلى سماء الدنيا فيقول الله على أي شيء تركتم عبادي يصنعو ؟ فيقولون تركناهم يحمدونك ويمجدونك ويذكرونك قال فيقول فهل رأوني ؟ فيقولون لا قال فيقول فكيف لو رأوني ؟ قال فيقولون لو رأوك لكانوا أشد تحميدا وأشد تمجيدا وأشد لك ذكرا قال فيقول وأي شيء يطلبون ؟ قال فيقولون يطلبون الجنة قال فيقول وهل رأوها ؟ قال فيقولون لا فيقول فكيف لو رأوها ؟ قال فيقولون لو رأوها كانوا لها أشد طلبا وأشد عليها حرصا قال فيقول من أي شيء يتعوذون ؟ قال يتعوذون من النار قال فيقول وهل رأوها ؟ فيقولون لا فيقول فكيف لو رأوها فيقولون لو رأوها كانوا منها أشد هربا وأشد منها خوفا وأشد منها تعوذا قال فيقول فإني أشهدكم أني قد غفرت لهم فيقولون إن فيهم فلانا الخطاء لم يردهم إنما جاءهم لحاجة فيقول هم القوم لا يشقى لهم جليس
Artinya:
“Sesungguhnya Allooh سبحانه وتعالى mempunyai
banyak malaikat yang beterbangan kesana-kemari untuk mencari majlis dzikir. Kalau malaikat itu menemukan dimana ada majlis dzikir
kepada Allooh سبحانه وتعالى, maka
malaikat itu ikut duduk bersama dalam majlis dzikir tersebut. Bahkan
diantara malaikat itu, sayapnya saling bersambung hingga ke langit dunia,
sehingga tempat yang kosong pun dipenuhi oleh malaikat. Jika kumpulan orang
yang berdzikir itu berpencar pulang ke rumah masing-masing, malaikat itu pun
naik ke langit, lalu Allooh سبحانه
وتعالى bertanya kepada mereka (– meskipun sesungguhnya Allooh سبحانه وتعالى sudah tahu, karena Allooh سبحانه وتعالى adalah Maha Tahu – pen), “Darimana kalian?”
Jawab malaikat, “Ya Allooh, kami
baru saja mendatangi hamba-hamba-Mu di bumi yang bertasbih, bertakbir,
bertahlil, bertahmid dan yang meminta kepada-Mu.”
Allooh سبحانه وتعالى bertanya, “Apa yang mereka minta?”
Malaikat menjawab, “Ya Allooh,
mereka mengharap akan surga-Mu.”
Allooh سبحانه وتعالى bertanya, “Apakah mereka yang meminta itu pernah melihat
surga-Ku?”
Malaikat menjawab, “Tidak, ya
Allooh.”
Allooh سبحانه وتعالى : “Bagaimana seandainya mereka pernah melihatnya.
Sedangkan, belum pernah melihatnya saja, mereka memintanya. Lalu meminta apa lagi
kah mereka?”
Malaikat menjawab : “Ya Allooh,
mereka ingin dihindarkan dari neraka-Mu.”
Allooh سبحانه وتعالى : “Apakah mereka pernah melihat neraka-Ku?”
Malaikat menjawab : “Tidak, ya
Allooh.”
Allooh سبحانه وتعالى : “Bagaimana seandainya mereka pernah melihat neraka-Ku. Sedangkan, belum pernah melihatnya saja, mereka sangat takut akan neraka-Ku.”
Allooh سبحانه وتعالى : “Bagaimana seandainya mereka pernah melihat neraka-Ku. Sedangkan, belum pernah melihatnya saja, mereka sangat takut akan neraka-Ku.”
Malaikat berkata: “Ya Allooh,
mereka memohon ampunan-Mu.”
Allooh سبحانه وتعالى : “Aku telah ampuni mereka.”
Lalu Allooh سبحانه وتعالى berfirman : “Aku akan penuhi apa yang mereka minta dan
Aku hindarkan dari apa yang mereka minta untuk dihindarkan.”
Malaikat berkata: “Ya Allooh,
didalam majlis itu ada si Fulan bin Fulan, ia orang yang banyak berbuat salah,
dan ia hanya kebetulan saja duduk didalam majlis tersebut.”
Allooh سبحانه وتعالى : “Aku ampuni pula orang itu. Duduk seperti itu didalam
majlis tidak akan membuat mereka menderita.” (Hadits Riwayat Imaam At
Turmudzy no: 3600)
Dalam Hadits tersebut dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan “berkumpul dalam majlis dzikir” tersebut
bukanlah berkumpul sebagaimana yang orang-orang Sufi lakukan dalam halaqoh-halaqoh
atau majlis-majlis mereka. Dimana orang-orang Sufi tersebut melaksanakan dzikir
secara serempak dengan satu suara, misalnya mereka mengucapkan Laa Ilaaha
Illallooh secara beramai-ramai.
Atau dzikirnya dilakukan oleh mereka
bersama-sama dengan ada imamnya, ada ma’mumnya, ada pimpinannya
dan ada jama’ahnya. Yang seperti ini tidak benar, karena tidak ada
dalilnya.
Atau kadang orang-orang Sufi
tersebut berdzikir dengan menggeleng-gelengkan kepalanya atau
menggoyang-goyangkan badannya, apalagi dengan dzikir-dzikir yang tidak
diajarkan (dzikir-dzikir yang Bid’ah) seperti misalnya: “Hayyun,
hayyun, hayyun”, atau “Ya Latif, ya Latif, ya Latif”, atau misalnya:
“Allooh, Allooh, Allooh”. Semua bentuk bacaan dzikir yang seperti itu
adalah Bid’ah, karena tidak pernah Allooh سبحانه وتعالى turunkan dalil yang shohiih tentangnya, baik dari Kitabullooh
(Al Qur’an) maupun dari Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sekalipun.
Dengan demikian, kita menjadi jelas
bahwa yang dimaksud dengan majlis dzikir adalah bukan sebagaimana yang
dilakukan oleh orang-orang Sufi tersebut, ataupun majlis yang mengharuskan
dengan seragam putih-putih (seragam khusus), atau waktunya harus waktu yang
khusus, atau dzikirnya dilakukan dengan cara yang khusus. Maka itu semua, bila
tidak ada tuntunannya yang shohiih dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم,
adalah tergolong Bid’ah
Karena yang benar, yang dimaksud
dengan majlis dzikir adalah majlis dimana orang-orang yang ada didalam majlis
tersebut berdzikir kepada Allooh سبحانه وتعالى.
Tidak ada dalil harus dipimpin dengan satu suara tertentu.
Bahkan pada zaman shohabat, ketika
suatu hari ‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه
mendatangi masjid Kuffah; di kala ba’da sholat ashar, beliau رضي الله عنه melihat di majlis ada seseorang diantara mereka yang
mengomandokan kepada jama’ah untuk bertasbih seperti ini, dan
seperti itu, lalu jama’ahnya pun mengikutinya; bahkan mereka berdzikir
sambil menggunakan batu-batu kerikil (di
zaman sekarang adalah tasbih). Lalu ‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه
pun MENGINGKARI PERBUATAN tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam Hadits berikut ini:
فقال له أبو موسى يا أبا عبد الرحمن اني رأيت في المسجد أنفا أمرا أنكرته ولم أر والحمد لله الا خيرا قال فما هو فقال ان عشت فستراه قال رأيت في المسجد قوما حلقا جلوسا ينتظرون الصلاة في كل حلقة رجل وفي أيديهم حصا فيقول كبروا مائة فيكبرون مائة فيقول هللوا مائة فيهللون مائة ويقول سبحوا مائة فيسبحون مائة قال فماذا قلت لهم قال ما قلت لهم شيئا انتظار رأيك أو انتظار أمرك قال أفلا أمرتهم ان يعدوا سيئاتهم وضمنت لهم ان لا يضيع من حسناتهم ثم مضى ومضينا معه حتى أتى حلقة من تلك الحلق فوقف عليهم فقال ما هذا الذي أراكم تصنعون قالوا يا أبا عبد الله حصا نعد به التكبير والتهليل والتسبيح قال فعدوا سيئاتكم فأنا ضامن ان لا يضيع من حسناتكم شيء ويحكم يا أمة محمد ما أسرع هلكتكم هؤلاء صحابة نبيكم صلى الله عليه و سلم متوافرون وهذه ثيابه لم تبل وأنيته لم تكسر والذي نفسي بيده انكم لعلي ملة هي أهدي من ملة محمد أو مفتتحوا باب ضلالة قالوا والله يا أبا عبد الرحمن ما أردنا الا الخير قال وكم من مريد للخير لن يصيبه ان رسول الله صلى الله عليه و سلم حدثنا أن قوما يقرؤون القرآن لا يجاوز تراقيهم وأيم الله ما أدري لعل أكثرهم منكم ثم تولى عنهم فقال عمرو بن سلمة رأينا عامة أولئك الحلق يطاعنونا يوم النهروان مع الخوارج
قال حسين سليم أسد : إسناده جيد
Sebagaimana Abu Muusa رضي الله عنه
mengatakan kepada ‘Abdullloh bin
Mas’uud رضي الله عنه,
“Wahai Abu ‘Abdurrohmaan, sungguh aku
melihatmu tadi di masjid. Engkau mengingkari sesuatu yang tidak aku pandang
kecuali kebaikan.”
Lalu ‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه
bertanya, “Apa itu?”
Lalu Abu Muusa رضي الله عنه
mengatakan, “Jika engkau panjang umur,
engkau niscaya akan melihatnya. Aku melihat di masjid suatu kaum
berkelompok-kelompok sambil duduk menunggu sholat, dimana setiap kelompok
terdapat seseorang dimana pada tangannya terdapat kerikil dan mengatakan,
‘Bertakbirlah kalian 100.’ Maka mereka pun bertakbir; ‘Katakanlah oleh kalian
Laa Ilaaaha Illallooh’ 100, maka mereka pun melakukannya; ‘Bertasbihlah kalian
100’, maka mereka pun melakukannya. Apa yang Anda katakan kepada mereka?”
‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه
menjawab, “Aku tidak mengatakan apa
pun kepada mereka, kecuali hanya aku perintahkan kepada mereka, ‘Coba kalian
hitung kesalahan-kesalahan kalian dan aku jamin pada mereka untuk tidak
menyia-nyiakan kebaikan-kebaikan mereka’ .”
Sehingga pembicaraan mereka itu pun
berlalu.
Kemudian ‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه
mendatangi pada kelompok-kelompok tersebut dan berdiri dihadapan mereka dan
mengatakan, “Apa yang kalian lakukan?”
Kata mereka, “Wahai Abu
‘Abdillaah, kerikil kami hitung dengannya takbir, tahlil dan tasbih.”
Lalu ‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه
kembali berkata, “Hitunglah kejelekan-kejelekan
kalian, aku jamin kalian tidak akan menyia-nyiakan kebaikan kalian sedikitpun. Celaka
kalian wahai ummat Muhammad, betapa cepatnya kesesatan kalian. Mereka,
para shohabat Nabi kalian begitu banyak dan ini bajunya belum juga rusak dan
ini bejananya belum juga pecah. Demi yang jiwaku ditangan-Nya, sesungguhnya
kalian diatas ajaran yang paling lurus dari ajaran Muhammad صلى الله عليه وسلم. Apakah
kalian akan menjadi pembuka-pembuka pintu kesesatan?”
Mereka menjawab, “Yaa Abu
‘Abdurrohmaan, tidak ada yang kami inginkan kecuali kebaikan.”
Beliau رضي الله عنه berkata, “Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak mendapatkannya. Sesungguhnya Rosuul صلى الله عليه وسلم mengatakan kepada kami bahwa suatu kaum membaca Al Qur’an tidak melewati tenggorokannya. Demi Allooh saya tidak tahu, jangan-jangan dari kebanyakan mereka itu ada diantara kalian.”
Beliau رضي الله عنه berkata, “Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak mendapatkannya. Sesungguhnya Rosuul صلى الله عليه وسلم mengatakan kepada kami bahwa suatu kaum membaca Al Qur’an tidak melewati tenggorokannya. Demi Allooh saya tidak tahu, jangan-jangan dari kebanyakan mereka itu ada diantara kalian.”
Kemudian beliau رضي الله عنه
pung berpaling.
(Hadits riwayat Imaam Ad Daarimy no:
204 dari ‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه
dan Syaikh Husain Saliim Asad mengatakan sanad hadits ini baik)
Para ‘Ulama Ahlus Sunnah
mengatakan, “Kalau seandainya ada perbuatan yang baik, niscaya para
shohabat akan berlomba-lomba untuk terlebih dahulu melakukannya, daripada
orang-orang seperti kita.”
Ketika sesuatu perbuatan itu tidak
dikenal oleh shohabat seperti ‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه,
yang merupakan seorang mulaazim (seseorang yang hampir tidak pernah berpisah dengan
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم)
dan beliau رضي الله عنه
terkenal sebagai seorang yang faqiih, dan merupakan perintis madrosah hadits di negeri
Kuffah (sekarang Iraq), maka sesungguhnya beliau رضي الله عنه
bukanlah sembarang orang didalam perkara ‘ilmu diin. Sehingga bilamana
beliau رضي الله عنه
menyatakan bahwa dia tidak pernah menyaksikan perbuatan yang seperti itu ada
pada zaman Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم,
maka ini menunjukkan bahwa perbuatan yang sepert itu adalah Bid’ah.
5. Ketika berdzikir, upayakan sampai
menangis dan meluluhkan hati
Yaitu dengan dzikir yang kita pahami
apa yang didzikirkan (diingat). Misalnya: mengucapkan Laa Ilaaha Illallooh,
artiya adalah tidak ada yang berhak diibadahi kecuali hanyalah Allooh سبحانه وتعالى.
Kalau dzikir tersebut hanya sekedar ucapan lisan di
mulut, tetapi hatinya tidak khusyu’ (hatinya sibuk memikirkan
perkara-perkara duniawi), dan anggota tubuhnya pun tidak berdzikir
bahkan berma’shiyat. Maka itu sama saja dengan tidak berdzikir,
karena berdzikir itu adalah ingat kepada Alloohسبحانه وتعالى.
Dalam hadits tentang tujuh golongan
yang akan dilindungi Allooh سبحانه وتعالى
pada hari Kiamat, diantaranya Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم
menyebutkan:
… وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
Artinya:
“…seorang yang BERDZIKIR
KEPADA ALLOOH DALAM KEADAAN SEPI / SENDIRI, lalu mengalirlah air matanya…” (Hadits
Riwayat Imaam Al Bukhoory no: 660 dan Imaam Muslim no: 2427 dari Abu Hurairoh رضي الله عنه)
Oleh karena itu, bila kita ingin
masuk dalam kelompok yang dzikir-nya secara hakiki, maka upayakan
agar dzikir itu dilakukan denga khusyu’ sehingga menangis karena ke-khusyu’an-nya
itu. Bukan karena sekedar perasaan saja. Sebab ada orang yang melelehkan
airmatanya itu karena terharu dengan suara dzikir orang yang ada
disekitarnya yang bergema dengan suara syahdu. Yang seperti ini tidak benar. Yang
dimaksud dengan menangis disini adalah karena ia tahu siapa yang ia dzikiri,
yaitu Allooh سبحانه وتعالى. Jadi bukan karena dibuat-buat,
atau karena pengaruh suasana syahdu disekitar dllnya itu. Bukan, tetapi ia
menangis karena ia sungguh-sungguh sadar bahwa yang ia dzikiri itu adalah
Pencipta dirinya.
Menangis yang hakiki sedemikian itu
sebetulnya sulit, karena hati kita tidak terenyuh atau luluh, jika didalam diri
kita terdapat beberapa perkara yaitu:
a. Hubuddun-ya, mencintai
dunia.
Hatinya keras, mendengar ayat-ayat
Al Qur’an lewat begitu saja, tidak ada yang bisa menyentuh atau membekas
didalam hati.
Diriwayatkan, pada zaman
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم,
apabila para shohabat berma’mum sholat
dengan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم,
mereka berada dalam satu diantara dua keadaan.
Kalau dibacakan ayat-ayat janji;
jika beramal shoolih maka akan dijanjikan surga dsbnya, maka wajah
mereka terlihat gembira, bersinar-sinar dan mata mereka berkaca-kaca karena
berharap atas janji Allooh سبحانه وتعالى
tersebut. Tetapi bila dibacakan ayat-ayat tentang ancaman, maka mereka pun
menangis, bahkan diantara mereka ada yang tersedu-sedu.
Shohabat ‘Umar bin Khoththoob رضي الله عنه
memberikan pesan kepada kita:
“Menangislah kalian bila membaca
Al Qur’an. Kalau tidak bisa, maka berusahalah seakan-akan kalian menangis.”
Penyebab hati kita itu sulit
tersentuh dan sulit menangis ketika membaca ayat-ayat Al Qur’an adalah karena hubuddun-ya.
b. Ada penyakit akhlaq dalam diri
kita, misalnya rasa: iri, dengki, hasud
Maka sulit untuk khusyu’,
sulit untuk bisa menangis karena hatinya sudah membatu.
c. Tidak paham apa yang dibaca.
Maka harus mengerti dan memahami apa
yang dibaca. Agar bisa menyambung dengan hati, maka kita harus bisa membaca Al
Qur’an. Adalah berdosa kalau kita sebagai umat Islam ini tidak bisa membaca Al
Qur’an dengan benar. Maka kita harus belajar membacanya dengan benar.
d. Usahakan untuk menangis.
Terlebih bila kita membaca ayat-ayat
yang berisi ancaman Allooh سبحانه وتعالى,
sehingga kita tergerak untuk merasa takut kepada Allooh سبحانه وتعالى.
Mengenai perkara menangis ini,
sesungguhnya merupakan bagian penting karena itu adalah ciri-ciri dari orang
yang beriman.
Difirmankan oleh Allooh سبحانه وتعالى :
أَفَمَنْ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِنْ رَبِّهِ فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ أُولَئِكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Artinya:
“Neraka Weil adalah bagi
mereka yang hatinya keras dari berdzikir kepada Allooh.” (QS
Az Zumar (39) ayat 22)
Jadi, ini adalah ancaman bagi mereka
yang hatinya keras, yaitu diancam dengan neraka Weil. Itu adalah ayat
yang mendukung agar kita khusyu’ dalam berdzikir.
Berikutnya Allooh سبحانه وتعالى
berfirman dalam QS Ar Ra’d (13) ayat 28:
الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Artinya:
“(yaitu) orang-orang yang beriman
dan hati mereka manjadi tenteram dengan berdzikir (mengingat Allooh).
Ingatlah, hanya dengan mengingat Allooh-lah hati menjadi tenteram.”
Kebanyakan manusia, hatinya baru
merasa tenang dikala uangnya banyak, bertumpuk-tumpuk dalam rekeningnya.
Padahal yang benar, semestinya ia menemukan ketenangan dan kebahagiaan itu
adalah ketika berdzikir kepada Allooh سبحانه وتعالى.
Allooh سبحانه وتعالى
berfirman seperti tersebut diatas, bahwa orang-orang yang beriman itu hatinya
tenang dengan sebab mereka ingat (berdzikir) kepada Allooh سبحانه وتعالى.
Maka kalau ada orang yang belum tenang dengan berdzikir, berarti imannya masih bermasalah. Mudah-mudahan kita
tidak tergolong yang demikian.
6. DZIKIR TIDAK DENGAN SUARA KERAS,
tetapi dengan BERBISIK, cukup terdengar oleh diri sendiri
Sebagian kalangan di masyarakat
kita, justru seringkali terdengar mereka itu berdzikir di masjid dengan
pengeras suara (speaker). Ada diantara mereka yang setiap kali
menyanyikan sholawat antara adzan dan iqomat, padahal yang
seperti ini tidak ada ajarannya dari Rosuululllooh صلى الله عليه وسلم.
Padahal yang ada dalilnya dan merupakan
sunnah, yakni antara adzan dan iqomat itu adalah sebagaimana yang
disabdakan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ لِمَنْ شَاءَ
Artinya:
“ANTARA dua adzan (-- ADZAN
dan IQOMAT -) adalah SHOLAT (sunnah dua roka’at).” (Hadits
Riwayat Imaam Abu Daawud no: 1285)
Jadi ANTARA ADZAN dan IQOMAT itu SUNNAHNYA
adalah SHOLAT, BUKAN dengan mendendangkan SHOLAWATAN DENGAN SPEAKER,
sehingga justru malah mengganggu orang yang sedang sholat karena sholat mereka
menjadi tidak khusyu’. Oleh karena itu, janganlah menyibukkan diri
dengan “mencari-cari pekerjaan” yang tidak ada landasannya dari sunnah
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, karena itu justru malah
menjadi Bid’ah dan menimbulkan gangguan terhadap kekhidmatan dan
ketenangan masjid yang dibutuhkan bagi orang-orang yang hendak sholat
didalamnya.
Perhatikan QS. Al A’roof ayat 55,
Allooh سبحانه وتعالى berfirman:
ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“BERDO’A LAH KEPADA
ROBB-mu DENGAN berendah diri dan SUARA YANG LEMBUT. Sesungguhnya
Allooh tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Lalu firman Allooh سبحانه وتعالى
dalam QS. Al A’roof ayat 205:
وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلاَ تَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ
“Dan SEBUTLAH (NAMA) ROBB-mu
dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan DENGAN TIDAK
MENGERASKAN SUARA, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang lalai.”
Juga dalam sebuah hadits dari Abu
Musa al Asy’ari رضي الله عنه,
ia berkata bahwa,
“Orang-orang mengangkat suaranya bertakbir dan berdo’a,
kemudian Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
bersabda,
… يَا أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّمَا تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Artinya:
“Hai sekalian manusia, kasihanilah
diri kalian, sesungguhnya KALIAN TIDAK BERDO’A KEPADA ROBB YANG TULI DAN
TIDAK JUGA JAUH. Sesungguhnya yang kalian berdo’a kepada-Nya adalah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Melihat, dan Dia bersama kalian.” (Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory no : 6610 dari Abu Muusa رضي الله عنه)
Hal ini menunjukkan bahwa kita
TIDAK PERLU KERAS-KERAS DALAM BER-DZIKIR, karena ROSUULULLOOH صلى الله عليه وسلم SENDIRI MELARANGNYA.
Maka bila kita berdzikir, cukuplah didengar oleh diri kita sendiri saja.
Kecuali bila ada perintah untuk
mengeraskan suara dzikir tersebut, sebagaimana diperintahkan untuk berdzikir
dengan suara keras ketika Takbir Hari Raya ‘Ied, yaitu ‘Iedul Fithri
dan ‘Iedul Adha. Ketika
kita hendak sholat ‘Ied menuju lapangan, sejak berangkat keluar dari
pintu rumahnya, maka hendaknya bertakbir “Alloohu Akbar, Alloohu
Akbar….” dstnya dengan suara keras secara pribadi masing-masing (– tidak
perlu dikomando, karena tidak ada dalil yang melandasinya-).
Tetapi yang seringkali terjadi di
masyarakat kita adalah justru pada malam ‘Iedul Fithri, orang-orang
bertakbir dengan pawai bertruk-truk, lalu terjadi kecelakaan lalu lintas, ada
yang luka bahkan ada yang meninggal. Padahal yang demikian ini tidak ada
ajarannya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Atau misalnya KEKELIRUAN YANG
BANYAK TERJADI DI MASYARAKAT adalah cara mereka berdzikir ba’da sholat
fardhu yang lima waktu. Dzikir dengan suara keras setelah sholat fardhu itu,
bukanlah seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang pada umumnya, yaitu
setelah salam ke kanan dan ke kiri lalu si Imaam sholat mengkomando berjama’ah
: “Al Faatihah !….”, lalu dikomando lagi oleh Imaam sholat untuk
bersama-sama mengucapkan “Subhaanallooh, subhanallooh….” dstnya. Yang
seperti ini tidak benar.
YANG BENAR, yang merupakan cara yang
SUNNAH sebagaimana yang diajarkan oleh ROSUULULLOOH صلى الله عليه وسلم adalah SETIAP
ORANG BERDZIKIR MASING-MASING, mengucapkan kalimat-kalimat dzikir,
dengan suara bergemuruh; tetapi dengan suara masing-masing TANPA DIKOMANDO,
tidak satu suara. Demikian ini adalah yang sebaiknya dan yang sebenar-benarnya.
7. Berdzikir hendaknya MENJAUHI
DZIKIR-DZIKIR yang BID’AH
Kita hendaknya tidak berdzikir
dengan kalimat-kalimat dzikir dengan cara-cara yang Bid’ah (tidak ada
contohnya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم),
meskipun orang yang melakukannya merasa bahwa
itu benar, karena mereka mengikuti hawa nafsunya. SYAITHOON senang menghiasi
manusia dengan MENJADIKAN PERKARA BID’AH itu DIANGGAPNYA SEBAGAI SESUATU
YANG BAIK. Seringkali walaupun sudah tahu bahwa sesuatu itu TIDAK ADA
DALIL YANG SHOHIIH TENTANGNYA, tapi tetap saja dia berkeras untuk
mengerjakannya. Itulah HAWA NAFSU.
Padahal SEHARUSNYA kita BERIBADAH
BERDASARKAN FIRMAN ALLOOH سبحانه وتعالى DAN TUNTUNAN ROSUULULLOOH
صلى الله عليه وسلم.
Kalau tidak ada dalil atau landasannya, maka mengapa mesti berkeras melakukannya dan mengapa mesti marah bila diberitahu
kebenarannya? Segera tinggalkanlah segala sesuatu yang tidak ada dalilnya itu,
meskipun sudah mendarah-daging, meskipun dilakukan turun-temurun, meskipun
rasanya berat, tapi tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allooh سبحانه وتعالى.
Allooh سبحانه وتعالى
berfirman dalam QS. Al Kahfi (18) ayat 104:
الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعاً
Artinya:
“Yaitu ORANG-ORANG YANG TELAH
SIA-SIA PERBUATANNYA dalam kehidupan dunia ini, SEDANGKAN MEREKA MENYANGKA
BAHWA MEREKA BERBUAT SEBAIK-BAIKNYA.”
Bayangkan, perbuatannya jelek
menurut Allooh سبحانه وتعالى, tetapi mereka menganggapnya baik. Maka kita harus berhati-hati. Jangan sampai perbuatan yang
kita lakukan itu, menurut diri kita baik padahal menurut Allooh سبحانه وتعالى
itu buruk, jelek. Karena BAIK atau BURUK
itu STANDARD-NYA BUKAN PERASAAN, tetapi baik atau buruk itu STANDARD-NYA ADALAH
DALIIL (Firman Allooh سبحانه وتعالى dan Sabda
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yang shohiih). Kalau berdasarkan dalil, sesuatu itu terpuji menurut
Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya maka
barulah perkara itu terpuji dan boleh diamalkan. Demikian pula sebaliknya, bila
sesuatu itu buruk menurut Allooh سبحانه وتعالى
dan Rosuul-Nya maka berarti perkara itu
buruk dan jauhilah. Hidup kita di dunia ini hanya sekali, jangan berspekulasi.
Ikuti saja apa yang ketentuannya sudah datang dari Allooh سبحانه وتعالى
dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم,
jangan ikuti selainnya.
8. Gigih membaca dan memperbanyak
membaca Al Qur’an
Orang yang membaca Al Qur’an adalah
berdzikir dengan dzikir yang banyak sekali, karena Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
bersabda dalam hadits shohiih:
عبد الله بن مسعود يقول : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم من قرأ حرفا من كتاب الله فله به حسنة والحسنة بعشر أمثالها لا أقول آلم حرف ولكن ألف حرف ولام حرف وميم حرف
Artinya:
“Siapa yang membaca satu huruf
saja dari Al Qur’an, maka ia berhak atasnya kebajikan satu. Dan satu kebajikan
itu dilipatgandakan oleh Allooh سبحانه وتعالى menjadi
sepuluh kali. Aku tidak katakan Alif-Lam-Mim itu satu huruf, melainkan Alif
satu huruf, Lam satu huruf dan Mim satu huruf.” (Hadits Riwayat Imaam At Turmudzy
no: 2910)
Berarti Alif-Lam-Mim saja
sudah tigapuluh. Bahkan bisa dikalikan tujuhratus, karena dalam hadits yang
lain Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا
إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ
Artinya:
“Amalan anak cucu Adam itu
bisa dilipatgandakan antara 10 sampai 700 kali.” (Hadits Riwayat
Imaam Muslim no: 2763)
Intinya adalah, hendaknya kita
memperbanyak membaca Al Qur’an, karena dalam bacaan Al Qur’an itu mendatangkan barokah
dan kebajikan bagi kita.
9. Perbanyaklah dzikir-dzikir yang
Ma’tsuur
Kalau berdzikir, puaslah dengan
dzikir yang jelas-jelas ada ajarannya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Dan itu banyak sekali, misalnya dalam Kitab
Al Adzkaar, Kitab Hishnul Muslim,
Kitab Adzkaar Mukhtaaroh dan berbagai kitab lain yang sekarang
sudah banyak diterbitkan dan dapat diperoleh di toko-toko buku. Hendaknya kita
memiliki kitab-kitab tersebut. Dan hendaknya setiap diri kita memiliki panduan
kitab Dzikir didalam saku, sehingga apabila lupa bacaan dzikirnya maka bisa
setiap saat dibuka kitab saku tersebut. Sejak bangun tidur hingga tidur lagi,
sudah lengkap tuntunan dzikirnya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Tinggal kita mau mengerjakannya ataukah tidak.
Apa yang diajarkan oleh Rosuulullooh
صلى الله عليه وسلم
hendaknya diutamakan, karena itu Ma’tsuur
namanya, bukan karangan orang.
10. Kita prioritaskan Dzikir-Dzikir
yang berikut ini:
Ada 8 (delapan) contoh dzikir yang
semestinya kita prioritaskan, karena keutamaannya yang sangat unggul menurut
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم,
yaitu:
a. Laa Illaaha Ilallooh
Perbanyaklah mengucapkannya dimana
saja dan kapan saja. Tidak dengan cara didendangkan (dilagukan). Berbeda dengan
membaca Al Qur’an yang bila dilagukan menjadi sunnah, maka dzikir itu
tidak perlu dilagukan. Cukup dengan suara biasa saja, sudah dicatat sebagai
amal shoolih. Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
bersabda:
أكثروا من شهادة أن لا إله إلا الله قبل أن يحال بينكم وبينها ولقنوها موتاكم
Artinya:
“Perbanyaklah kalian dengan
bersyahadat ‘Laa Illaaha Ilallooh’ sebelum kalian terhalang antara
syahadat dengan kalian (-maksudnya: sebelum datang sakaratul maut–). Talqini
(ajarkan) orang yang hendak meninggal dengan ‘Laa Ilaaha Ilallooh’.”
(Hadits Shohiih, dishohiihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany dalam
Silsilah Shohiihah no: 467)
Maksudnya perbanyaklah mengucapkan ‘Laa
Illaaha Ilallooh’, dan tidak perlu dengan menghitung-hitungnya, tapi
sebanyak-banyaknya.
b. Subhaanallooh walhamdulillaah
wa laa ilaaha illallooh, Alloohu Akbar.
Haditsnya diriwayatkan oleh Imaam
Muslim dari Abu Hurairoh رضي الله عنه,
dimana Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
bersabda:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لأن أقول سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر
أحب إلي مما طلعت عليه الشمس
Artinya:
“Aku berdzikir dengan ‘Subhaanallooh
walhamdulillaah wa laa ilaaha illallooh, Alloohu Akbar’, lebih aku sukai
dan aku cintai daripada matahari terbit.” (Hadits Riwayat Imaam At Turmudzy
no: 3597)
Bayangkan, matahari adalah sumber
energi yang luar biasa banyaknya. Faedahnya besar sekali bagi kehidupan di muka
bumi ini, kalau dihitung secara matematik berapa harga dan nilai energi
matahari selama ia memancarkan sinarnya selama 12 jam sehari? Tidak akan
terhitung oleh manusia. Tetapi Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
menyatakan bahwa beliau صلى الله عليه وسلم
lebih suka berdzikir dengan kalimat tersebut diatas dibandingkan dengan
terbitnya matahari yang sangat berfaedah bagi kehidupan manusia di dunia ini.
Hal ini menunjukkan bahwa orientasi seorang
mu’min itu bukanlah sekedar materi, melainkan lebih berharga dari itu adalah
apa yang ada disisi Allooh سبحانه وتعالى.
Maka perbanyaklah berdzikir dengan kalimat tersebut.
c. Subhaanallooh Wabihamdihi
Mudah sekali. Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
وَمَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ فِى يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ
Artinya:
“Siapa yang mengucapkan ‘Subhaanallooh
Wabihamdihi’ sehari seratus kali, maka kesalahannya akan dihapus,
meskipun kesalahannya sebanyak buih di lautan.” (Hadits Riwayat Imaam
Muslim no: 7018)
d. Subhaanallooh
Dzikir ini bahkan lebih pendek lagi.
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
bersabda dalam suatu hadits shohiih yang diriwayatkan oleh Imaam Muslim no:
7027:
« أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَكْسِبَ كُلَّ يَوْمٍ أَلْفَ حَسَنَةٍ ». فَسَأَلَهُ سَائِلٌ مِنْ جُلَسَائِهِ كَيْفَ يَكْسِبُ أَحَدُنَا أَلْفَ حَسَنَةٍ قَالَ « يُسَبِّحُ مِائَةَ تَسْبِيحَةٍ فَيُكْتَبُ لَهُ أَلْفُ حَسَنَةٍ أَوْ يُحَطُّ عَنْهُ أَلْفُ خَطِيئَةٍ »
Artinya:
“Apakah diantara kalian ada yang
tidak mau mendapatkan setiap hari seribu kebajikan?” Maka shohabat
bertanya, “Ya Rosuulullooh, bagaimana caranya?” Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
bersabda, “Bertasbihlah dengan ‘Subhaanallooh’
seratus kali sehari. Maka orang
itu akan dicatat mendapat seribu kebajikan dan orang itu akan dihapus seribu
kesalahannya.”
e. Laa haula walaa quwwata illaa
billaah
Hadits Riwayat Imaam Muslim no:
7037, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
berkata kepada Abu Musa Al Asy’ary رضي الله عنه:
« يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ قَيْسٍ أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى كَنْزٍ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ ». فَقُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « قُلْ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ »
Artinya:
“Wahai Abu Musa, maukah kamu aku
tunjukkan simpanan berharga yang ada di surga? Katakanlah olehmu ‘Laa
haula walaa quwwata illaa billaah’.”
Cukup dzikirnya seperti itu, dan jangan
ditambah-tambah menjadi ‘…. billaahil ‘aliyyil adziim’.
Karena dalill dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
mencontohkannya hanyalah sampai ‘Laa
haula walaa quwwata illaa billaah’ saja.
f. Subhaanallooh wabihamdihi
subhaanalloohil ‘adziim
Juga ada hadits dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ
Artinya:
“Ada dua kalimat yang mudah dan
ringan diucapkan, tetapi berat dalam timbangan dan disukai Allooh سبحانه وتعالى, yaitu ucapan ‘Subhaanallooh wabihamdihi subhaanalloohil ‘adziim’.” (Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory
no: 6406 dan Imaam Muslim no: 7021)
g. Alhamdulillaah atau Subhaanallooh wal hamdulillaah
Silakan pilih yang anda suka.
Rosuulullooh bersabda dalam suatu hadits shohiih dari Abu Maalik Al Asy’ary رضي الله عنه:
عن أبي مالك الأشعري : عن النبي صلى الله عليه و سلم إنه كان يقول : الطهور شطر الإيمان و الحمد لله تملأ الميزان و سبحان لله و الله أكبر تملأ ما بين السماء و الأرض
Artinya:
“Ath thohuuru shatrul imaan”
(Kesucian adalah sebagian dari iman).
Inilah hadits yang shohiih-nya.
Jadi bukan sebagaimana yang terkenal di masyarakat umum yakni “Annadzofatu
minal imaan”, yang merupakan hadits palsu.
Kalimat “Alhamdulillaah” bisa
memberatkan timbangan (mizan), dan “Subhaanallooh wal hamdulillaah” akan
memenuhi antara langit dan bumi. (Hadits Riwayat Imaam Al Baihaqy no: 2709)
h. Laa Illaaha
Illallloohu wahdahu laa syariikalahu lahulmulku walahul hamdu wahuwa ‘alaa
kulli syai’in qodiir.
Hadits dari shohabat Abu
Hurairoh رضي الله عنه,
yang diriwayatkan oleh Imaam Muslim, dimana Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ مِائَةَ مَرَّةٍ كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشَرَةِ رِقَابٍ وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنْ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ حَتَّى يُمْسِيَ وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ أَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلَّا امْرُؤٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ وَمَنْ قَالَ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ مِائَةَ
مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ
Artinya:
“Siapa yang berdzikir dengan
kalimat “Laa Illaaha Illallloohu wahdahu laa syariikalahu lahulmulku walahul
hamdu wahuwa ‘alaa kulli syai’in qodiir” dalam sehari seratus kali, maka ia
seperti orang yang membebaskan sepuluh budak (hamba sahaya). Dan dicatat
seratus kebajikan, dihapus seratus kejelekan, orang itu akan diberi benteng
daripada syaithoon hari itu sampai sore harinya. Kalau ada yang mengamalkannya
lebih dari itu, maka ia akan terganti; kalau tidak maka maka tidak ada yang
bisa mengganti.” (Hadits Riwayat Imaam Ahmad no: 8873)
i. Dahulukanlah dzikir yang tertentu
dari yang tidak tentu
Misalnya dzikir bangun tidur, dzikir
ketika hendak makan, dzikir berangkat dari rumah hendak bekerja; itu adalah
dzikir-dzikir yang tertentu. Hendaknya itu didahulukan daripada dzikir-dzikir
yang tidak disebutkan kapan dan dimana harus diucapkan.
Demikianlah penjelasan tentang
berbagai dzikir yang sebenarnya mudah dan praktis untuk kita amalkan
sehari-hari, agar dengan demikian kita termasuk Minadzdzaakiriinallooha
katsiiran wadzakiroot (termasuk mu’min dan mu’minat yang banyak berdzikir
kepada Allooh سبحانه وتعالى)
TANYA JAWAB
Pertanyaan:
Ada doa sebelum tidur dan
sesudahnya, ada doa sebelum makan. Pertanyaannya adalah apakah doa itu juga
termasuk dzikir?
Jawaban:
Du’a (= do’a) dan dzikir kedua-duanya adalah ibadah.
Tetapi du’a itu ada dua macam, yaitu Du’a Mas’alah
(du’a yang berisi permintaan atau permohonan) dan ada Du’a Ibadah.
Dzikir-dzikir yang disebutkan diatas misalnya Laa Illaaha Illallooh,
Subhaanallooh, Alhamdulillaah dsbnya itu sebetulnya juga disebut Du’a,
tetapi tergolong du’a ibadah. Ber-du’a, tetapi bukan dalam rangka
meminta, melainkan untuk mengingat Allooh سبحانه وتعالى.
Kedua-duanya disebut Du’a, tetapi secara istilah dibedakan. Du’a Mas’alah itu
berisi permintaan, sementara Dzikir itu adalah du’a yang tidak berisi
permintaan.
Pertanyaan:
1. Seperti dijelaskan diatas bahwa
menurut Al Qur’an disebutkan bahwa berdzikirlah yang sebanyak-banyaknya, jadi
tanpa batas. Tetapi ternyata diatas disebutkan juga bahwa ada hadits
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
yang menyatakan ada dzikir yang harus 100 kali, lalu ada yang 33 kali dimana
dalam hadits itu ditentukan jumlahnya. Nah ini bagaimana Ustadz, mohon
penjelasannya.
2. Dzikir dengan ucapan “Laa
Illaaha Illallooh”, ada yang mengatakan bahwa itu terjadi di Mekkah. Dan
itu tidak lengkap. Katanya, harus dilengkapi dengan kalimat “Muhammadur
Rosuulullooh”. Mana yang benar, mohon penjelasannya.
Jawaban:
1. Harus diyakini bahwa Hadits
dan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم adalah Wahyu.
Sama dengan Al Qur’an. Setelah kita tahu bahwa itu adalah Wahyu, maka disinilah
letak peran dan kedudukan Sunnah. Menurut para ‘Ulama, berdasarkan Al
Qur’an dan Hadits, bahwa diantara fungsi Sunnah adalah me-muqoyyad-kan
(mendetailkan) perkara yang mutlak didalam Al Qur’an. Misalnya Al Qur’an
mengatakan “Dzikran katsiiran” (berdzikirlah sebanyak-banyaknya) adalah
mutlak, maka yang boleh untuk menjadikan dzikir itu muqoyyad adalah
Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Ketika sabda Rosuulullooh
memerintahkan bahwa sesudah selesai sholat membaca “Subhaanallooh” 33
kali, “Alhamdulillaah” 33 kali dan “Alloohu Akbar” 33 kali dan
seterusnya, maka lakukanlah sebanyak itu. Ada lagi perintah untuk membaca “Laa
Illaaha Illaallohu wahdahu laa syariikalahu lahul mulku walahul hamdu wahuwa
‘alaa kulli syai’in qodiir” 100 kali, maka itu adalah Sunnah dan Sunnah
juga adalah merupakan Wahyu. Karena sama-sama Wahyu, maka dapat me-muqoyyad-kan
perintah dzikir yang ada didalam Al Qur’an.
2. “Laa Illaaha Illaallooh
Muhammadur Rosuulullooh” adalah syahadat. Sedangkan dzikir adalah ingat
kepada Allooh سبحانه وتعالى. Ingat kepada Allooh سبحانه وتعالى
adalah dengan ucapan “Laa Illaaha Illallooh”, maka kita pelajari dari berbagai Hadits pun ucapan dzikirnya
hanyalah “Laa Illaaha Illaallooh”. Berbeda dengan syahadat. Kalau syahadat
memang benar lafadznya adalah “Laa Illaaha Illaallooh Muhammadur Rosuulullooh”.
Syahadat itu ada dua. Pertama adalah Syahadat Tauhiid, yakni
meng-Esa-kan Allooh سبحانه وتعالى dan kedua adalah Syahadat Ar Risaalah,
yakni Syahadat atas ke-Rosuul-an Muhammad صلى الله عليه وسلم.
Tidak benar, kalau “Laa Ilaaha
Illallooh” itu hanya di Mekkah saja. Yang benar adalah “Laa Ilaaha
Illallooh” itu diucapkan dimana saja.
Pertanyaan:
Apakah dzikir harus dengan pembukaan
misalnya surat Al Faatihah dan ada penutupannya?
Jawaban:
Dzikir itu tidak ada pembuka dan
penutupan (Khitam). Orang sering mengatakan sebagai “Khatam”,
tetapi yang benar adalah “Khitam”, atau “Khotm”
atau “Khotmah”.
Intinya, Dzikir itu tidak ada
pembukaan dan penutupannya, seperti misalnya harus dibuka dengan surat Al
Faatihah dulu. Tidak. Itu tidak ada.
Pertanyaan:
Apakah mengkhususkan waktu setelah
sholat Shubuh untuk berdo’a itu adalah Bid’ah? Karena Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم
pernah berdo’a setelah selesai sholat Shubuh, sebagaimana Hadits Riwayat Imaam
Ibnu Maajah. Dan bukankah kaidah menetapkan apa yang tidak ditetapkan oleh
Syari’at adalah Bid’ah? Mohon penjelasannya.
Jawaban:
Dalam pertanyaan tersebut, dikatakan
bahwa Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم
pernah berdu’a setelah selesai sholat Shubuh. Pertanyaannya, bagaimana
mengkhususkan waktu setelah sholat Shubuh? Bukankah sudah jelas bahwa memang
ada sunnahnya Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم
mengerjakannya? Kalau sudah jelas Nabi صلى الله عليه وسلم
mengerjakan, maka berarti itu Sunnah dan boleh untuk kita ikuti.
Jadi, kita memang boleh melakukan
du’a setelah selesai sholat Shubuh.
Bahkan sebetulnya ada sholat sunnah
yang hampir tidak pernah diajarkan di kajian-kajian, padahal sebenarnya ada,
yaitu namanya Sholat Sunnah Syuruuq. Yaitu setelah selesai sholat
Shubuh, tidak bergerak dari tempat duduknya, tetapi dipergunakan waktunya untuk
berdzikir, membaca Al Qur’an, berdu’a dan sejenisnya, tidak batal wudhu-nya,
menunggu sampai dengan terbitnya matahari. Misalnya terbit matahari itu pukul
06.00 pagi, maka setelah lebih beberapa menit dari itu, katakanlah pukul 06.15
maka yang dilakukan adalah bangun dari duduknya, menghadap Qiblat dan sholat
dua roka’at. Itulah yang disebut Sholat Sunnah Syuruuq. Ini memang
jarang diungkapkan dalam pengajian-pengajian, tetapi sebenarnya ada Sunnahnya
dan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
ini perlu untuk dihidupkan.
Pertanyaan:
Ketika tidur, kami bermimpi bertemu
dengan orang yang shoolih, apakah kita bertemu dengan Ruh orang tersebut
ataukah itu hanya syaithoon yang menyerupai orang shoolih tersebut?
Bagaimana bila bermimpi bertemu dengan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم ?
Jawaban:
Berbeda kita menyikapinya antara
orang yang bermimpi bertemu dengan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
dengan orang yang bermimpi bertemu dengan orang shoolih.
Bermimpi bertemu dengan Rosuulullooh
صلى الله عليه وسلم,
dalilnya adalah hadits sebagai berikut:
عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ مَنْ رَآنِى فِى النَّوْمِ فَقَدْ رَآنِى إِنَّهُ لاَ يَنْبَغِى لِلشَّيْطَانِ أَنْ يَتَمَثَّلَ فِى صُورَتِى
Dari Jaabir bin ‘Abdillaah رضي الله عنه
bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
bersabda,
“Barangsiapa yang melihat aku dalam
mimpinya, maka dia telah melihat aku. Sesungguhnya syaithoon tidak bisa
menyerupai aku.”
(Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 6060)
Berarti kalau ada orang yang
bermimpi bertemu dengan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم,
maka berarti betul ia bertemu dengan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Asalkan ia tahu siapa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Misalnya Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
itu jenggotnya lebat, dadanya lebar, dan orang yang bermimpi itu tahu
sifat-sifat fisik beliau صلى الله عليه وسلم
lainnya. Kalau demikian, maka benarlah
mimpinya itu. Tetapi kalau ia tidak tahu Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم itu seperti apa, hanya dengan perasaannya saja, maka
jangan-jangan itu hanya perasaan dia saja.
Tetapi kalau dikatakan bermimpi
bertemu dengan orang shoolih, maka belum tentu ia adalah orang shoolih
tersebut. Karena seperti disebutkan dalam Hadits, yang tidak bisa diserupai
oleh syaithoon hanyalah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Berarti selain Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم,
syaithoon bisa menyerupainya. Bisa saja syaithoon menyurup menjadi seperti Abdul Qodir Jaelani, atau bisa
saja syaithoon menyurup menjadi seperti Syekh Siti Jenar, atau Syarif
Hidayatullah dalam mimpi seseorang. Maka tidak perlu lantas merasa bangga
bisa bertemu dengan si Fulan atau si Fulan dan sebagainya. Kalaupun itu betul,
maka tidak bisa menjadi syari’at.
Misalnya seperti Ashari Muhammad
dari Darul Arqom yang mengatakan bahwa dirinya bertemu dengan Nabi
Muhammad صلى الله عليه وسلم,
lalu diberi wasiat oleh Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم
agar melazimkan amalan ini dan itu dan seterusnya,
lalu disebut dengan Adzkaarun Muhammadiyah. Yang seperti ini
adalah Bid’ah. Tidak bisa menjadi syari’at. Mimpi itu tidak bisa
menjadi Syari’at. Karena Syari’at Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sudah sempurna.
Perhatikan QS. Al Maa’idah (5)
ayat 3:
… الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً
Artinya:
“… Pada hari ini orang-orang
kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) dien-mu, sebab itu janganlah kamu
takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu dien-mu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan
telah Ku-ridhoi Islam itu jadi dien bagimu…”
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
sudah wafat berarti sudah tidak ada Syari’at baru lagi. Maka sudah menjadi
kesepakatan bahwa Darul Arqom yang pernah muncul di Malaysia itu adalah sesat.
Alhamdulillah, sekian bahasan pada kesempatan ini, mudah-mudahan Allooh سبحانه وتعالى
selalu memberikan kepada kita kemudahan untuk menjadi orang-orang yang shoolih,
dan bertahan sampai akhir hayat kita mendapatkan Husnul Khootimah.
Kita akhiri dengan Do’a Kafaratul Majlis :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jakarta, Senin malam, 26 Rabi’ul
Awwal 1427 H – 24 April 2006 M.
——- 0O0 ——-
http://ustadzrofii.wordpress.com/2010/11/20/adab-dzikri-tatacara-berdzikir/
Komentar
Posting Komentar