Pertanyaan:
Assalamu’alaikum,
Assalamu’alaikum,
Mau tanya, apakah menghadiahkan pahala sedekah kepada
mayit, bisa sampai kepada mayit?
Terima kasih
Terima kasih
Dari: Fitri
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Menghadiahkan pahala sedekah untuk mayit termasuk praktik yang
dibolehkan dan pahalanya bisa sampai kepada mayit. Di antara dalil tegas dalam
masalah ini adalah hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha,
bahwa ada seorang lelaki yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam,
إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ
نَفْسَهَا وَلَمْ تُوصِ، وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ، أَفَلَهَا
أَجْرٌ، إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَالَ: «نَعَمْ تَصَدَّقْ عَنْهَا»
“Ibuku mati mendadak, sementara beliau belum berwasiat. Saya
yakin, andaikan beliau sempat berbicara, beliau akan bersedekah. Apakah beliau
akan mendapat aliran pahala, jika saya bersedekah atas nama beliau?” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya. Bersedekahlah atas nama ibumu.”
(HR. Bukhari 1388 dan Muslim 1004)
Dalam hadis yang lain, dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma,
bahwa ibunya Sa’d bin Ubadah meninggal dunia, ketika Sa’d tidak ada di rumah.
Sa’d berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي
تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا، أَيَنْفَعُهَا شَيْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ
عَنْهَا؟ قَالَ: «نَعَمْ»
“Wahai Rasulullah, ibuku meninggal dan ketika itu aku tidak
hadir. Apakah dia mendapat aliran pahala jika aku bersedekah harta atas nama
beliau?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya.”
(HR. Bukhari 2756)
Hadis-hadis di atas menjadi dalil bahwa pahala sedekah atas nama
mayit bisa sampai kepada mayit. Bahkan kata Imam Nawawi bahwa pahala sedekah
ini bisa sampai kepada mayit dengan sepakat ulama. (Syarh Shahih Muslim,
7:90)
Catatan:
Hadis di atas bukan dalil bolehnya
tahlilan
Sebagian kalangan, menjadikan hadis di atas sebagai dalil
bolehnya tahlilan, kenduri arwah, peringatan kematian,
atau yasinan di rumah duka, dengan bilangan hari tertentu. Mereka
beranggapan bahwa kegiatan ini ditopang berbagai dalil dan bahkan kesepakatan
ulama, sebagaimana keterangan Imam Nawawi.
Jelas ini adalah pendapat yang salah, jika tidak dikatakan 100%
salah. Orang yang berpendapat demikian, tidak bisa membedakan antara sedekah
atas nama mayit dengan peringatan kematian di rumah duka. Anda yang membaca
hadis di atas tentu sepakat bahwa dalam hadis tersebut, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallamtidak menyarankan agar dilakukan acara tertentu ketika
bersedekah. Artinya, kapanpun, bagaimanapun, dimanapun sedekah itu dilakukan,
jika itu atas nama mayit, insya Allah pahalanya akan sampai kepada mayit.
Seorang mukmin ketika ditanya, apakah sedekah harus menggunakan
acara tahlilan dan yasinan, kemudian kumpul di rumah mayit??
Mereka akan menjawab: Tidak harus…!
Mereka akan menjawab: Tidak harus…!
Bahkan, jika dibandingkan, manakah yang lebih mendekati ikhlas,
sedekah dengan mengundang tetangga ataukah sedekah diam-diam tanpa diketahui
banyak orang?
Setiap mukmin akan menjawab, diam-diam itu lebih mendekati
ikhlas, dan insya Allah pahalanya lebih besar. Apalagi jika sedekah yang Anda
berikan itu digunakan untuk proyek dakwah yang pahalanya lebih permanen.
Seperti untuk pendidikan Islam, penyebaran ilmu, pembangunan masjid, dan tempat
ibadah, dll. Pahala yang sampai kepada mayit akan lebih permanen dan lebih
lama.
Daripada sedekah itu diwujudkan dalam bentuk nasi dan makanan,
dan itupun merata ke semua tetangga. Padahal, umumnya acara tahlilan, sedekahnya
dalam bentuk nasi dan makanan. Tragisnya, ketika yang menerima ‘bingkisan
sedekah’ atas nama jenazah itu adalah orangn kaya, ternyata makanan itu
diberikan ke ayamnya atau dijemur untuk dijadikan nasi aking. Ya, bisa jadi,
kira-kira begitu nasib sedekah Anda yang sebarkan melalui acara tahlilan.
Dalil tegas yang mengharamkan
peringatan kematian
Dari sahabat Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu,
beliau mengatakan,
«كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ
الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ»
“Kami menilai berkumpulnya banyak orang di rumah keluarga mayit,
dan membuatkan makanan (untuk peserta tahlilan), setelah jenazah dimakamkan
adalah bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (HR. Ahmad 6905
dan Ibn Majah 1612)
Pernyataan ini disampaikan oleh sahabat Jarir, menceritakan
keadaan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
mereka (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat)
sepakat, acara kumpul dan makan-makan di rumah duka setelah pemakanan termasuk
meratapi mayat. Artinya, mereka sepakat untuk menyatakan haramnya praktik
tersebut. Karena, niyahah (meratap) termasuk hal yang
dilarang.
Tahlilan menurut Madzhab Syafi’i
Lebih dari itu, ternyata ulama Madzhab Syafi’i dan bahkan dari
semua madzhab melarang dan membenci acara kumpul-kumpul dalam rangka memperingati
hari kematian.
Berikut ini kutipan dari kitab Hasyiyah I’anah al
Thalibin, suatu buku yang terkenal dalam kalangan NU untuk belajar fikih
Syafi’i pada level menengah atau lanjutan.
ويكره لاهل الميت الجلوس للتعزية،
وصنع طعام يجمعون الناس عليه،
Makruh hukumnya keluarga dari yang meninggal dunia duduk untuk
menerima orang yang hendak menyampaikan belasungkawa. Demikian pula makruh
hukumnya keluarga mayit membuat makanan lalu manusia berkumpul untuk menikmatinya.
Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jarir
bin Abdillah al Bajali –seorang sahabat Nabi-, “Kami menilai berkumpulnya
banyak orang di rumah keluarga mayit, demikian pula aktivitas keluarga mayit
membuatkan makanan setelah jenazah dimakamkan adalah bagian dari niyahah atau
meratapi jenazah”.
ويستحب لجيران أهل الميت – ولو
أجانب – ومعارفهم – وإن لم يكونوا جيرانا – وأقاربه الاباعد – وإن كانوا بغير بلد
الميت – أن يصنعوا لاهله طعاما يكفيهم يوما وليلة، وأن يلحوا عليهم في الاكل
Dianjurkan bagi para tetangga-meski bukan mahram dengan jenazah,
kawan dari keluarga mayit –meski bukan berstatus sebagai tetangga-dan kerabat
jauh dari mayit –meskipun mereka berdomisili di lain daerah- untuk membuatkan
makanan yang mencukupi bagi keluarga mayit selama sehari-semalam semenjak
meninggalnya mayit. Hendaknya keluarga mayit agak dipaksa untuk mau menikmati
makanan yang telah dibuatkan untuk mereka.
ويحرم صنعه للنائحة، لانه إعانة
على معصية
Haram hukumnya menyediakan makanan untuk wanita yang meratapi
mayit karena tindakan ini merupakan dukungan terhadap kemaksiatan
Aku- yaitu penulis kitab Hasyiyah I’anah al Thalibin-
telah membaca sebuah pertanyaan yang diajukan kepada para mufti di Mekah
mengenai makanan yang dibuat oleh keluarga mayit dan jawaban mereka untuk
pertanyaan tersebut.
Berikut ini teks pertanyaan dan jawabannya.
ما قول المفاتي الكرام بالبلد
الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص
أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم
ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم
أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة.
Pertanyaan, “Apa yang dikatakan oleh para mufti yang mulia di
tanah haram –semoga ilmu mereka bermanfaat untuk banyak orang sepanjang zaman–
tentang tradisi yang ada di suatu daerah. Tradisi ini hanya dilakukan oleh
beberapa orang di daerah tersebut. Tradisi tersebut adalah jika ada seorang
yang meninggal dunia lantas datanglah kawan-kawan mayit dan tetangganya untuk
menyampaikan belasungkawa, maka para kawan mayit dan tetangga ini
menunggu-nunggu adanya makanan yang disuguhkan. Karena sangat malu, maka
keluarga mayit sangat memaksakan diri untuk menyiapkan beragam jenis makanan
lalu menyuguhkannya kepada para tamu meski dalam kondisi yang sangat kerepotan.
فهل لو أراد رئيس الحكام – بما له
من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي – بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى
التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث
قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟ أفيدوا بالجواب بما هو
منقول ومسطور.
Seandainya penguasa di daerah tersebut –karena belas kasihan
dengan rakyat dan sayang dengan keluarga mayit– melarang keras perbuatan di
atas agar rakyatnya kembali berpegang teguh dengan sunah sebaik-baik makhluk
yang pernah bersabda,
“Buatkan makanan untuk
keluarga Ja’far”. Apakah penguasa tersebut akan mendapatkan pahala
karena melarang kebiasaan di atas? Berilah kami jawaban secara tertulis”.
Jawaban: “Segala puji hanyalah milik Allah. Semoga Allah
senantiasa menyanjung junjungan kita, Muhammad, keluarga, sahabat dan semua
orang yang meniti jalan mereka. Aku meminta petunjuk untuk memberikan jawaban
yang benar kepada Allah.
نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع
عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت
الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.
Betul, acara kumpul-kumpul di rumah duka dan kegiatan membuat
makanan yang dilakukan oleh banyak orang adalah salah satu bentuk bid’ah yang
munkh. Sehingga penguasa yang melarang kebiasaan tersebut akan mendapatkan
pahala karenanya. Semoga Allah meneguhkan kaidah-kaidah agama dan menguatkan
Islam dan muslimin dengan sebab beliau.
قال العلامة أحمد بن حجر في (تحفة
المحتاج لشرح المنهاج): ويسن لجيران أهله – أي الميت – تهيئة طعام يشبعهم يومهم
وليلتهم،
Al-’Allamah Ahmad bin Hajar dalam Tuhfah al Muhtaj li
Syarh al Minhaj mengatakan, “Dianjurkan bagi para tetangga keluarga
mayit untuk menyiapkan makanan yang cukup untuk mengenyangkan keluarga mayit
selama sehari dan semalam
Dalilnya adalah sebuah hadits yang sahih, “Buatkan makanan untuk
keluarga Ja’far karena telah datang kepada mereka duka yang menyibukkan mereka
–dari menyiapkan makanan–”
ويلح عليهم في الاكل ندبا، لانهم
قد يتركونه حياء، أو لفرط جزع.
Dianjurkan hukumnya keluarga mayit untuk agak dipaksa untuk mau
menikmati makanan yang telah disiapkan kepada mereka karena boleh jadi mereka
tidak mau makan karena malu atau sangat sedih.
ويحرم تهيئه للنائحات لانه إعانة
على معصية،
Haram hukumnya menyediakan makanan untuk wanita yang meratapi
mayit karena tindakan ini merupakan dukungan terhadap kemaksiatan
وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما
ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك،
Kebiasaan sebagian orang seperti keluarga mayit membuat makanan
lalu mengundang para tetangga untuk menikmatinya adalah bid’ah makruh. Demikian
pula mendatangi undangan tersebut termasuk bid’ah makruh.
لما صح عن جرير رضي الله عنه: كنا
نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة.
Dalilnya adalah sebuah riwayat yang sahih dari Jarir, “Kami
menilai berkumpulnya banyak orang di rumah keluarga mayit, demikian pula
aktivitas keluarga mayit membuatkan makanan setelah jenazah dimakamkan adalah
bagian dari niyahah atau meratapi jenazah”.
ووجه عده من النياحة ما فيه من
شدة الاهتمام بأمر الحزن.
Alasan logika yang menunjukkan bahwa hal tersebut termasuk niyahah adalah
karena perbuatan tersebut menunjukkan perhatian ekstra terhadap hal yang
menyedihkan
ومن ثم كره اجتماع أهل الميت
ليقصدوا بالعزاء، بل ينبغي أن ينصرفوا في حوائجهم، فمن صادفهم عزاهم.اه.
Oeh karena itu, makruh hukumnya keluarga mayit berkumpul supaya
orang-orang datang menyampaikan bela sungkawa. Sepatutnya keluarga mayit sibuk
dengan keperluan mereka masing-masing lantas siapa saja yang kebetulan bertemu
dengan mereka menyampaikan bela sungkawa. Sekian penjelasan dari penulisTuhfah
al Muhtaj.
في حاشية العلامة الجمل على شرح
المنهج: ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشة والجمع
والاربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو يترتب
عليه ضرر، أو نحو ذلك.اه.
Dalam Hasyiyah al Jamal untuk kitab Syarh
al Manhaj disebutkan, “Termasuk bid’ah munkarah dan makruhah adalah
perbuatan banyak orang yang mengungkapkan rasa sedih lalu mengumpulkan banyak
orang pada hari ke-40 kematian mayit. Bahkan semua itu hukumnya haram jika
acara tersebut dibiayai menggunakan harta anak yatim atau mayit meninggal dunia
dalam keadaan meninggalkan hutang atau menimbulkan keburukan dan semisalnya.”
Sekian dari Hasyiyah al Jamal.
قد قال رسول الله (صلى الله عليه
و سلم ) لبلال بن الحرث رضي الله عنه: يا بلال من أحيا سنة من سنتي قد أميتت من
بعدي، كان له من الاجر مثل من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئا.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
kepada Bilal bin al Harts, “Wahai Bilal, siapa saja yang menghidupkan salah
satu sunahku yang telah mati sepeninggalku maka baginya pahala semisal dengan
pahala semua orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi sedikitpun pahala
mereka.
ومن ابتدع بدعة ضلالة لا يرضاها
الله ورسوله، كان عليه مثل من عمل بها، لا ينقص من أوزارهم شيئا.
Sebaliknya siapa saja yang membuat bid’ah yang sesat yang tidak
diridhai oleh Allah dan rasul-Nya maka dia akan menanggung dosa semisal dosa
semua orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun”.
وقال (صلى الله عليه و سلم ): إن
هذا الخير خزائن، لتلك الخزائن مفاتيح، فطوبى لعبد جعله الله مفتاحا للخير، مغلاقا
للشر.وويل لعبد جعله الله مفتاحا للشر، مغلاقا للخير.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kebaikan itu bagaikan simpanan. Simpanan tersebut memiliki kunci. Sungguh
beruntung seorang hamba yang dijadikan oleh Allah sebagai kunci pembuka
kebaikan dan penutup kejelekan. Celakalah seorang hamba yang dijadikan oleh
Allah sebagai kunci pembuka kejelekan dan kunci penutup kebaikan”.
ولا شك أن منع الناس من هذه
البدعة المنكرة فيه إحياء للسنة، وإماته للبدعة، وفتح لكثير من أبواب الخير، وغلق
لكثير من أبواب الشر، فإن الناس يتكلفون تكلفا كثيرا، يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع
محرما. والله سبحانه وتعالى أعلم
.
Tidaklah diragukan bahwa melarang masyarakat dari bid’ah
munkarah di atas berarti menghidupkan sunah dan mematikan bid’ah, membuka
berbagai pintu kebaikan dan menutup berbagai pintu keburukan. Banyak orang yang
terlalu memaksakan diri untuk melakukan acara di atas sehingga menyebabkan
perbuatan tersebut statusnya adalah perbuatan yang haram”.
كتبه المرتجي من ربه الغفران:
أحمد بن زيني دحلان – مفتي الشافعية بمكة المحمية – غفر الله له، ولوالديه،
ومشايخه، والمسلمين.
Demikianlah fatwa tertulis yang ditulis oleh Ahmad bin Zaini
Dahan, mufti Syafi’i di Mekah. Semoga Allah mengampuninya, kedua orang tuanya,
para gurunya dan seluruh kaum muslimin.
Segala puji hanyalah milik Allah. Kepada zat yang memberi nikmat
untuk seluruh makhluk aku-mufti Hanafi-memohon taufik dan pertolongan-Nya.
نعم، يثاب والي الامر – ضاعف الله
له الاجر، وأيده بتأييده – على منعهم عن تلك الامور التي هي من البدع المستقبحة
عند الجمهور.
Betul, penguasa tersebut –semoga Allah berikan kepadanya pahala
yang berlipat ganda dan moga Allah selalu menolongnya- akan mendapatkan pahala
dengan melarang masyarakat melakukan acara tersebut yang berstatus sebagai
bid’ah yang jelek menurut mayoritas ulama.
قال في (رد المحتار تحت قول الدر
المختار) ما نصه: قال في الفتح: ويستحب لجيران أهل الميت، والاقرباء الاباعد،
تهيئة طعام لهم يشبعهم يومهم وليلتهم، لقوله (صلى الله عليه و سلم ): اصنعوا لآل
جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم.حسنه الترمذي، وصححه الحاكم.
Penulis kitab Radd al Muhtar yang merupakan
penjelasan untuk kitab Al Durr al Mukhtar mengatakan sebagai
berikut, “Dalam kitab al Fath disebutkan, dianjurkan bagi para tetangga
keluarga mayit dan kerabat jauh mayit untuk menyiapkan makanan yang cukup untuk
mengenyangkan mereka selama sehari dan semalam mengingat sabda Nabi, “Buatkan
makanan untuk keluarga Ja’far karena telah datang kepada mereka duka yang
menyibukkan mereka-dari menyiapkan makanan-”. Hadits ini dinilai hasan oleh
Tirmidzi dan dinilai sahih oleh al Hakim.
ولانه بر ومعروف،
Menyediakan makanan untuk keluarga mayit adalah kebaikan.
ويلح عليهم في الاكل، لان الحزن
يمنعهم من ذلك، فيضعفون حينئذ.
Hendaknya keluarga mayit agak dipaksa untuk menikmati makanan
yang disediakan untuk mereka karena kesedihan menghalangi mereka untuk
berselera makan sehingga mereka malas untuk makan”.
وقال أيضا: ويكره الضيافة من
الطعام من أهل الميت، لانه شرع في السرور، وهي بدعة.
Penulis Radd al Muhtar juga mengatakan, “Makruh
hukumnya bagi keluarga mayit untuk menyajikan makanan karena menyajikan makanan
itu disyaratkan ketika kondisi berbahagia. Sehingga perbuatan keluarga mayit
menyajikan makanan adalah bid’ah.
روى الامام أحمد وابن ماجه بإسناد
صحيح، عن جرير بن عبد الله، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام من
النياحة.اه.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang
sahih dari Jari bin Abdillah mengatakan, “Kami menilai berkumpulnya banyak
orang di rumah keluarga mayit, demikian pula aktivitas keluarga mayit
membuatkan makanan adalah bagian dari niyahah atau meratapi
jenazah”. Sekian penjelasan penulis kitabRadd al Muhtar-kitab fikih mazhab
Hanafi-.
وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام
في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم إلخ.
Dalam kitab Al Bazzaz disebutkan, “Makruh
hukumnya membuat makanan pada hari pertama, ketiga dan ketujuh setelah
kematian. Demikian pula, makruh hukumnya membawa makanan ke kuburan di berbagai
kesempatan dst”.
وتمامه فيه، فمن شاء فليراجع.
والله سبحانه وتعالى أعلم.
Penjelasan detailnya ada di kitab tersebut. Siapa saja yang
ingin penjelasan lengkap silahkan membaca sendiri buku tersebut. Wallahu
a’lam.
Demikianlah fatwa tertulis yang disampaikan oleh pelayan syariat
dan minhaj Islam, Abdurrahman bin Abdillah Siraj al Hanafi, mufti Mekah seraya
memuji Allah, dan mengucapkan salawat dan salam untuk rasul-Nya.
Fatwa yang sama juga disampaikan oleh mufti Maliki dan mufti
Hanbali”.
Allahu a’lam
Sumber: Hasyiyah I’anah al Thalibin karya Sayid
Bakri bin Dimyati al Mishri juz 2 hal 145-146 terbitan al Haramain Singapura.
Keterangan terakhir ini diambil dari: ustadzaris.com
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits
Komentar
Posting Komentar