Oleh :
Al-Ustadz Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja Lc.
Jawaban
pertanyaan pertama
Maka kita katakan
bahwa asalnya para ulama salafiyin tatkala berfatwa mereka berfatwa dengan
ilmu. Maka jika ada tuduhan bahwa mereka berfatwa tanpa ilmu maka para penuduh
itulah yang dituntut untuk mendatangkan dalil bahwa para ulama tidak
mengetahui.
Kemudian para
masyayikh yang merekomendasi sebagian diantara mereka sudah ada yang meninggal
dunia, sehingga untuk mengecek apakah mereka tahu atau tidak tentang
kesalahan-kesalahan yayasan merupakan perkara yang sulit. Namun kita bisa
melihat indikasi-indikasi yang menunjukan akan hal ini meskipun tidak bisa kita
pastikan.
Adapun Syaikh Bin
Baaz maka telah lalu bahwasanya beliau mengerti betul dengan detail akan
kesalahan-kesalahan Abdurrahman Abdul Kholiq –yang beliau ini dikatakan sebagai
sumber kerusakan manhaj Yayasan Ihya At-Turots-, bahkan beliau membantah khusus
penyimpangan-penyimpangannya (sebagaimana telah lalu nukilannya).
Dan
pernyataan mereka bahwa Syaikh Bin Baaz tidak mengetahui, melazimkan bahwa
Syaikh Bin Baaz telah berfatwa dengan kejahilan. Tatkala penulis bertanya kepada Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad
–hafidzohulloh- akan hal ini –yaitu bahwa para masyayikh (Syaikh Bin Baaz dan
yang lainnya) telah meninggal dunia tidak mengetahui kondisi yayasan- maka
Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad berkata,
“Bagaimanapun
juga, bagaimanapun juga sesungguhnya mereka (para ulama yang membolehkan
bermu’amalah dengan yayasan) telah berbicara di atas ilmu dan tidaklah mereka
berbicara di atas kejahilan.”
[Penulis bertanya langsung kepada Syaikh di mesjid beliau pada hari senin
tanggal 19 juni 2006. Rekamannya ada pada penulis.]
Adapun Syaikh-syaikh
yang masih hidup maka alhamdulillah masih bisa kita temui langsung dan bisa
kita tanyakan langsung sejauh mana pengetahuan mereka tentang
kesalahan-kesalahan yayasan tersebut. Apakah mereka merekomendasi dengan
kejahilan ataukah mereka merekomendasi dengan ilmu??. Maka penulis sangat
berharap mereka (yang menyatakan harus mentahdzir orang-orang yang bermu’amalah
dengan yayasan) agar mereka bertanya langsung kepada para masyayikh yang masih
hidup (yang membolehkan bermu’amalah dengan yayasan), yaitu dengan pertanyaan
yang detail dengan penuh kejelasan akan kesalahan-kesalahan yayasan
[Sebagaimana yang telah mereka lakukan tatkala bertanya kepada Syaikh Ibnu
Utsaimin tentang hukum jihad di Indonesia dengan pertanyaan yang detail.
Sayangnya tatkala jawaban Syaikh tidak sesuai dengan keinginan mereka maka
lenyaplah fatwa Syaikh Utsaimin tersebut…!!!]. Dengan demikian mereka akan tahu
benar atau batilnya persangakaan mereka bahwa para masyayikh berfatwa di atas
kejahilan (atas kesalahan-kesalahan yayasan). Wallahul musta’aan
Adapun pertanyaan apakah
Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad –hafidzohulloh- mengetahui kesalahan-kesalahan
yayasan?, maka cukuplah pekataan Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili sebagai
jawabannya. Penulis telah bertanya langsung tentang lontaran perkataan
bahwasanya para masyayikh tidak mengetahui penyimpangan-penyimpangan yayasan
Ihya At-Turots maka beliau serentak kaget dan berkata, “Syaikh Abdul
Muhsin Al-Abbad tidak mengetahui???!!!, ini merupakan tho’en (celaaan) terhadap
Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad”. [Perkataan Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili ini
disaksikan oleh penulis sendiri, Abu Bakar Anas Burhannudiin Lc, dan Ahmad
Zainuddin Lc pada tanggal 18 juni 2006 selepas sholat Isya di mesjid Nabawi]
Jawaban
pertanyaan kedua, apakah khilaf yang terjadi bukanlah khilaf yang mu’tabar??
Adapun perkataan
mereka bahwa khilaf yang terjadi diantara para ulama bukanlah khilaf yang
mu’tabar maka ini adalah syubhat klasik yang dijadikan dalih –bukan dalil-
tatkala mereka sudah tidak menemukan jawabannya. Demikanlah lagu lama yang
telah mereka kumandangkan sejak dahulu. Tatkala para ulama khilaf tentang
masalah jihad di Ambon, dengan mudahnya mereka tidak menganggap pendapat
mayoritas ulama Ahlus sunnah yang menyelisihi mereka. Dengan mudahnya mereka
berkata, “Para masyayikh telah ditipu oleh kaum sururiyun di Madinah, dan
seterusnya tuduhan-tuduhan keji yang mereka lancarkan”. Setiap orang yang
menyelisihi mereka maka dianggap penyelisihan mereka tidaklah mu’tabar. Adapun
khilaf para ulama tentang boleh atau tidaknya mengambil dana dari yayasan
merupakan khilaf yang mu’tabar karena hal ini kembali pada memandang masalahat
dan mudhorot. Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili berkata,
“Aku
tidak membicarakan tentang hukum bermu’amalah dengan yayasan tersebut namun
perlu diingat, ahlus sunnah siapakah yang tidak lepas dari kesalahan. Kemudian
para masyayikh tatkala membolehkan bermu’amalah atau melarang bermu’amalah
dengan yayasan Ihya At-Turots mereka memandang kepada mudhorot dan maslahat,
yang hal ini merupakan permasalahan ijtihadiah [Perkataan Syaikh Ibrahim
Ar-Ruhaili ini disaksikan oleh penulis sendiri, Abu Bakar Anas Burhannudiin Lc,
dan Ahmad Zainuddin Lc pada tanggal 18 juni 2006 selepas sholat Isya di mesjid
Nabawi]. “
Sebagaimana telah
penulis katakan bahwa hukum bermu’amalah dengan ahlul bid’ah secara umum di
zaman ini merupakan perkara ijtihadiah yang kembalinya pada menimbang antara
masalahat dan mudhorot (yaitu menimbang antara menta’lif (mengambil hati)
mereka atau menghajr mereka).
Adapun perkataan
mereka bahwa khilaf dalam permasalahan ini adalah seperti khilaf para ulama
dalam permasalahan nikah mut’ah, permasalahan musik, nikah dengan cara tahlil,
dan lain-lain (silahkan merujuk kepada contoh-contoh khilaf yang tidak mu’tabar
yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam risalahnya “Rof’ul Malam ‘anil
a’immatil a’laam” [Yang tercantum dalam majmu’ fatawa jilid XX mulain hal
231]), maka ini adalah qiyas ma’al faariq (penyamaan antara dua perkara
yang pada keduanya terdapat perbedaan).
Perbedaan-perbedaannya
adalah sebagai berikut:
Secara umum kita katakan
bahwasanya permasalahan-permasalahan tersebut memiliki ciri-ciri yang sama :
1. Para ulama yang membolehkan nikah mut’ah, atau musik, nikah
dengan cara tahlil, atau membela jama’ah tabligh atau Sayyid Quthb, pada
dasarnya jumlah mereka bisa jadi perorangan atau hanya segelintir orang yang
tidak bisa dibandingkan dengan jumlah para ulama yang mengharamkan. Oleh karena
itu para ulama menyebutkan bahwa khilaf mereka adalah pendapat yang syadz. Hal
ini berbeda dengan permasalahan bermu’amalah dengan yayasan Ihya At-Turots,
para ulama yang membolehkan jumlahnya lebih banyak dan lebih senior, maka
bagaimana bisa dikatakan bahwa pendapat mereka syadz (nyleneh) atau tidak
dianggap. Jika perkaranya demikian maka siapa saja orangnya –meskipun hanya
satu orang- tatkala menyelisihi jumhur akan dengan mudahnya menyatakan bahwa
pendapat jumhur tidaklah mu’tabar.
2. Sebagian ulama yang berpendapat dengan pendapat-pendapat
menyimpang tersebut sebabnya adalah karena tidak sampainya ilmu kepada mereka.
Contohnya Ibnu Abbas rodiallahu’anhu, beliau berpendapat akan bolehnya nikah
mut’ah karena tidak sampai kepada beliau pengharaman Nabi
shollallahu’alaihiwasallam terhadap nikah mut’ah. Demikian juga Ibnu Hazm
-rahimahullah- tatkala menghalalkan musik, beliau berpendapat demikian karena
beliau melemahkan hadits yang menujukan akan haramnya musik meskipun hadits
tersebut diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari. Demikan juga halnya dengan
segelintir ulama yang membolehkan nikah secara tahlil, tidaklah sampai kepada
mereka hadits yang merupakan nash akan haramnya nikah tersebut [Majmu’ Fatawa
XX/260]. Hal ini jelas berbeda dengan permasalahan bermua’amalah (mengambil
dana) dari yayasan Ihya’ At-Turots. Para ulama yang membolehkan bermu’amalah
dengan yayasan tersebut telah mengetahui penyimpangan-penyimpangan yayasan
tersebut sebagaimana telah lalu penjelasannya[1]
3. Sebagian permasalahan-permasalahan ini kaitannya dengan
permasalahan hukum yang ada nashnya (dalil yang tegas) baik dari Al-Qur’an,
hadits, ataupun ijmak. Hal ini berbeda dengan permasalahan mu’amalah dengan
yayasan Ihya’ At-Turots, karena tidak ada dalil yang tegas dari Al-Qur’an atau
hadits atau ijmak yang menunjukan akan penghalalan dan pengharaman. Bahkan
kaidah ushul fikih menjelaskan bahwa asal dari dana bantuan tersebut adalah
hukumnya halal. Maka jika ada yang mengatakan bahwa hukum dana tersebut adalah
haram maka dialah yang dituntut untuk mendatangkan dalil.
“Kaedah dasar/hukum asal setiap hal yang berguna adalah mubah.”
“Kaedah dasar/hukum asal setiap hal yang berguna adalah mubah.”
Dan penulis sangat
yakin bahwasanya para masyaikh yang mengharamkan bermu’amalah dengan Yayasan
Ihya’ At-Turots juga meyakini bahwa dana tersebut hukum asalnya adalah halal
karena ia merupakan dana para muhsinin. Jika perkaranya demikian, lantas
mereka mengharamkan bermu’amalah dengan yayasan tersebut???, tentunya
karena hal yang lain, yaitu karena mereka kawatir orang-orang yang bermu’amalah
dengan yayasan tersebut akan turut serta melariskan kegiatan penyimpangan
manhaj yang dilakukan oleh yayasan tersebut. Nah, disinilah ijtihad para
masyayikh berbeda-beda.
Demikianlah
yang telah dijelaskan oleh Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili bahwasanya khilaf yang
timbul diantara para ulama tentang bermu’amalah dengan yayasan Ihya’ At-Turots
kembali kepada ijtihad masing-masing dalam memandang sejauh mana manfaat dan
mudhorot mengambil dana tersebut.
[Perkataan Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili ini disaksikan oleh penulis sendiri, Abu
Bakar Anas Burhannudiin Lc, dan Ahmad Zainuddin Lc pada tanggal 18 juni 2006
selepas sholat Isya di mesjid Nabawi]
Orang yang
menqiyaskan khilaf yang sedang kita bicarakan dengan khilaf-khilaf (tentang
hukum musik, nikah mut’ah, dll) tidak mengetahui kaidah untuk mengetahui kapan
sebuah khilaf dikatakan mu’tabar atau tidak mu’tabar. Oleh karena itu jika
orang yang mengatakan boleh bermu’amalah dengan yayasan Ihya’ At-Turots balik
menyatakan bahwa khilaf para masyayikh yang melarang adalah khilaf yang tidak
mu’tabar dengan menggunakan dalil-dalil yang disebutkan oleh orang tersebut
(yaitu dalil qiyas terhadap nikah mut’ah, musik, dll) maka orang tersebut akan
kerepotan menjawabnya. Karena masing-masing dari mereka sama-sama menyatakan
bahwa khilaf yang bertentangan dengan pendapat mereka adalah khilaf yang tidak
mu’tabar tanpa dhowabit/kriteria yang jelas dan tegas.
Perlu dijelaskan
bahwa permasalahan interaksi (mu’amalah) dengan suatu organisasi atau yayasan
tertentu atau orang tertentu termasuk salah satu bentuk ijtihad, dan bukan
termasuk permasalahan yang telah ditetapkan dalam nash (dalil). Oleh karena itu
para ulama’ ahli ushul fiqih menyatakan bahwa ijitihad ulama’ terbagi menjadi
tiga macam:
1.
Ijtihad dalam memahami nash (dalil), apakah dalil tersebut bersifat terbatas
hanya pada kasus yang menyertai datangnya dalil tersebut ataukan berlaku pula
pada kasus lain yang serupa dengannya.
Sebagaimana yang
telah diketahui sendiri, bahwa dalil-dalil dalam Al Qur’an dan As Sunnah atau
lainnya tidaklah pernah menjabarkan dirinya sendiri kepada umat. Yang menjabarkan
maksud dan menggubah kandungan dalil adalah para ulama’ ahlul ijtihad. Dan
dalam menjalankan amanah menggubah kandungan dalil, sering terjadi perselisihan
dan perbedaan. Sebagai salah satu contohnya ialah, hadits berikut:
Dari sahabat Ubadah
bin Shamith, ia berkata: Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: Emas
dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum,
sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, korma dijual dengan
korma, dan garam dijual dengan garam, harus serupa dan sama dan kontan. Bila
jenis barang-barang ini berbeda, maka juallah sesuka hatimu, selama
jual-belinya dengan cara kontan”. (HR Muslim)
Para ulama’ berbeda
pendapat apakah hal-hal yang dikategorikan ke dalam barang-barang riba (riba
fadhel[2]) hanya keenam hal yang disebut dalam hadits ini saja,
sebagaimana yang dinyatakan oleh ulama’ dzhahiriyyah ataukah mencakup hal lain
yang serupa dengannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh jumhur/kebanyakan
ulama’. Ijitihad semacam ini dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan ijtihad
dengan takhrij al manath.
Dan ulama’ yang
menyatakan bahwa hadits ini mencakup seluruh barang yang serupa dengan keenam
barang tersebut, juga berselisih pendapat, apakah sisi persamaan
(alasan/’illah) yang menjadi dasar hukum permasalahan ini.
2.
Ijtihad dalam menentukan alasan/’illah hukum permasalahan yang disebutkan dalam
suatu dalil.
Sebagai contoh: pada
hadits diatas, jumhur ulama’ yang berpendapat bahwa barang-barang yang serupa
dengan keenam barang di atas juga berlaku padanya hukum riba fadhel, masih
berselisih dalam menentukan alasan /’llah berlakunya hukum riba fadhel padanya.
Ada dari mereka yang
menyatakan: alasan berlakunya riba fadlel pada emas dan perak ialah karena
keduanya sebagai alat berjual-beli, dan alasan pada keempat barang lainnya
ialah karena barang-barang tersebut adalah bahan makanan, dan ini adalah
pendapat yang difatwakan oleh madzhab Syafi’i. Sehingga menurut mereka setiap
bahan makanan bila ditukar dengan barang yang sejenis, harus ditukar dengan cara
kontan dan sama jumlahnya, bila sampai ada yang ditunda penyerahannya atau
dilebihkan, maka itu adalah transaksi riba. Dengan demikian beras, jagung,
buah-buahan, kopi, teh, gula coklat, ikan laut dan seluruh bahan makanan,
berlaku padanya hukum riba fadhel.
Ada pula dari ulama’
yang menyatakan bahwa alasan dari berlakunya riba pada (gandum, garam, kurma)
adalah karena barang-barang ini adalah makanan pokok. Sehingga hukum riba
fadhel berlaku pada setiap bahan makanan pokok, dan tidak berlaku pada
selainnya. Dengan demikian selain makanan pokok, misalnya kopi, the, coklat,
gula, dan yang serupa tidak berlaku padanya hukum tersebut. Dan ini adalah
pendapat yang difatwakan dalam madzhab Maliky.
Ada pula dari ulama’
yang menyatakan bahwa alasan berlakunya hukum riba fadhel pada keenam barang
tersebut adalah karena penjualannya dengan cara ditimbang atau ditakar.
Sehingga setiap barang yang diperjual-belikan dengan ditimbang atau ditakar
berlaku padanya hukum riba fadhel, termasuk padanya paku, semen, besi, kertas,
dan seluruh barang yang penjual-beliannya dengan ditimbang atau ditakar. Dan
ini adalah pendpat yang difatwakanoleh mazhab Hanafy. Ijtihad semacam ini dalam
ilmu ushul fiqih disebut dengan ijtihad tanqih al manath.
3.
Ijtihad dalam menerapkan alasan/illah suatu hukum yang disebutkan dalam dalil.
Bila telah dipahami
alasan /’illah yang mendasari hukum yang ditegaskan dalam suatu dalil, para
ulama’ juga masih bertugas menerapkan alasan/’illah tersebut dalam kasus-kasus
nyata yang terjadi.
Sebagai contoh misalnya:
ulama’ telah menyatakan bahwa alasan diharamkannya minuman keras/khamer ialah
karena memabokkan, bahkan alasan ini dengan tegas telah dinyatakan dalam hadits
Nabi r berikut ini:
Dari
Ibnu Umar radliallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam
bersabda: “Setiap yang memabokkan adalah khomer, dan setiap yang memabokkan
adalah haram”. (HR Muslim)
Akan tetapi ketika
menerapkan alasan/’illah diharamkannya khamer ini pada kasus nyata, maka para
ulama’ pasti akan berijtihad dalam mencocokkan alasan tersebut apakah
benar-benar terwujud pada kasus tersebut atau tidak. Bila ada cairan yang
diambil dari perasan anggur –misalnya-, ulama’ tidak akan serta merta
menyatakan bahwa minuman tersebut haram, akan tetapi mereka akan berijtihad dan
berfikir dengan serius untuk membuktikan keberadaan alasan “memabokkan” pada
perasan tersebut. Ijitihad macam ini disebut dalam ilmu ushul fiqih dengan ijtihad
tahqiq al manath. [Bagi yang ingin mengetahui pembahasan macam-macam
ijtihad semacam ini silahkan membaca kitab-kitab ushul fiqih dalam pembahasan
Al Ijtihad, misalnya pada kitab: Raudhatun Nazhir wa Junnatul Munazhir, oleh
Ibnu Qudamah Al Maqdisy Al Hambaly 2/198-201, Al Muwafaqaat oleh As Syathiby
4/62-78]
Kembali
pada inti permasalahan: Bila kita amati
permasalahan interaksi dengan yayasan Ihya’ At Turats –misalnya- niscaya kita
akan dapatkan bahwa permasalahan ini dapat dikatagorikan kedalam ijtihad jenis
ke-2 dan juga ke-3. Apakah kesalahan-kesalahan yang ada pada yayasan
tersebut sudah cukup untuk mengeluarkan mereka dari golongan Ahlis Sunnah wal
Jama’ah atau belum? Dan apakah kesalahan-kesalahan tersebut termasuk
kesalahan-kesalahan yang pelakunya harus dihajer dan dijauhi?. Demikian
juga halnya dengan orang-orang yang berinteraksi dan menerima dana dari mereka.
Apakah hal ini merupakan kesalahan/kemaksiatan? Dan bila merupakan
kesalahan apakah telah menjadikan mereka keluar dari golongan ahlus sunnah?
Dan apakah dengan kesalahan tersebut mereka harus dihajer dan dijauhi?
Bila pembagian
macam-macam ijtihad seperti diatas, maka jelaslah bahwa sebagian dari
orang-orang yang menulis tentang permaslahan-permaslahan ijtihad dan metode
menyikapi orang-orang yang menyelisihi pendapatnya telah melakukan kesalahan
besar, dan juga telah melampaui batas kemampuannya. Sebagian orang secara tidak
langsung telah menobatkan dirinya sebagai mujtahid besar/hakim bagi para ulama,
sehingga dengan entengnya ia mengatakan bahwa pendapat ulama fulan tidak
mu’tabar, dan pendapat fulan mu’tabar, dan seterusnya. Akan tetapi kenyatannya
tidaklah sesuai dengan anggapannya tersebut, sehingga yang terjadi seperti
dinyatakan dalam pepatah arab:
“Setiap
orang mengaku bahwa ia kekasih Laila,
Sedangkan
Laila tak pernah mengakui anggapan itu untuknya”
Yang sungguh
menganehkan orang yang menyatakan bahwa khilaf tentang bermu’amalah dengan
yayasan Ihya’ At-Turots adalah khilaf yang tidak mu’tabar dengan mengqiaskannya
dengan permasalahan-permasalahan di atas (yaitu hukum musik, nikah mut’ah, dan
lain-lain) telah mengambil contoh khilaf-khilaf yang tidak mu’tabar tersebut
dari risalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang berjudul “Rof’ul malam ‘anil
aimmatil a’laam” yang artinya “Mengangkat celaan dari para imam”.
Isi dari risalah ini adalah memberi udzur kepada para ulama yang salah pendapat
mereka, bukan isinya untuk mencela mereka. Namun anehnya malah digunakan
sebagai sarana untuk mencela saudara-saudara mereka yang “salah/menyimpang”
(dalam tanda petik = yaitu menurutnya)???!!!
Kemudian yang lebih
aneh lagi ternyata kita dapati adanya syaikh-syaikh -yang mentahdzir yayasan
Ihya’ At-Turots dan melarang bermu’amalah dengan mereka- yang menganggap bahwa
khilaf tentang bolehnya bermu’amalah dengan yayasan tersebut adalah khilaf yang
mu’ttabar sehingga mereka tidak membangun al-wala’ wal baro’ terhadap mereka
yang bermu’amalah dengan yayasan tersebut. Diantara syaikh-syaikh tersebut yang
sampai kepada penulis adalah Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi, Syaikh
Salim bin ‘Ied Al-Hilali, Syaikh Abdul Malik Romadhoni Al-Jazairi[3], dan Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkholi[4]
Oleh
karena itu, kesimpulannya lontaran bahwasanya khilaf ini adalah khilaf yang
tidak mu’tabar jelas merupkan lontaran yang tidak mu’tabar.
Simaklah perkataan
Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad berikut ini. Penulis telah bertanya langsung
kepada Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad, “Sebagian ikhwah menyatakan bahwa
khilaf diantara para ulama tentang bermu’amalah dengan yayasan Ihya’ At-Turots
adalah khilaf yang tidak mu’tabar (tidak dianggap) karena para ulama yang
menyatakan bolehnya bermu’amalah tidak mengetahui hakekat yayasan, dan tidak
mengetahui penyimpangan-penyimpangan yayasan?”.
Syaikh menjawab,
“Ini
adalah perkataan yang tidak dipandang, yayasan (Ihya’ At-Turots) tidaklah
ditinggalkan dan tidak ditelantarkan, dan diambil faedah dari yayasan ini.”
[Penulis bertanya langsung kepada Syaikh di mesjid beliau pada hari senin
tanggal 19 juni 2006. Rekamannya ada pada penulis]
Dan inilah yang
benar justru perkataan orang yang menyatakan bahwa ini adalah khilaf yang tidak
mu’tabar justru perkataannya itulah yang merupakan khilaf yang tidak
mu’tabar. Wallahul musta’aan.
Diantara dalil yang
menunjukan bahwa masalah ini adalah permasalahan ijtihadiah adalah para
masyayikh yang melarang bermua’amalah dengan yayasan ini tidak pernah mentahdzir
apalagi menghajr terlebih lagi mentabdi’ para masyayikh yang merekomendasi
yayasan ini atau membolehkan bermu’amalah dengan yayasan ini. Oleh karena itu
tidak pernah kita dapati Syaikh Robi’ atau Syaikh Ubaid Al-Jabiri, atau Syaikh
Muhammad bin Hadi, atau Syaikh Abdul Malik Romadhoni –hafdzohumulloh- yang
mentahdzir Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad, atau Syaikh Sholeh Fauzan, atau
Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, atau Syaikh Sholeh Alu Syaikh, atau Syaikh
Abdurrozaq Al-Abbad –hafidzohumulloh-. Bahkan mereka selalu memuji satu
terhadap yang lainnya.
Jika ada yang
berkata, “Sikap para ulama tidak bisa kita ikuti karena mereka adalah
mujtahid dan mereka adalah para ulama jadi mereka saling menghormati, adapun
diantara kita maka tidak bisa diterapkan demikian karena kita tidak seperti
mereka. Jadi kita akan tetap mentahdzir dan menghajr orang yang bermu’amalah
dengan yayasan.”
Kita
katakan, “Ini adalah sebuah perkataan yang
lucu. Kalau bukan sikap para ulama yang kita contohi maka apakah kita harus
mencontohi sikap para juhala’ yang bersikap brutal dan membabi buta dalam
praktek hajr, tahdzir, dan tabdi’???” Kemudian jika para ulama menyatakan
bahwa khilaf ini adalah khilaf yang mu’tabar kemudian ada salah seorang ikhwah
yang menyatakan tidak mu’tabar maka ucapan siapakah yang harus kita ikuti???
Bahkan
ada yang berani-beraninya mengecap saudara-saudaranya yang mengambil dana dari
yayasan adalah pengikut hawa nafsu yang hanya mencari fatwa-fatwa yang enak
tanpa dalil. Bahkan ada yang mengibaratkan
sudara-saudara mereka yang mengikuti fatwa ulama untuk mengambil dana dari
yayasan seperti ayam yang sedang mencari makanan di tong sampah. Subhaanallaah,
فَهَلْ شَقَقْتَ قُلُوْبَهُمْ؟؟ “Apakah engkau telah membelah dada mereka??”, “Apakah
saudaramu yang mengambil fatwa ulama kibar engkau katakan sebagai pengekor hawa
nafsu?”. Apakah setiap yang tidak menerima pendapatmu engkau katakan pengikut
hawa nafsu???”. Laa haula wala quwwata illa billah
Bagaimana jawabanmu
jika saudara-saudaramu yang engkau tuduh sebagai pengekor hawa nafsu balik
menuduhmu dan teman-temanmu sebagai pengikut hawa nafsu dengan dalil-dalil
sebagai berikut??
1. Sudah terbukti sebelumnya jika dalam permasalahan ijtihadiah
khilafiyah lantas ada yang menyelisihi kalian maka langsung kalian keluarkan
dari ahlul sunnah –bahkan dikatakan munafiq- sebagaimana dalam permasalahan
jihad di Ambon. Ini jelas merupakan bentuk mengikut hawa nafsu.
2. Kalian sendiri dahulu terbukti saling tahdzir-tahdziran bahkan
saling mentabdi’ diantara kalian karena sebab-sebab yang tidak pantas, ini
jelas merupakan bentuk mengekor hawa nafsu.
3. Kalau ada fatwa syaikh yang bertentangan dengan pendapat kalian
–betapapun tinggi ilmunya syaikh tersebut- maka diantara kalian ada yang
menyembunyikannya. Ini jelas merupakan bentuk pengabdian kepada hawa nafsu.
4. Sebagian kalian ada yang meminta fatwa kepada seorang syaikh
dengan menyebutkan kesalahan-kesalahan masa lampau saudaranya agar saudaranya
tersebut ditahdzir oleh syaikh tersebut. Ini jelas bentuk pengumbaran hawa
nafsu.
Kemudian
rupanya ada maksud dibalik tuduhan saudara-saudara mereka sebagai pengikut hawa
nafsu, apakah maksud di balik tuduhan ini???
Maksudnya untuk
mendukung perkataan mereka “Kita menghormati para ulama yang telah
berijtihad dan bersalah (yaitu dalam tanda petik), adapun orang-orang yang
mentaqlid mereka dengan hawa nafsu dan tanpa dalil maka “wa la karomah”, tidak
ada udzur bagi mereka.” [Sebagaimana yang dilontarkan oleh salah seorang
dari mereka dalam ceramah umum dihadapan khalayak di kota Yogyakarta. Sungguh
merupakan permisalan yang keji, Inna lillah wa innaa ilaihi roaji’uun]
Apakah
engkau saja yang berijtihad sedangkan saudara-saudaramu yang mengambil dana
tidak berijtihad dalam mengambil langkah mereka??
Simaklah
perkataan Syaikh Al-Albani berikut ini:
“…Intinya, semua
khilaf yang tejadi ini dan masih banyak sekali khilaf-khilaf yang lain tidaklah
menyebabkan terpecah belahnya umat Islam. Karena seorang alim berpendapat
sesuai dengan apa yang dilihatnya dan umat mengikuti para ulama mereka dari
belakang. Barangsiapa yang puas dan tenang dengan pendapat yang itu maka dia
berada di atas petunjuk, dan barangsiapa yang puas dan tenang dengan pendapat
yang lain maka ia juga berada di atas petunjuk. Karena kami dalam kesempatan
ini mengucapkan sebuah ungkapan yang hendaknya di tulis dan direkam serta
disebarkan. Ungkapan tersebut adalah:
“Sebagaimana
seorang mujtahid jika benar maka mendapatkan dua pahala dan jika keliru maka
mendapatkan satu pahala, maka demikian juga orang yang mengikuti seorang
mujtahid maka hukumnya sebagaimana hukum mujtahid”.
Yaitu barangsiapa
yang mengikuti pendapat yang benar yang dipilih oleh imam mujtahid (yang
diikutinya) maka ia akan mendapatkan dua ganjaran. Maka orang ini yang
mengikuti mujtahid juga mendapatkan dua ganjaran. Memang tentu saja berbeda
antara ganjaran yang diperoleh sang mujtahid dengan ganjaran orang yang
mengikutinya. Akan tetapi orang yang mengikutinya juga mendapatkan dua
ganjaran. Adapun orang yang mengikuti imam yang lain yang ternyata keliru dan
dia mendapatkan satu ganjaran, maka demikian juga orang yang mengikutinya akan
memperoleh satu ganjaran…” [Dari Silsilah Al-Huda Wan Nuur no 779 yang direkam
pada tanggal 14 Sya’ban 1414 H (26 Januari 1994 M) dengan judul kaset
“As-Siyasah Asy-Syar’iyah”]
Jawaban
pertanyaan ke tiga
Jika memang
permasalahan mengambil dana dari yayasan Ihya’ At-Turots memang ijma’
(disepakati) oleh seluruh para ulama salafiyun akan pengharamannya kemudian ada
seorang salafi yang masih bersikeras mengambil dana dari yayasan tersebut karena
ada syubhat dikepalanya maka apakah dia otomatis keluar dari ahlus sunnah dan
menjadi ahlul bid’ah, dan dicap sebagai sururi, dan dimasukkan dalam daftar
ustadz-ustadz berbahaya??? Sesungguhnya ini merupakan salah satu pengamalan
manhaj Haddadiyah yang mengeluarkan seseorang dari ahlus sunnah dengan hanya
karena segelintir kesalahan, tanpa menimbang-nimbang dan membandingkan antara
kesalahan dan kebaikan orang tersebut.
Renungkanlah wahai
saudaraku, apakah saudaramu yang mengambil dana dari yayasan membela-bela
kesalahan-kesalahan yayasan???, apakah dia ikut melariskan
penyimpangan-penyimpangan manhaj yayasan???, ataukah dana yang ia ambil
malah digunakan untuk mengembangkan dan menyebarkan dakwah salaf??!!!
Kalau ada yang
berkata, “Tatkala ia mengambil dana dari yayasan maka otomatis ia akan
memuji yayasan?”.
Kita
katakan, hal tidaklah benar, tidak mesti
orang yang menerima bantuan dari orang lain otomatis akan memuji
kesalahan-kesalahan orang yang memberinya bantuan, sebagaimana ustadz yang
antum agung-agungkan dahulu juga mengambil dana dari beberapa orang yang
menurut kalian bukanlah salafi. Namun meskipun demikian sang ustadz tidak
memuji akan tetapi tetap terus mengambil dana dari mereka. Adapun memuji
kebaikan orang yang membantunya tersebut dalam hal “membantu” maka inilah yang
semestinya karena ini merupakan salah satu bentuk terima kasih kepada orang
yang telah berbuat baik.
Memang benar ada
sebagian orang yang mengambil dana dari yayasan kemudian memuji yayasan…, maka
orang tersebut seakan-akan dituduh membela kesalahan-kesalahan yayasan
tersebut. Bahkan kemudian hal ini semoga saja tidak dijadikan sarana untuk
bertanya kepada seorang syaikh, “Ya Syaikh bagaimana hukum orang yang
membela yayasan??”. Bisa jadi syaikh akan memahami bahwa orang tersebut
telah membela kesalahan-kesalahan yayasan.
Namun yang menjadi
pertanyaan apakah jika ada orang yang memuji yayasan (karena keyakinannya bahwa
yayasan tersebut belum keluar dari salafiyah) lantas apakah hal ini
melazimkan ia ikut membela dan memuji penyimpangan-penyimpangan yayasan???.
Ataukah yang ia puji adalah kebaikan-kebaikan yayasan yang ia lihat???. Oleh
karena itu janganlah sampai dipahami bahwa orang yang memuji yayasan otomatis
berarti memuji penyimpangan-penyimpangan yayasan tersebut.
Berikut ini penulis
sampaikan dialog Syaikh Al-Albani dengan salah seorang penanya dari Yaman yang
menyatakan kepada syaikh bahwasanya ada seorang dai yang memuji ahlul bid’ah
dan telah diketahui bersama bahwa ahlul bid’ah tersebut memiliki
perkataan-perkataan yang menyimpang. Maka dikatakan kepadanya, “Apakah da’i
ini memuji perkataan yang menyimpang tersebut ataukah memuji pengucapnya?”
Kemudian Syaikh
Al-Albani berkata kepadanya, “Apakah jika aku memuji seseorang berarti aku
membenarkan seluruh perkataannya?”. Penanya tersebut berkata, “Tidak”.
Syaikh Al-Albani berkata kepadanya, “Jika demikian maka apa maksud dari
pertanyaanmu ini?”. Kemudian Syaikh berkata kepadanya:
((Wahai akhi… aku
nasehati engkau dan para pemuda yang lain yang berdiri di atas garis yang menyimpang
–wallahu A’lam, inilah yang nampak padaku- janganlah kalian menyia-nyiakan
waktu kalian untuk mengkritik antara sebagian kalian terhadap sebagian yang
lain. Engkau berkata, “Si fulan mengatakan demikian.., si fulan bilang
demikian…”. Karena pertama hal ini sama sekali bukanlah ilmu dan yang kedua
uslub (cara) seperti ini membuat hati menjadi marah, dan menimbulkan hasad dan
permusuhan pada hati-hati (kalian). Yang wajib bagi kalian adalah menuntut
ilmu, ilmulah yang akan mengungkap bahwa apakah perkataan yang memuji si fulan
karena si fulan ini memiliki banyak kesalahan –misalnya- apakah berhak bagi
kita untuk menamakan orang yang memuji si fulan ini sebagai pelaku bid’ah yang
kemudian apakah kita hukumi sebagai mubtadi’???, kenapa kita harus terlalu
tenggelam hingga mendetail seperti ini??. Aku nasehati (engkau) agar jangan
terlalu tenggelam hingga mendetail seperti ini!!. Karena kenyataannya kita
mengeluhkan perpecahan yang sekarang terjadi di antara orang-orang yang
berintisab kepada dakwah Al-Kitab dan As-Sunnah atau sebagaimana yang kita
katakan sebagai dakwah salafiyah, perpecahan ini, wallahu a’lam, penyebab
utamanya adalah dorongan jiwa yang memerintahkan kepada keburukan (an-Nafsul
ammarah bis suu`) dan bukanlah perselisihan pada sebagian pemikiran. Inilah
nasehatku…
Aku sering sekali
ditanya, “Apa pendapatmu tentang fulan?”, dan aku langsung faham
bahwa ia (penanya) orang yang memihak atau memusuhi. Dan terkadang orang
yang ditanyakan adalah termasuk ikhwan-ikhwan kita. Dan terkadang orang yang
ditanyakan termasuk diantara ikhwan-ikhwan lama kita yang dikatakan dia telah
menyimpang, maka kami bantah penanya tersebut, apa yang engkau inginkan
terhadap fulan dan fulan??
Berlaku luruslah sebagaimana engkau
diperintahkan! Tuntutlah ilmu! Dengan ilmu engkau akan dapat memilah-milah mana
yang thalih dan mana yang shalih, siapa yang benar dan siapa yang salah!!!
Kemudian janganlah engkau ini mendengki terhadap saudaramu sesama muslim hanya
dikarenakan ia bersalah atau kita katakan ia telah munharif (menyimpang). Akan
tetapi ia menyimpang dalam dua atau tiga permasalahan, adapun
permasalahan-permasalahan yang lain ia tidak menyimpang…)) [Silsilah
Al-Huda wan Nuur kaset (784)]
Marilah pembaca yang
budiman untuk kembali membaca buku ini pada kesimpulan yang kesembilan dari
kaedah-kaedah hajr menurut Ibnu Taimiyyah. Telah penulis jelaskan di sana bahwa
tidak semua kesalahan yang dilakukan oleh seseorang mengeluarkan dia dari ahlus
sunnah.
Dan mungkinkah sikap
mentabdi’ yang membabi buta dan pukul rata ini merupakan salah satu dari
warisan yang diwarisi dari fikroh-fikroh sesat Ikhwanul Muslimin atau
orang-orang Takfiryyin yang pernah dianut oleh banyak du’at sebelum mereka
kenal dengan dakwah salaf???. Mungkinkah ini sisa noda-noda pemikiran Sayyid
Quthub, Salman Al Audah dan lain-lain yang masih melekat di pikiran sebagian
du’at, akibat pelajaran dan tarbiyah yang pernah mereka terima dari seorang
ustadz mereka yang dahulu mereka agung-agungkan beberapa tahun silam?!
[yang sekarang (ustadz yang dulu mereka agung-agungkan tersebut -ed) beliau
termasuk orang yang aktif melariskan bid’ah dzikir berjama’ah].
Untuk dapat memahami
bahwa ini adalah sebagian dari warisan tersebut, maka para pembaca hendaknya
senantiasa ingat bahwa diantara metode orang-orang khowarij dan yang menganut
paham mereka, ialah senantiasa melazimkan antara klaim terhadap pelaku dengan
hukum perbuatannya. Mereka senantiasa berkata: “Setiap pelaku kemaksiatan
pasti fasiq, dan setiap pelaku bid’ah pasti mubtadi’, dan setiap pelaku
kekufuran pasti kafir.”
Metode berfikir
semacam ini nyata-nyata menyelisihi metode Ahlus sunnah, sebab mereka
senantiasa membedakan antara keduanya, pelaku dan perbuatan, sehingga tidak
setiap pelaku kekafiran itu kafir, dan tidak setiap pelaku bid’ah itu mubtadi’ dan
tidak setiap pelaku kefasikan itu fasiq. [Bagi yang ingin mendapatkan
penjelasan lebih jelas silahkan baca kitab, mauqif Ahlis sunnah wal aljama’ah
min ahlil ahwa’ wal bida’ oleh Dr. Ibrahim Ar Ruhaily 1/163-235]
Berkat metode
berfikir yang bijak ini, ahlus sunnah senantiasa dapat berkata-kata dan
bersikap tepat dan penuh dengan hikmah. Ibnu Taimiyyah rohimahullah berkata:
“Dan
yang tepat /benar dalam masalah ini, bahwa kadang kala sebuah perkataan adalah
kekufuran, sebagaimana halnya dengan perkataan-perkataan orang-orang jahmiyyah,
yang mengatakan: Sesungguhnya Allah tidak berbicara, dan tidak bisa dilihat
kelak diakhirat, akan tetapi kadangkala hal itu tidak diketahui oleh sebagian
orang, sehingga diithlakkan ucapan pengkafiran kepada orang yang mengucapkannya,
sebagaimana yang dikatakan oleh ulama salaf, “Barang siapa yang mengatakan
bahwa Al Qur’an adalah makhluq, maka ia kafir, dan barang siapa yang mengatakan
bahwa Allah tidak dapat dilihat diakhirat, maka ia kafir”, dan tidaklah
dikafirkan orang tertentu, sampai tegak atasnya Al hujjah.” [Majmuu’ Fataawaa VII/619]
Sebagai salah satu
bukti dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ialah kejadian yang dialami
oleh sahabat Mu’adzbin Jabal rodiallahu’anhu berikut ini:
“Dari
sahabat Abdullah bin Abi Aufa, ia mengisahkan: “Tatkala Mu’adz tiba dari Syam,
ia bersujud kepada Nabi shollallahu’alaihiwasallam, maka Beliau bertanya: apa
ini wahai Mu’adz? Mu’adz menjawab: Aku baru saja datang dari Syam, dan aku
mendapatkan mereka bersujud kepada para uskup dan pendeta mereka, maka aku
merencanakan dalam hatiku untuk melakukan hal itu denganmu?Maka Rasulullah-pun
shollallahu’alaihiwasallam bersabda:”Janganlah kalian lakukan itu, karena
seandainya aku diizinkan untuk memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada selain
Allah, niscaya aku akan perintahkan kaum istri/wanita untuk bersujud kepada
suaminya.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban (dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani))
Rasulullah
shollallahu’alaihiwasallam murka kepada Mu’adz karena ia memanjangkan shalatnya,
akan tetapi pada kesempatan lain, yaitu ketika beliau shalat malam dan
berjama’ah dengan sahabat Huzaifah bin Yaman, beliau memanjangkan shalatnya,
bahkan lebih panjang dari shalat Mua’dz bin jabal. Karena bila Mu’adz hanya
membaca surat Al Baqarah, beliau malah membaca surat Al Baqarah, An Nisa’ dan
Ali Imran pada raka’at pertama, lalu beliau ruku’ dan ruku’nya hampir sama
dengan bacaan shalatnya, kemudian beliau bangkit dari ruku’ (I’itidal) dan
I’itidalnya hampir sama lamanya dengan ruku’nya dst, sebagaimana diriwayatkan
oleh Imam Muslim dll.
Hal ini bukanlah
berarti Nabi menyelisihi perintahnya kepada Mu’adz, akan tetapi inilah hikmah
dalam berdakwah, karena perbedaan situasi, kondisi dan juga perbedaan obyek
/orang yang dihadapi, beliau berbeda sikap. Dan inilah sebab tersesatnya
orang-orang khowarij, mu’tazilah dan yang serupa dengan mereka yang hanya
mengambil satu sikap tanpa memandang perbedaan objek dan tanpa memandang
situasi dan kondisi. Wallahu a’lam bisshowaab…
Jawaban
pertanyaan ke empat
Adapun sikap yang
keempat ini –yaitu menghajr dan mentabdi’ orang yang tidak menghajr dan tidak
mentabdi’ orang bermu’amalah dengan yayasan- merupakan kesalahan manhaj yang
tidak bisa ditawar-tawar lagi. Justru sikap seperti inilah yang banyak beredar
di tanah air -semoga Allah memberi petunjuk kepada kita semua dan menyadarkan
saudara-saudara kita yang telah terjerumus dalam manhaj ini-. Bukankah
kebanyakan ustadz atau ikhwan yang ditahdzir adalah hanya karena perkara ini
yaitu karena mereka diam tidak mentahdzir atau mentabdi’ orang-orang yang
bermu’amalah dengan yayasan??? Bukankah inilah salah satu manhaj
Haddadiyah “Mentabdi’ setiap orang yang tidak mau mentabdi’ orang yang terjatuh
ke dalam bid’ah”!!!??? [Yang anehnya sebagian orang yang menerapkan manhaj
ini tidak mau di tuduh bahwa perbuatan mereka ini adalah manhaj
haddadiyyah!!!!]
Sebagai bukti salah
penerapan manhaj tahdzir-tahdzir ini adalah sebagian ikhwan-ikhwan kita yang
memiliki manhaj ini dan menerapkan manhaj ini ternyata mereka sendiri saling
tahdzir mentahdzir dan saling tabdi’ mentabdi’. Senjata mereka (manhaj yang
keliru yang biasanya mereka arahkan kepada saudara-saudara mereka di seberang)
ternyata juga mengenai rekan-rekan mereka sendiri.
Setelah
–alhamdulillah- datang dua orang syaikh dari luar negeri untuk mendamaikan
mereka dimana masing-masing diberi kesempatan untuk mengungkapkan
kesalahan-kesalahan saudaranya maka ternyata kesalahan-kesalahan tersebut
merupakan kesalahan-kesalahan yang ringan yang sangat-sangat sungguh-sungguh
tidak bisa dijadikan dalih –apalagi dalil- untuk mentahdzir, apalagi
menghajr, apalagi mentabdi’ saudaranya. Wallahul musta’aan. Hal ini
menunjukan mereka belum paham manhaj yang benar dalam menyikapi mukholif (orang
yang menyelisihi). Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita semua.
Peringatan
IV:
Barangsiapa
yang berpendapat bahwa suatu perkara adalah bid’ah dalam masalah khilafiyyah
ijtihadiyyah, dan dia meyakini hal tersebut, maka janganlah ia membangun
al-wala` wal bara` (loyalitas dan permusuhan) di atas perkara tersebut,
meskipun ia meyakini perkara tersebut adalah bid’ah, karena masih merupakan
khilafiyyah ijtihadiyyah, sementara menjaga persatuan adalah perkara yang
sangat dituntut dalam syari’at.
Ibnu Taimiyyah
ditanya tentang orang yang taqlid kepada sebagian ulama dalam permasalahan
ijtihadiah, apakah orang seperti ini diingkari atau dihajr?, demikian juga
orang yang mengamalkan salah satu dari dua pendapat ulama (apakah juga
diingkari dan dihajr)?”
Maka beliau
menjawab, “Alhamdulillah, barangsiapa yang mengamalkan pendapat sebagian para
ulama dalam permasalahan-permasalahan ijtihadiah maka tidaklah diingkari. Dan
barangsiapa yang mengamalkan salah satu dari dua pendapat ulama maka tidak
diingkari. Jika dalam satu permasalahan ada dua pendapat dan nampak bagi
seseorang kuatnya salah satu pendapat maka hendaknya ia mengamalkan pendapat
tersebut, jika tidak nampak baginya (kuatnya salah satu dari dua pendapat
tersebut) maka hendaknya ia mentaqlid sebagian ulama yang ia jadikan sandaran
yang menjelaskan pendapat yang paling rojih (kuat) diantara dua pendapat
tersebut. Wallahu A’lam” [Majmu’ fataawa (XX/207]
Syaikh Ibnu
‘Utsaimin berkata, “Lihatlah para Imam (kaum muslimin) yang benar-benar
memahami nilai persatuan. Imam Ahmad rohimahullah berpendapat qunut shalat
Subuh adalah bid’ah. Meskipun demikian beliau berkata, “Jika engkau shalat di
belakang Imam yang qunut maka ikutilah qunutnya, dan aminkanlah doa imam
tersebut.” Semua ini demi persatuan barisan dan hati, serta agar tidak timbul
kebencian antara sebagian kita terhadap sebagian yang lain.”
Oleh karena itu,
Syaikh al-Albani yang berpendapat bid’ahnya sejumlah perkara yang merupakan
permasalahan khilafiyyah ijtihadiyyah tidak membangun al-wala’ wal bara’ di
atas perkara-perkara tersebut.
Demikian juga dengan
masalah yang kita hadapi. Barangsiapa yang meyakini bahwa Yayasan Ihya`
at-Turats adalah yayasan hizbi maka hendaklah ia jangan membangun al-wala’ wal
bara’ di atasnya karena masalahnya masih adalah khilafiyyah ijtihadiyyah,
sehingga yang dituntut adalah kritik, saran, dan nasehat yang membangun, tanpa
sikap memaksakan pendapat. Wallaahu a’lam.
Berkata Syaikh Ibnu
Utsaimin, “…Dan tidak mengapa (jika terjadi khilaf ijtihadi) untuk mengadakan
dialog dengan tenang dalam rangka sampai kepada kebenaran karena inilah metode
para sahabat. Adapun menjadikan khilaf -ijtihadi yang diperbolehkan- sebagai
ajang untuk mengobarkan kebencian, permusuhan, dan berkubu-kubu, maka hal ini
menyelisihi jalan para as-Salaf as-Shalih. Maka hendaknya seseorang mengamati
dan berfikir tentang syari’at Islam ini, sesungguhnya syari’at Islam datang
untuk menyeru kepada persatuan dan saling mencintai serta melarang semua
perkara yang menimbulkan perpecahan dan permusuhan…” [Kitaabul ‘Ilmi hal 214]
Nasehat
al-‘Allamah al-Muhaddits Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamd al-‘Abbad al-Badr, salah
seorang ulama yang paling senior di Madinah, tentang sikap sebagian Ahlus
Sunnah di Indonesia yang meng-hajr dan mencela saudara-saudara mereka yang
bermu’amalah dengan Yayasan Ihya` at-Turats:
“Aku katakan,
tidak boleh bagi Ahlus Sunnah di Indonesia untuk berpecah belah dan saling
berselisih disebabkan masalah mu’amalah dengan Yayasan Ihya` at-Turats, karena
ini adalah termasuk perbuatan setan yang dengannya ia memecah belah di
antara manusia. Namun yang wajib bagi mereka adalah besungguh-sungguh untuk
memperoleh ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Hendaknya mereka meninggalkan
sesuatu yang menimbulkan fitnah. Yayasan Ihya` at-Turats memiliki kebaikan yang
banyak, bermanfaat bagi kaum muslimin di berbagai tempat di penjuru dunia,
berupa berbagai bantuan dan pembagian buku-buku. Perselisihan disebabkan hal
ini tidak boleh dan tidak dibenarkan bagi kaum muslimin. Dan wajib atas Ahlus
Sunnah di sana (di Indonesia, pen) untuk bersepakat dan meninggalkan perpecahan.” [Jawaban berupa nasehat ini beliau sampaikan di masjid seusai
shalat Zhuhur, Kamis, 13 Oktober 2005, atau 10 Ramadhan 1426 H. Pada kesempatan
tersebut yang meminta fatwa adalah Abu Bakr Anas Burhanuddin, Abu ‘Abdirrahman
‘Abdullah Zain, dan Abu ‘Abdil Muhsin Firanda Andirja -penyusun risalah ini-.
Kami juga telah minta izin kepada beliau untuk menyebarkan fatwa ini sebagai
nasehat bagi Ahlus Sunnah yang ada di Indonesia.]
Berikut ini nasehat
Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Romadhoni Al-Jazairi (yang dimana beliau
termasuk salah seorang syaikh yang mentahdzir yayasan Ihya’ At-Turots, dan
tidak menganjurkan untuk mengambil dana dari yayasan tersebut, dan beliau juga
dikenal sebagai orang yang kenceng membantah sururiyun), [Bahkan tatkala
penulis bertanya kepada beliau tentang sebagian tokoh sururiyun maka beliau
menyebutkan pemikiran-pemikiran mereka yang mereka lontarkan di media-media
masa. Hal ini menunjukan bahwa beliau sering mengikuti (tatabbu’)
perkataan-perkataan dan fatwa-fatwa mereka, tidak cuma yang terdapat pada
buku-buku mereka bahkan pada media-media masa. Hal ini menunjukan bahwa beliau
termasuk masyayikh yang paham betul tentang manhaj sururiyun. Wallahu A’lam]
((Aku katakan tidak
ada faedahnya bagi kalian untuk berselisih seputar permasalahan yayasan, hal
ini dikarenakan sebab yang penting yaitu adanya syubhat. Jika ada seseorang
yang tertipu dengan yayasan, dan telah atau sedang merekomendasi yayasan, dan
bisa jadi bekerja bersama yayasan tersebut, maka kami tidak menasehati kalian
–bahkan kami mentahdzir kalian- dari sikap menghajr orang tersebut atau kalian
berselisih dengannya pada permasalahan tersebut. Dia memiliki pendapat
yang ia tidak bersendirian dengan pendapat tersebut. Ia mengikuti
pendapat orang lain, kecuali jika kita mengetahui bahwa ia adalah shohib hawa
(pengikut hawa nafsu). Aku berbicara tentang orang yang kalian ketahui
memiliki aqidah yang lurus, cinta kepada agama ini, cinta kepada sunnah,
menyebarkan sunnah dan membelanya, ia mencintai hal ini. Akan tetapi ia
merekomendasi yayasan karena apa yang nampak padanya dari tazkiyah para
masyayikh terhadap yayasan, atau apa yang nampak padanya berupa
kebaikan-kebaikan yayasan, dan tidak mengetahui kejelekan-kejelekan yayasan,
atau yang semisal hal ini. Maka tidak ada faedahnya kalian berselisih,
dan tidak ada faedahnya kalian saling menghajr. Para ulama seluruhnya di
masa sekarang ini berkata, “Ahlul bid’ah sekarang secara umum tidak
dihajr”, maka bagaimana lagi dengan seorang yang kita tidak yakin bahwa
dia adalah seorang mubtadi’. Bisa jadi orang yang bekerja bersama yayasan
adalah ahlus sunnah. Bekerja bersama mereka pada batasan-batasan sunnah dengan
menyebarkan sunnah-sunnah tersebut, dan dia tidak mengetahui
kesalahan-kesalahan yang tersembunyi dalam yayasan. Bagaimana orang seperti ini
dihajr??, bagaimana orang seperti ini kalian berselisih dengannya??. Bagaimana
kalian mengangkat-ngangkat permasalahan ini bersamanya. Kalian hanyalah boleh
mengangkat permasalahan ini dalam rangka menjelaskan dan berdialog dengan cara
yang tenang dan terarah, yaitu misalnya dengan berkata, “Pada yayasan terdapat
kesalahan-kesalahan, yang pertama…, kedua…, ketiga…”. Namun seandainya ia tidak
menerima (penjelasan kalian), dan kalian melihatnya secara hakikatnya bukanlah
pengikut hawa nafsu maka tidak boleh bagi kalian untuk berselisih –baarakallohu
fiikum-. Jelaskanlah padanya dengan cara yang baik, sekali saja, kemudian
perkaranya dilipat dan dilupakan. Adapun seluruh jidal (perdebatan) ini adalah
sesuatu yang tidak dicintai oleh Allah.
Allah berfirman :
Sebenarnya
mereka adalah kaum yang suka bertengkar (Az-Zukhruf : 58)
Pertengkaran
tidaklah dicintai oleh Allah. Perdebatan seluruhnya tidaklah mengantarkan
kepada kebaikan.
Allah jika membenci
sebuah kaum maka Allah memberikan kepada mereka sikap (suka) perdebatan dan
mengharmkan mereka dari beramal (sholeh).
Kita tidak suka yang
seperti ini… Kami tidak suka ciri sebagian ikhwan-ikhwan kita (yang selalu
berkata), “Apakah pendapat kalian tentang si fulan, tentang yayasan ini…??”,
pagi dan sore selalu inilah perkataan mereka. Kemudian dia menelepon
–subhanahllah- dari tempat yang jauh dengan menghabiskan uang yang banyak
(hanya untuk bertanya), “Apakah pendapatmu tentang si fulan”.
Seakan-akan –masya Allah- ia telah belajar dari seluruh ulama salafiyin kecuali
hanya tinggal si fulan (yang ia tanyakan tentangnya yang belum ia belajar). Ini
merupakan kesalahan, ini merupakan kesalahan –subhanallahil ‘adzim-.
Betapa banyak permasalaan (ilmu) yang telah ditulis oleh para ulama salafiyun.
Jika engkau telah selesai membaca tulisan-tulisan mereka tersebut, maka
silahkan engkau bertanya (tentang siapakah si fulan?). Adapun engkau
meninggalkan seluruh ulama yang baik di satu sisi dan kesibukanmu hanyalah
tentang perkara si fulan ini dan bertanya tentang siapakah dia, kemudian engkau
datang untuk merekam sebuah perkataan atau point yang menyerang lawanmu (untuk
berkata), “Lihatlah, syaikh fulan telah berfatwa kepadaku bahwasanya
engkaulah yang bersalah”, ini semua adalah perdebatan yang dimurkai. Ini
semuanya adalah untuk memuaskan kepentingan pribadi. Ini semuanya
hanyalah untuk memuaskan kepentingan hawa nafsu. Kami tidak suka metode dan
cara-cara seperti ini. Cara-cara seperti ini menyebabkan engkau terhalang dari
ilmu, mencegahmu dari al-mahabbah fillah (cinta kepada sadaramu karena Allah),
dan menjerumuskan engkau ke dalam fitnah, dan merusak apa yang telah terjalin
diantara Ahlus Sunnah. Seseorang jika telah jelas di kalangan para ulama
(bahwasanya ia adalah ahlul bid’ah) maka orang seperti ini sudah jelas, tidak
butuh dialog lagi. Akan tetapi jika masih tersisa syubhat maka hendaknya orang
yang menyelisihi dirahmati. Tidaklah dilarang engkau membantahnya dengan
berkata, “Engkau bersalah dan akulah yang benar”, hal ini tidaklah
dilarang. Akan tetapi yang dilarang adalah engkau mengungkit-ngungkit
permasalahan ini dengan menegakan al-wala’ wal baro’. Maka kami nasehat
ikhwan-ikhwan kita untuk melipat permasalahan ini. Barangsiapa yang ingin
memberikan nasehat ini atau kaset ini kepada si fulan maka tidaklah mengapa,
akan tetapi keadaan kalian yang saling berselisih dan kalian mengobarkan api
fitnah, kemudian menegakkan al-wala wal baro’, kemudian kalian terpecah
belah dan tidak bersatu lagi setelah hari itu maka ini merupakan fitnah yang
lain lagi, ini merupakan fitnah yang lain lagi. Wallahu A’lam)) [Nasehat
yang disampaikan oleh Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Romadhoni pada bulan mei
2006 M, dan kaset rekamannya ada pada penulis]
Kesimpulan
1. Permasalahan “Ihya At–Turats” adalah yayasan hizbi atau bukan
dan permasalahan seputarnya merupakan masalah khilaf yang mu’tabar
(Ijtihadiyah). Tidak sebagaimana yang didengungkan oleh sebagian ustadz.
2. Permasalahan ta’awun (bekerjasama) atau yang lebih ringan lagi
dari itu yaitu menyalurkan dana atau mengambil dana, kedua permasalahan
tersebut lebih ringan lagi dari permasalahan di atas. Tentunya khilafnya lebih
mu’tabar lagi.
3. Pernyataan bahwa para ulama yang merekomendasi yayasan tidak
tahu penyimpangan-penyimpangan yayasan, maka tuduhan ini perlu bukti, karena
asalnya para ulama salaf tidaklah berfatwa tanpa ilmu. Bahkan ada dalil yang
menunjukan bahwa mereka telah berfatwa di atas ilmu
4. Penerapan hajr (boikot), Tabdi’(mengatakan ahlu bid’ah), Takfir
(pengkafiran) secara serampangan dan tanpa kaedah sebagaimana yang
dilakukan oleh sebagian orang bukanlah termasuk ajaran salaf.
5. Menjadikan masalah khilafiyah ijtihadiyah yang mu’tabar sebagai
standar wala’ dan baro’ adalah sebuah penyimpangan manhaj salaf yang sangat
fatal.
6. Penerapan hajr dilakukan berdasarkan kaedah maslahat dan
mudhorot dengan memperhatikan berbagai faktor yang telah disebutkan.
7. Jika seandainyapun ulama sepakat melarang mengambil dana dari
yayasan tersebut, maka penerapan hajr, wala dan baro dilakukan berdasarkan
pertimbangan maslahat dan mudhorot, tidak sebagaimana penerapan yang brutal
yang dilakukan oleh mereka. Apalagi jika tidak demikian!!!
8. Tidak semua orang yang melakukan kesalahan secara otomatis
keluar dari ahlussunnah, apalagi pada permasalahan yang diperselisihkan dan
bukan prinsipil. Maka jika orang yang mengambil dana dianggap sebagai sebuah
kesalahan (padahal jelas belum tentu) apakah secara otomatis mengeluarkan dari
ahlussunnah?!!! dikatakan sururi?!!! Termasuk ustadz berbahaya?!!! Dituduh
pengekor hawa nafsu?!!! Dan tuduhan lain yang sangat tidak pantas keluar dari
lisan seorang yang dianggap ustadz.
9. Mengqiyaskan permasalahan ini dengan nikah mut’ah, musik dll
adalah qiyas yang keji dan dipaksa-paksa (silahkan membaca penjelasannya pada
edisi sebelumnya -ed). Renungkanlah!!!
10. Memvonis sururi atau gelar lainnya terhadap orang yang tawaquf
(tidak berkomentar, dan tidak mau mentabdi’ atau mengatakan sururi kepada orang
yang bermu’amalah dengan yayasan) dalam masalah ini adalah sebuah kesalahan
yang tida bisa ditawar lagi, dan ini merupakan manhaj haddadiyah. Justru inilah
kesalahan utama mereka dan ciri yang paling tampak yaitu mentahdzir semua orang
yang tidak setuju dengan mereka.
11. Perlu dipelajari bahwa khilaf dan ijtihad bermacam–macam, serta
sikap yang harus dilakukan oleh setiap orang pun akan berbeda tergantung pada
macam khilaf dan ijtihad yang terjadi.
12. Tuduhan mereka bahwa para pengambil dana adalah pengekor hawa
nafsu dan tuduhan lain yang berkaitan dengan hati mereka merupakan sebuah
tindakan yang lancang dan mengorek hal yang ghaib yang mereka tidak ketahui.
Sebagai salah satu contoh yang terakhir, perkataan sebagian mereka (para thullab
mereka) bahwasanya masjid bin Baz dan Jamilurrahman rusak karena gempa
merupakan bukti bahwa Allah tidak ridho terhadap dana yayasan Ihya At Turats…”
Renungkanlah “apakah mereka mengetahui hal yang ghaib, bahwa Allah ridho atau
tidak ridho?? Apa kaitannya???!!! Ini merupakan tindakan yang lancang terhadap
Allah. ukankan jika Allah menimpakan musibah pada suatu kaum maka akan bersifat
umum dan juga akan menimpa orang-orang yang sholeh?? llah berfirman :Dan
peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang
zhalim saja diantara kamu. (QS. 8:25)
Apakah harta antum yang selamat dari gempa menunjukkan bahwasanya praktek hajr antum selama ini yang brutal diridloi Allah??!!!. Bukankah mbah Marijan sang dukun juga selamat seperti antum.
Bukankah masih
banyak saudara-saudara antum yang bermu’amalah dengan yayasan yang sehat wal
afiat dan tidak terkena musibah gempa??, berdasarkan kaidah kalian berarti
Allah ridho dengan kegiatan mereka selama ini?? Bukankah sebagian antum juga
terkena musibah gempa, maka mengapa tidak antum katakan kepada mereka
sebagaimana yan antum katakan kepada yang lain.
Apakah antum yang
selamat dijamin lebih baik dari yang tidak selamat, bukankah rasulullah
bersabda “Jika Allah menghendaki kebaikan kepada seorang hamba maka Allah
menyegerakan hukumannya di dunia, dan jika Allah menghendaki keburukan pada
hambaNya maka Allah tunda sampai hari kiamat.”
Bisa saja ada yang
akan berkata, “Bukankah merupakan nikmat Allah kepada saudara-saudara kalian
yang ada di Jamilurrahman dan juga di Markas Bin Baaz karena dengan jumlah yang
begitu banyak baik para ikhwan maupun akhwat dan juga anak-anak mereka semuanya
selamat kecuali dua orang anak-anak yang wafat???. Bukankah ini menunjukan
rahmat Allah kepada mereka”. Bahkan ada beberapa keluarga yang tetap berada di
dalam rumah tatkala gempa hingga hancur lebur rumah mereka namun anehnya mereka
selamat dan tidak cidera sedikitpun. Bagaimanakah pendapat antum???
(selesai)
[1] Untuk diketahui bahwasanya tazkiyah Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi
–hafidzohulloh- terhadap Jama’ah Tabligh telah beliau ralat sebagaimana
disampaikan oleh menantu beliau Syaikh DR Abdurrahman Muhyiddin (beliau adalah
dosen pembimbing risalah doktoral Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkholi
–hafidzohumulloh
[2] Yang dimaksud dengan riba fadhel ialah bila menjual belikan
barang-barang riba di atas dengan cara tukar menukar, misalnya korma ditukar
dengan korma, gandum dengan gandum, maka penukarannya harus dilakukan dengan
cara kontan dan dalam jumlah yang sama, walaupun mutu barangnya berbeda. Bila
sampai dilebihkan salah satunya, maka kelebihannya tersebut adalah riba dan
haram hukumnya. Begitu juga tukar-menukar emas, atau perak atau lainnya.
[3] Sebagaimana yang berulang-ulang kali beliau sampaikan dalam
majelis-mejelis beliau tatkala penulis serta beberapa ikhwah Indonesia
berkunjung ke kediaman beliau. Beliau menyatakan bahwa para ikhwah yang
mengambil dana dari yayasan Ihya At-Turots m’adzurun (mendapat udzur) karena
mereka telah beramal dengan fatwa para ulama. Perlu untuk diketahui bahwa
beliaulah yang disebutkan oleh Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri sebagai nara sumber
Syaikh Ubaid tentang kesalahan-kesalahan Ihya’ At-Turots
[4] Sebagaimana tatkala penulis tanyakan langsung kepada beliau di
sebuah majelis di kediaman beliau (pada bulan Ramadhan tahun 2004 M) di hadapan
mahasiswa Madinah dan sebagian ikhwan yang merupakan murid Syaikh Muqbil
–rahimahullah-, penulis bertanya, “Syaikh, apakah maksud anda yaitu kita harus
mentahdzir dan menghajr serta melarang orang-orang untuk bermajelis dengan
salafiyin yang mengambil dana dari yayasan Ihya’ At-Turots?”. Maka beliau
menjelaskan bahwa beliau tidak menyuruh untuk mentahdzir dan menghajr.
Demikianlah jawaban syaikh dan banyak saksi yang mendengar jawaban ini.
Sebagai bukti nyata pengamalan pendapat beliau adalah sikap beliau terhadap
Syaikh Abdurrozaq yang bermu’amalah dengan yayasan Ihya At-Turots. Tatkala ada
seorang ikhwan –di majelis yang sama, “Bagaimana dengan Syaikh Abdurrozaq yang
bermu’amalah dengan yayasan Ihya’ At-Turots?”, maka apakah perkataan beliau,
“Aku dan Syaikh ‘Abdurrazzaq seperti tangan yang satu, bahkan jari yang satu.”.
Oleh karena itu mereka berdua tidak saling menghajr dan jika bertemu maka
terlihat mereka berpelukan, yang menunjukan rasa hormat dan saling mencintai di
antara mereka berdua.
Dipublikasikan oleh : ibnuramadan.wordpress.com
© Copyright muslim.or.id &
dear.to/abusalma
Komentar
Posting Komentar