Topik Bahasan Kedua
Kekhususan Aqidah Al
Islamiyah
Kekhususan-kekhususan (الخصائص) merupakan
bentuk jama’ dari kekhususan (الخصيصة).
Kekhususan-kekhususan (الخصائص) merupakan
sebuah karakter baik yang dengannya dapat dibedakan dan dengannya sesuatu tidak
akan tercampur sesuatu dengan yang lainnya. Kekhususan aqidah islamiyah
jumlahnya sangat banyak sekali, akan tetapi kami (penulisa kitab aslinya)
mencukupkan diri dengan menyebutkan dua hal diantaranya,
[1] Keyakinan/iman
Terhadap Perkara yang Ghaib
Ghaib (الغيب) adalah
sesuatu yang tidak tampak oleh indra, hal yang ghaib ini tidak dapat diindra
oleh kelima pancaindra berupa pendengaran, penglihatan, peraba, penciuman dan
indra pengecap.
Seluruh masalah aqidah dalam islam
yang wajib atas seorang hamba untuk mengimaninya dan menyakininya sebagai aqidahnya
adalah hal yang bersifat ghoib, seperti beriman kepada Allah, para malaikat,
kitab-kitab, para rosul, hari akhirat, qodar, adzab dan nikmat qubur dan lain
sebagainya yang merupakan perkara yang ghoib. Perkara ini diyakini sebagaimana
yang dikabarkan di Kitabullah dan sunnah rosulNya shallallahu ‘alaihi was
sallam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
memuji orang-orang yang beriman terhadap perkara yang ghoib. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman,
الم . ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ . الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ
“Alif Laam Miim. Itulah kitab yang
tidak ada keraguan sedikitpun padanya, merupakan petunjuk bagi orang-orang yang
bertaqwa. Yaitu mereka yang orang-orang yang beriman terhadap perkara yang
ghoib”. (QS. Al Baqoroh [1] : 1-3).
[2] Aqidah Islamiyah
Merupakan Aqidah yang Bersifat Tauqifiyah
Aqidah Islamiyah merupakan aqidah
yang bersesuaian dengan Kitabullah dan hadits yang shohih dari Nabi Muhammad
bin Abdillah shollallahu ‘alaihi was sallam.
Aqidah ini bukanlah merupakan
sebuah perkara yang ijtihad berperan di dalamnya karena sumber aqidah islamiyah
bersifat tauqifiyah (menunggu adanya dalil yang menetapkannya).
Aqidah yang benar adalah aqidah
yang diyakini dengan seyakin-yakinnya, oleh karena itu sumbernya
haruslah sesuatu yang bersifat bisa dipastikan kebenarannya. Seluruh sumber
hukum yang bersifat sangkaan kuat (dzon) seperti qiyas (yang shohih), akal
manusia, tidaklah sah dijadikan sebagai sumber pengambilan aqidah. Barangsiapa
yang menjadikan sumber hukum yang bersifat dzon di atas sebagai sumber aqidah
maka ia telah terjauhkan dari kebenaran dan ia telah menjadikan perkara aqidah
dalam ruang itjtihad yang di sana terdapat kemungkinan salah dan benar.
Oleh karena itulah para ahli kalam
semisal jahmiyah, mu’tazilah, Asy ‘ariyah[1] telah keliru. Hal ini disebabkan mereka
menjadikan akal sebagai salah satu sumber dari sumber aqidah mereka bahkan
mereka mengedepankan akal mereka di atas nash/dalil syari’at yang tegas
sehingga letakkan Al Qur’an dam Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam mengikuti
akal (murnipent.) manusia. Hal ini merupakan sikap
lancang/melecehkan Kitabullah dan Sunnah Rosulullah shallallahu ‘alaihi was
sallam pada akhirnya mereka jadikan aqidah islamiyah tunduk pada pikiran
manusia dan ijtihad akal.
Namun yang benar adalah akal
berfungsi sebagai penguat terhadap nash-nash syari’i. Sehingga akal yang
yang jernih menguatkan nash-nash/dalil-dalil yang shohih bukan malah
menentangnya.
Dengan demikian apa yang diklaim
oleh para ahlu ta’thil dan ahli ta’wil (fasidpent.) berupa adanya
pertentangan antara akal dan nash-nash syari’at maka hal ini tidak lain karena
disebabkan oleh cupetnya akal manusia. Oleh karena itulah ada orang yang
menganggap ada pertentangan antara keduanya sedangkan orang lain tidak
menganggapnya demikian.
Berdasarkan hal di atas maka (yang
benar adalah) akal ditempatkan sebagai penguat terhadap nash-nash
syari’at dalam masalah aqidah dan bukan sebagai sumber dalil yang berdiri
sendiri. Dengan demikian akal tidaklah
berdiri sendiri untuk memahami hal-hal yang ghoib dan perkara yang ilmu/akal
manusia tidak sampai padanya sedangkan akal manusia adalah sesuatu yang tidak
meliputi seluruh ilmu Allah ‘azza wa jalla, sebagaimana firman Allah,
وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا
“Ilmu mereka (mahluk Allahpent.)tidak
dapat meliputi ilmu Allah”. (QS.
Thooha [20] : 110).
Sekian perkataan beliau hafidzahullah.
Namun pada akhir tulisan ini kami tambahkan beberapa hal yang menjadi
kekhususan ahlus sunnah wal jama’ah[2], diantaranya :
·
Pertama, tidak ada seorangpun yang diikuti ahlus sunnah dengan
fanatik kecuali Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam. Mereka (Ahlus
Sunnah) adalah orang yang paling tahu tentang keadaan beliau dan
perkata’an/hadits beliau.
·
Kedua, mereka menjadikan Al Kitab dan Sunnah sebagai imam mereka.
Mereka mencari kebenaran dari keduanya.
·
Ketiga, mereka tidak memiliki gelar/nama tertentu sebagaimana yang
dikatakan sebagaian imam (semisal imam Malik rohimahullah[3]).
·
Keempat, walaupun tempat mereka berbeda-beda namun aqidah mereka
tetap satu, hal ini bisa dilihat dari kitab-kitab mereka dari yang ada pada
masa awal hingga saat ini.
·
Kelima, mereka adalah kelompok pertengahan diantara firqoh-firqoh
yang ada, sebagaimana islam merupakan pertengahan dari agama-agama yang ada.
Bersambung Insya Allah,….
Dikumpulkan, diterjemahkan dan
diberi catatan kaki oleh
Orang yang amat mengharapkan ampunan
Robbnya,
Aditya Budiman
[1] Lihat gambaran ringkas tentang hal ini dalam
tulisan kami sebelumnya.
[2] Kekhususan ini kami ambil dengan perubahan
redaksi dan peringkasan dari kitab Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal
Jama’ah oleh Syaikh DR. Muhammad bin Husain bin Hasan Al Jazainiy rohimahullah
hal. 19-20, terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.
[3] Lihat tulisan kami yang sebelumnya.
Komentar
Posting Komentar