Kita
lihat di sebagian masjid di arah kiblat biasa dipajang kaligrafi Allah dan
Muhammad secara sejajar. Padahal tidak ada kesejajaran kedudukan secara realita
antara Allah dan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun
demikianlah sebagian kita tidak memahami hal ini hingga barangkali menyangka
bahwa itu adalah suatu bentuk pengagungan pada Allah dan Rasul-Nya.
Keterangan
yang amat baik pernah disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah
saat membahas salah satu hadits dalam kitab Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al
Asqolani rahimahullah. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata sebagai berikut.
Tidak
sepantasnya seseorang shalat menghadapkan pandangan pada sesuatu yang dapat
melalaikannya. Karena dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata pada ‘Aisyah ketika melihat hordennya yang bergambar,
أَمِيطِى عَنَّا قِرَامَكِ هَذَا
“Jauhkan
dariku hordenmu itu (karena terus melalaikan dari shalatku).“[1]
Para
ulama rahimahumullah melarang pula memberikan hiasan-hiasan di arah
kiblat masjid karena masalahnya sama, yaitu dapat membuat tidak konsen saat
shalat. Apa yang dikatakan oleh para ulama tersebut memang benar, ini tanpa
kita memandang apa yang tertulis di tembok pada arah kiblat. Jika yang tertulis
mengandung kemungkaran, maka lebih bertambah lagi kekeliruannya.
Contoh
yang biasa dipajang di beberapa masjid adalah tulisan Allah dan Muhammad.
Tulisan Allah berada di bagian kanan mihrab, sedangkan tulisan Muhammad berada
sejajar di sebelah kirinya. Ini tanpa ragu adalah suatu kesalahan.
Kekeliruannya adalah ketika tulisan tersebut dibuat setara. Sehingga dinilai bahwa
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tandingan bagi Allah.
Coba
perhatikan, ketika seseorang menyejajarkan Allah dengan Muhammad dengan berkata
pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Masya Allah wa syi’ta
(artinya: atas kehendak Allah dan kehendakmu), Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam lantas mengoreksi ucapannya, “Apakah engkau ingin
menjadikanku sebagai tandingan bagi Allah? Cukuplah engkau ucapkan, “Masya
Allahu wahdah (artinya: atas kehendak Allah saja).“[2] Orang yang berkata
seperti itu adalah orang yang tidak mengetahui kedudukan Allah dan Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Kita
pun jika melihat tulisan seperti itu, maka ada perasaan bahwa Allah dan
Rasul-Nya berada dalam satu kedudukan. Itulah kemungkarannya.
Demikian
disampaikan oleh seorang faqih, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, semoga
Allah merahmati beliau.
Moga
bermanfaat bagi para pembaca Muslim.Or.Id sekalian.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Referensi:
Fathu
Dzil Jalali wal Ikrom bi Syarh Bulughil Maram, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin,
cetakan pertama, tahun 1426 H, 2: 501-502.
—
Disusun
di pagi hari penuh berkah, 24 Jumadats Tsaniyyah 1435 H di Panggang,
Gunungkidul
Penulis:
Muhammad
Abduh Tuasikal
Artikel
Muslim.Or.Id
—
[1] HR. Bukhari no. 374.
[2] Dalam musnad Imam Ahmad disebutkan hadits dari Ibnu ‘Abbas bahwa ada
seseorang yang berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Masya
Allahu wa syi’ta (artinya: atas kehendak Allah dan kehendakmu)” -di
mana kata “dan” di sini berarti menyajajarkan antara Allah dan makhluk-, maka
kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,
أَجَعَلْتَنِى وَاللَّهَ عَدْلاً بَلْ مَا شَاءَ اللَّهُ وَحْدَهُ
“Apakah
engkau ingin menjadikanku dan Allah itu semisal (sejajar), cukuplah katakan
masya Allahu wahdah (artinya: atas kehendak Allah saja).” (HR. Ahmad, 1:
214. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih lighoirihi)
Komentar
Posting Komentar