Oleh Ustadz Kholid Syamhudi
Perpecahan kaum Muslimin menjadi
kelompok-kelompok yang mengusung beragam pemikiran, sungguh merupakan kenyataan
yang tidak bisa dimungkiri. Perpecahan ini, tidak lain, karena kaum Muslimin
jauh dari ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jauh dari
pemahaman para sahabatnya dalam beragama. Mengenai perpecahan ini, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mensinyalir dalam sebuah hadits:
“Sesungguhnya, barangsiapa di antara
kalian yang hidup, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Dan
berhati-hatilah kalian dari perkara yang baru, karena ia adalah kesesatan.
Barang Usiapa di antara kalian yang mendapatinya, maka wajib berpegang teguh
kepada sunnahku dan sunnah para khulafa-ur rasyidin al-mahdiyin; gigitlah ia
dengan gigi gerahammu” [HR At-Tirmidzi]
Perjalanan sejarah telah membuktikan
kebenaran wasiat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Awal perselisihan
atau perpecahan ini muncul pada akhir kekhilafahan Khulafa-ur-Rasyidin. Di
dalam Majmu’ al-Fatâwa (10/354), Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
menyebutkan, bahwa kebanyakan perbuatan bid’ah yang berhubungan dengan i’tikad
dan ibadah, hanya terjadi pada akhir masa kekhilafahan Khulafa-ur-Rasyidin.[1]
Selanjutnya, beliau rahimahullah
juga menjelasan:
“Ketika berlalu masa Khulafa-ur-Rasyidin dan kekuasaan berada di tangan raja, maka munculkan kelemahan pada diri para penguasa. Sehingga hal ini pun tampak pada para ulamanya. Kemudian, pada akhir kekhilafahan ‘Ali muncul dua perbuatan bid’ah, yaitu Khawarij dan Rafidhah. Ketika itu, perbuatan bid’ah tersebut berhubungan dengan imamah (kepemimpinan) dan khilafah, serta amalan dan hukum-hukum syari’at berkaitan dengannya.
Setelah Yazid meninggal dunia, umat
Islam terpecah-belah, (yaitu): Ibnu az-Zubair di Hijaz, Bani al-Hakam di Syam,
dan al-Mukhtar bin Abi ‘Ubaid dan lainnya di Iraq. Ini terjadi pada akhir masa
sahabat, dan sebagian para sahabat masih tersisa, di antaranya: ‘Adullah bin
‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, Jabir bin ‘Abdillah, Abu Sa’id al-Khudri dan
sebagainya.
Ketika muncul bid’ah al-Qadariyah
dan al-Murji’ah, maka sahabat yang masih hidup -seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu
‘Umar, Jabir, Watsilah bin al-Asyqa’ dan selainnya- (mereka) membantah bid’ah
ini, sebagaimana mereka dan selainnya dahulu telah membantah bid’ah Khawarij
dan Rafidhah”.[2]
Kemunculan kelompok Murji’ah ini di
awal masa Tabi’in, tepatnya terjadi pasca pemberontakan atau fitnah
Ibnul-Asy’ats. Hal ini bisa dilihat dari penjelasan Qatadah bin Da’amah
as-Sadusi, ia berkata: “Irja’ (pemikiran Murji’ah), muncul setelah kekalahan
Ibnul-Asy’ats”.[3]
Demikian juga Imam al-Bukhari
rahimahullah telah membawakan bukti tentang keberadaan Murji’ah ini pada masa
Tabi’in dengan membawakan satu riwayat dari Zubaid rahimahullah, beliau
berkata:
“Aku bertanya kepada Abu Wa-il
tentang Murji’ah, lalu beliau menjawab: “‘Abdullah telah mengabarkan kepadaku,
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,’Mencela muslim adalah fasik,
dan membunuhnya adalah kekufuran’.”[4]
Tentang hadits ini, Ibnu Hajar
al-’Asqalani rahimahullah mengomentarinya sebagai berikut. “Ucapan ( ÓÃáÊ ÃÈÇ
æÇÆá Úä ÇáãÑÌÆÉ ) bermakna tentang pemikiran Murji`ah, dalam riwayat Abu Dawud
ath-Thayalisi rahimahullah dari Syu’bah rahimahullah dari Zubaid rahimahullah,
beliau berkata: ‘Ketika muncul Murji`ah, aku mendatangi Abu Wa-il rahimahullah,
kemudian aku sampaikan perihal tersebut. Sehingga jelaslah, bahwa pertanyaannya
tersebut berkaitan dengan keyakinan mereka, dan itu dilakukan saat kemunculan
mereka. Abu Wa-il wafat tahun 99 H , dan
ada yang berpendapat tahun 82 H. Ini menunjukkan, bahwa bid’ah Murji`ah ini
sudah (berlangsung) sangat lama’.”[5]
Berdasarkan riwayat-riwayat
tersebut, maka dapat disimpulkan, bakwa kemunculan bid’ah Murji`ah ini telah
ada pada masa-masa terbaik generasi umat ini.
PANDANGAN PARA ULAMA TENTANG
KEBIDAHAN DAN KESESATAN PEMIKIRAN IRJA’
Para ulama sepanjang masa telah
menetapkan, bahwasanya Murji`ah merupakan kelompok bid’ah yang sesat. Mereka
pun melakukan pengingkaran dan membantah kelompok ini. Di antara para ulama
tersebut ialah sebagai berikut.
[1].’Abdullah bin ‘Abbas bin
‘Abdul-Muthalib (wafat 68 H). Beliau Radhiyallahu ‘anhu
mengingatkan,”Berhati-hatilah dengan (pemikiran) Irja’, karena ia merupakan
cabang dari pemikiran Nashrani”.[6]
[2].Ibrahim bin Yazid bin Qa-is
an-Nakhâ-i rahimahullah (wafat 96 H) berkata,”Menurutku, sesungguhnya fitnah
mereka (Murji`ah) lebih aku takutkan atas umat ini daripada fitnah al-Azâriqah
(Khawarij).”[7]
[3]..Muhammad bin Muslim az-Zuhri
rahimahullah (wafat 125H) berkata,”Tidak ada satu perbuatan bid’ah dalam Islam
yang lebih berbahaya bagi pemeluknya (kaum Muslimin) dari bid’ah ini, yaitu
Al-Irja’.”[8]
[4].Yahya bin Sa’id al-Anshari
(wafat 144 H) dan Qatâdah (wafat 113 H), sebagaimana dikatakan oleh al-Auzâ-i
rahimahullah, bahwa mereka berdua mengatakan: “Menurut pendapat mereka, tidak
ada perbuatan bid’ah yang lebih ditakutkan atas umat ini dari Al-Irja’.” [9]
[5].Manshur bin al-Mu’tamir
as-Sulami (wafat 132H); beliau
rahimahullah berkata: “Aku tidak berpendapat seperti pendapat Murji`ah yang
sesat dan bid’ah.” [10]
[6]. Malik bin Anas bin Malik
rahimahullah (wafat 179 H). Terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan tentang
sikap dan pemikiran beliau terhadap Murji’ah, yang dapat diringkas dalam tiga
hal berikut.
a).Tidak melakukan perdebatan maupun
pernikahan dengan mereka, dan ini termasuk hajr yang disyari’atkan.
b).Membantah dan menjelaskan kebatilan madzhab Murji`ah.
c).Tidak mengkafirkan mereka dengan sebab pemikiran dan perbuatan bid’ahnya tersebut.[11]
b).Membantah dan menjelaskan kebatilan madzhab Murji`ah.
c).Tidak mengkafirkan mereka dengan sebab pemikiran dan perbuatan bid’ahnya tersebut.[11]
[7].Ahmad bin Hambal (wafat 241H).
Dalam suatu dialog, beliau rahimahullah pernah ditanya: “Siapakah orang
Murji`ah itu?” Beliau menjawab,”Orang Murji`ah, yaitu yang mengatakan bahwa
iman itu hanya pernyataan belaka.” Beliau juga ditanya tentang orang yang
mengatakan bahwa iman itu hanyalah perkataan. Lalu Ahmad bin Hambal menjawab:
“(Demikian) ini perkataan ahlul-Irja’. Perkataan bid’ah tidak pernah
disampaikan para salaf dan orang-orang panutan kita”. [12]
[8]. Abu ‘Abdillah Muhammad bin
Bathah al-Akburi (wafat 387 H). Pengingkarannya terhadap Murji’ah dapat dilihat
dari pernyataan beliau. Yaitu setelah menyampaikan perkataan banyak ulama yang
melakukan celaan terhadap Murji`ah, beliau berkata: “Berhati-hatilah kalian
–rahimakumullah- dari bermajlis dengan kaum yang keluar dari Islam, karena
mereka telah menentang Al-Qur`ân, menyelisihi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , dan keluar dari Ijma’ ulama Muslimin. Mereka mengatakan, bahwa iman
adalah perkataan tanpa amalan.”[13]
Di tempat lain, Abu ‘Abdillah
Muhammad bin Bathah al-Akbari juga mengingatkan: “Berhati-hatilah kalian
-rahimakumullah- (terhadap) orang yang berkata ‘Saya mukmin di sisi Allah’,
‘saya mukmin yang sempurna imannya’ dan ‘iman saya seperti imannya Jibril dan
Mîkâ-îl’. Mereka ini, semuanya adalah Murji`ah yang sesat, menyimpang dan
berpaling dari agama.” [14]
[9]. Syaikh al-Albani (wafat 1421 H)
memasukkan Murji`ah ke dalam kelompok ahlul-hawa dan ahlul-bid’ah. [15]
[10]. .Lajnah ad-Dâ-imah lil-Buhuts
al-Ilmiyah wal-Ifta`, di dalam fatwa no. 21436, tertanggal 8 Rabi’uts-Tsani
1421H menyebutkan tentang fenomena pemikiran Murji`ah pada zaman ini. Dalam
fatwa tersebut dikatakan: “Tidak diragukan lagi bahwa pemikiran ini (Murji`ah)
adalah kebatilan dan kesesatan yang nyata, menyelisihi al-Qur`ân, Sunnah dan
ijma’ Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, sejak dahulu sampai sekarang.”[16]
Oleh karena itu para ulama terdahulu
hingga pada zaman sekarang memberikan perhatian serius dalam membantah Murji`ah
dan penganutnya. Masalah ini dijadikan sebagai topik pembahasan secara khusus
dalam kitab-kitab ‘aqidah. Bahkan, para ulama menuangkan ke dalam karya tulis
yang secara khusus berisi bantahan terhadap mereka. Misalnya, Syaikhul-Islam
Ibnu Taimiyyah.
BAHAYA DAN PENGARUH BURUK MURJI`AH
Melihat pengingkaran dan peringatan keras para ulama tersebut di atas, maka kita harus berhati-hati terhadap bahaya yang muncul dari bid’ah Murji`ah. Kemudian, kita perlu menjelaskan kepada umat mengenai bahaya pemikiran Murji’ah tersebut, terlebih pada masa sekarang ini, ketika umat Islam jauh dan kurang mengetahui ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Di antara bahaya dan dampak buruk
pemikiran Murji’ah ini dapat disebutkan sebagai berikut.
[1]. Sebagai kelompok yang mengusung
pemikiran bid’ah, maka jika Murji`ah masuk ke dalam ‘aqidah kaum Muslimin, ia
dapat memporak-porandakan kesatuan umat. Sebab, suatu perbuatan bid’ah jika
muncul dan berkembang, ia akan memicu permusuhan dan kebencian di antara kaum
Muslimin. Karena pelaku bid’ah pasti akan membela perbuatan bid’ahnya,
sedangkan Sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam pasti ada pendukung
yang menegakkannya. Dengan perseteruan ini, maka umat akan terpecah.[17]
[2]. Membuat pemilik ‘aqidah
Murji’ah ini masuk dalam kategori 72 golongan yang diancam masuk neraka,
sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Sesungguhnya orang sebelum kalian
dari ahli kitab telah berpecah-belah dalam 72 golongan, dan sungguh umat ini
akan berpecah-belah menjadi 73 golongan; 72 golongan di dalam neraka, dan satu
di syurga; yaitu al-Jama’ah. [HR Abu Dawud]
[3]. Munculnya pemikiran Murji’ah
ini telah menyebabkan banyak hukum-hukum Islam menjadi hilang, sehingga menjadi
penyebab hilangnya syari’at. Pemikiran mereka juga telah merusak keindahan
Islam, sehingga menjadi penyebab manusia berpaling dan tidak mengagungkan
syari’at Allah.[18] Demikian sebagian dampak buruk bid’ah secara umum, dan
Murji`ah termasuk di dalamnya.
[4]. Mereka telah berdusta atas nama
Allah dan memiliki pemikiran yang telah dicela oleh seluruh ulama. Imam
al-Ajuri (wafat 360H) berkata,
”Barangsiapa yang memiliki pemikiran
seperti ini (Irja`), maka ia telah berdusta atas nama Allah dan membawa
lawannya kebenaran serta sesuatu yang sangat diingkari seluruh ulama, karena
yang memiliki pemikiran ini menganggap, seseorang yang telah mengucapkan lâ
ilaha illallâh, maka dosa besar dan perbuatan keji yang ia lakukan, sama sekali
tidak merusaknya. Menurutnya pula, keberadaan antara orang yang baik dan takwa
dengan orang yang fajir adalah sama. Pendapat seperti ini jelas merupakan
kemungkaran. Padahal Allah berfirman.
“Apakah orang-orang yang membuat
kejahatan itu menyangka, bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal shalih? Yaitu sama antara kehidupan dan
kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu” [Al-Jatsi-ât : 21]
Dan firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
“Patutkah Kami menganggap
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih sama dengan
orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami
menganggap orang- orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat
ma’siat?” [Shâf : 28] [19]
[5]. Kelompok Murji’ah meyakini
bahwa suatu perbuatan (amal) tidak mempengaruhi keimanan seseorang, sehingga
banyak orang menyatakan yang penting “hatinya”, dan perbuatan maksiat yang
dilakukannya tersebut seakan-akan tidak mempengaruhi keimanan di hatinya.
[6]. Pemikiran Murji’ah membuka
pintu bagi orang-orang yang rusak membuat kerusakan dalam agama, dan merasa
tidak terikat dengan perintah dan larangan syari’at. Sehingga akan memperbesar
kerusakan dan kemaksiatan di tengah kaum Muslimin. Bahkan akhirnya sangat
mungkin mereka membuat melakukan perbuatan kekufuran dan kesyirikan, dengan
alasan bahwa hal itu merupakan amalan, dan tidak merasa bisa menyebabkan
imannya menjadi berkurang atau hilang. Na’udzubillâhi minazh-zhalal.
[7]. Menghilangkan unsur jihad fi
sabilillâh dan amar ma`ruf nahi mungkar. Bukti atau dalilnya mana? Perlu ada
penjelasan. (dari Nur)
[8]. Kaum Murji’ah menyamakan antara
orang yang shalih dengan yang tidak, dan orang yang istiqamah di atas agama
Allah dengan orang yang fasik. Sebab menurut mereka, amal shalih tidak
mempengaruhi keimanan seseorang, sebagaimana juga perbuatan maksiat tidak
mempengaruhi keimanan.
Adanya fenomena pemikiran Murji’ah
pada masa sekarang ini, maka Lajnah ad-Dâ-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal-Ifta`
telah menanggapinya, sebagaimana tercantum dalam fatwa mereka no. 21436,
tertanggal 8 Rabi’uts-Tsani 1421H. Fatwa tersebut menyebutkan.
“Tidak diragukan lagi, pemikiran ini
(Murji`ah) merupakan kebatilan dan kesesatan yang nyata, menyelisihi Al-Qur`an,
as-Sunnah dan Ijma’ Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah sejak dahulu hingga sekarang.
Pemikiran Murji`ah ini membuka pintu bagi orang-orang yang jelek dan rusak
untuk lepas dari dinul-Islam dan tidak terikat dengan perintah maupun larangan
syari’at, terlepas dari rasa takut maupun khawatir kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Juga menghilangkan sisi jihad fi sabilillâh dan amar ma`ruf nahi
mungkar, menyamakan antara orang yang shalih dengan yang thalih (tidak shalih),
yang taat dengan yang maksiat, dan yang istiqamah di atas agama Allah Subhanahu
wa Ta’ala dengan yang fasik yang lepas dari perintah dan larangan syari’at,
selama amalan-amalan mereka tersebut tidak mempengaruhi iman sebagaimana
menurut mereka . . .
(Syaikhul-Islam) rahimahullah
berkata,”Para salaf terdahulu sangat keras pengingkarannya terhadap Murji`ah,
karena mereka mengeluarkan amalan dari iman. Dan tidak diragukan lagi, bahwa
pendapat Murji`ah yang menyamakan keimanan (semua) manusia, (maka pendapat ini)
termasuk kesalahan yang sangat besar. Yang benar, manusia tidak sama dalam
masalah tashdiq, cinta, takut dan ilmu, bahkan (ditinjau) dari banyak sisi
memiliki tingkatan yang berbeda-beda”.
Inilah konsekwensi yang timbul dari
pernyataan mereka yang mengatakan bahwa amalan tidak termasuk iman. Dari
pendapat itu, kemudian muncul pernyataan mereka, bahwa iman Abu Bakar
Radhiyallahu ‘anhu dan iman Iblis adalah satu (sama).[20]
Pemikiran Murji`ah yang demikian
ini, dikarenakan mereka jauh dan berpaling dari penjelasan Al-Qur`ân, Sunnah
dan pernyataan para sahabat, Tabi’in dan ulama besar umat ini. Mereka
menyandarkan pemikiran tersebut, yakni yang mereka fahami dari bahasa Arab
semata.[21]
Demikian bahaya dan dampak buruk
pemikiran Murji`ah. Mudah-mudahan penjelasan ringkas ini bermanfaat bagi kita.
Wabillahit-Taufiq.
Maraji:
[1]. Al-Bid’ah Asbâbuha wa Madharuha, Syaikh Mahmud Syaltût, Tahqiq: Syaikh Ali Hasan, Dâr Ibnul-Jauzi, Cetakan Kedua, Tahun 141H.
[2]. Al Ibânah ‘an al-Syari’at al-Firqatun-Najiyah wa Mujânabat al-Furqah al-Madzmûmah, Muhammad bin Bathah al-’Akbari, Tahqiq: Ridha bin Na’sân Mu’thi, Dâr ar-Râyah, Cetakan Kedua, Tahun 1415H.
[3]. Al-Muntaqa min Syarhi Ushul I’tiqâd Ahlis-Sunnah wal-Jamâ’ah, Abu Mu’adz Mahmud bin Imam bin Manshur Ali Muwâfi, Maktabah as-Sahabat, Jeddah, KSA, Cetakan Pertama, Tahun 1415 H.
[4]. Fathul-Bari, Ibnu Hajar al ‘Asqalani, al-Maktabah as-Salafiyah, tanpa cetakan dan tahun.
[5]. Firaq Mu’asharah Tantasibu ilal-Islam, Dr. Ghalib bin Ali ‘Awâji, Dar Lienah, Cetakan Ketiga, Tahun 1418H.
[6]. Majmu’ al-Fatâwa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tanpa cetakan dan tahun.
[7]. Manhaj al-Imam Mâlik fi Itsbât al-Aqîdah, Sâ’ud bin Abdul-’Aziz ad-Da’jân, Maktabah Ibnu Taimiyyah, Cetakan Pertama, Tahun 1416 H.
[8]. Silsilah al-Ahadits ash-Shahîhah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Maktabah al-Ma’ârif, Riyâdh, KSA, Cetakan Pertama, Tahun 1417 H.
[1]. Al-Bid’ah Asbâbuha wa Madharuha, Syaikh Mahmud Syaltût, Tahqiq: Syaikh Ali Hasan, Dâr Ibnul-Jauzi, Cetakan Kedua, Tahun 141H.
[2]. Al Ibânah ‘an al-Syari’at al-Firqatun-Najiyah wa Mujânabat al-Furqah al-Madzmûmah, Muhammad bin Bathah al-’Akbari, Tahqiq: Ridha bin Na’sân Mu’thi, Dâr ar-Râyah, Cetakan Kedua, Tahun 1415H.
[3]. Al-Muntaqa min Syarhi Ushul I’tiqâd Ahlis-Sunnah wal-Jamâ’ah, Abu Mu’adz Mahmud bin Imam bin Manshur Ali Muwâfi, Maktabah as-Sahabat, Jeddah, KSA, Cetakan Pertama, Tahun 1415 H.
[4]. Fathul-Bari, Ibnu Hajar al ‘Asqalani, al-Maktabah as-Salafiyah, tanpa cetakan dan tahun.
[5]. Firaq Mu’asharah Tantasibu ilal-Islam, Dr. Ghalib bin Ali ‘Awâji, Dar Lienah, Cetakan Ketiga, Tahun 1418H.
[6]. Majmu’ al-Fatâwa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tanpa cetakan dan tahun.
[7]. Manhaj al-Imam Mâlik fi Itsbât al-Aqîdah, Sâ’ud bin Abdul-’Aziz ad-Da’jân, Maktabah Ibnu Taimiyyah, Cetakan Pertama, Tahun 1416 H.
[8]. Silsilah al-Ahadits ash-Shahîhah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Maktabah al-Ma’ârif, Riyâdh, KSA, Cetakan Pertama, Tahun 1417 H.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
05/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat
Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo]
__________
Foote Note
[1]. Majmu al-Fatawa (10/354)
[2]. Majmu al-Fatawa (10/356-357)
[3]. Al-Ibanah an asy-Syari’at al-Firqatun-Najiyah wa Mujanabat al-Furqah al-Madzmumah (2/889)
[4]. HR Bukhari, kitab al-Iman, Bab : Khauf al-Mu’min min An Yahbitha Amaluhu wa Huwa la Yasy’urun, no. 48
[5]. Fathul-Bari (1/112)
[6]. Dibawakan al-Lalika’i dalam Syarh Ushul I’tiqad, dinukil dari al-Muntaqa min Syarhi Ushul I’tiqad Ahlis sunnah wal Jama’ah, Abu Mu’adz Mahmud bin Imam bin Manshur Ali Muwafi, Maktabah al-Sahabat, Jeddah, KSA, Cetakan Pertama, Tahun 1415H (hlm. 211)
[7]. Al-Ibanah (2/885)
[8]. Ibid
[9]. Ibid (2/886)
[10]. Ibid
[11]. Manhaj al-Imam Malik fi Itsbat Al-Aqidah, hlm.507
[12]. Firaq Mu’ashirah Tantasibu ilal-Islam (2/975-976)
[13]. l-Ibanah (2/893)
[14]. Ibid (2/899)
[15]. Silsilah al-Hadits ash-Shahihah (6/1274)
[16]. Fatwa ini juga terdapat dalam lampiran kitab At-tibyan Li’alaqat al-Amal bi Musamma al-Iman, Ali bin Ahmad bin Suyuf, Maktabah al-Ulum wa-Hikam, cetakan Pertama, Tahun 1425H, hlm. 282-287.
[17]. Al-Bid’ah Asbabuha wa Madharruha, hlm. 58
[18]. Ibid
[19]. Asy-Syari’ah, Abu Bakar Muhammad bin al-Husain bin Abdillah al-Ajuri, Jum’iyah Ihya-uts Turats al-Islami, Cetakan Pertama Tahun 1421H, hlm 151-152
[20]. Al-Muntaqa min Syarhu Ushul I’tiqad, hlm.215
[21]. Fatawa Lajnah ad-Da’imah lil Buhuts al-Ilmiyah wal-Ifta, no. 21436, tertanggal 8 Rabiuts-Tsani 1421H
__________
Foote Note
[1]. Majmu al-Fatawa (10/354)
[2]. Majmu al-Fatawa (10/356-357)
[3]. Al-Ibanah an asy-Syari’at al-Firqatun-Najiyah wa Mujanabat al-Furqah al-Madzmumah (2/889)
[4]. HR Bukhari, kitab al-Iman, Bab : Khauf al-Mu’min min An Yahbitha Amaluhu wa Huwa la Yasy’urun, no. 48
[5]. Fathul-Bari (1/112)
[6]. Dibawakan al-Lalika’i dalam Syarh Ushul I’tiqad, dinukil dari al-Muntaqa min Syarhi Ushul I’tiqad Ahlis sunnah wal Jama’ah, Abu Mu’adz Mahmud bin Imam bin Manshur Ali Muwafi, Maktabah al-Sahabat, Jeddah, KSA, Cetakan Pertama, Tahun 1415H (hlm. 211)
[7]. Al-Ibanah (2/885)
[8]. Ibid
[9]. Ibid (2/886)
[10]. Ibid
[11]. Manhaj al-Imam Malik fi Itsbat Al-Aqidah, hlm.507
[12]. Firaq Mu’ashirah Tantasibu ilal-Islam (2/975-976)
[13]. l-Ibanah (2/893)
[14]. Ibid (2/899)
[15]. Silsilah al-Hadits ash-Shahihah (6/1274)
[16]. Fatwa ini juga terdapat dalam lampiran kitab At-tibyan Li’alaqat al-Amal bi Musamma al-Iman, Ali bin Ahmad bin Suyuf, Maktabah al-Ulum wa-Hikam, cetakan Pertama, Tahun 1425H, hlm. 282-287.
[17]. Al-Bid’ah Asbabuha wa Madharruha, hlm. 58
[18]. Ibid
[19]. Asy-Syari’ah, Abu Bakar Muhammad bin al-Husain bin Abdillah al-Ajuri, Jum’iyah Ihya-uts Turats al-Islami, Cetakan Pertama Tahun 1421H, hlm 151-152
[20]. Al-Muntaqa min Syarhu Ushul I’tiqad, hlm.215
[21]. Fatawa Lajnah ad-Da’imah lil Buhuts al-Ilmiyah wal-Ifta, no. 21436, tertanggal 8 Rabiuts-Tsani 1421H
Komentar
Posting Komentar