Mereka Membenci Kitab
“al-Ibanah” Karya Abul Hasan al-Asy’ari?! (Bagian 2 dari 2 Tulisan)
Ditulis oleh: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
Pada edisi lalu, telah kita bahas
tentang keabsahan kitab al-Ibanah sebagai karya Imam Abul
Hasan al-Asy’ari, kedudukannya di mata ulama Sunnah, sejarah penulisannya, dan
bahwasanya kitab al-Ibanah adalah karya terakhir al-Asy’ari.
Nah, pada kesempatan kali ini, kita
akan mengulas tentang tuduhan-tuduhan dusta yang dialamatkan kepada ulama Salaf
Ashabul Hadits bahwa mereka telah memalsukan dan memanipulasi kitab al-Ibanah.
Bagaimana kebenaran tuduhan tersebut?! Ikutilah kajian berikut ini.
Benarkah Wahhabi Memanipulasi Kitab al-Ibanah?! Membongkar Kedustaan Idahram
Kitab al-Ibanah ini
memang mengundang kontroversi sejak dahulu hingga sekarang sehingga berbagai
pihak dan kalangan mengingkarinya dan ada yang meragukannya. Jadi, dapat kita
bagi mereka dalam dua bagian:
Golongan Pertama: Golongan yang
meragukan nisbah kitab al-Ibanah kepada al-Asyari, seperti
yang dikatakan oleh Abdurrahman al-Badawi, “Kami sangat meragukan tentang
keabsahan nisbah kitab al-Ibanah.”[1]
Pengingkaran seperti bukanlah perkara
baru, melainkan sudah ada sejak dahulu kala. Imam Ibnu Dirbas Rahimahullahu
Ta’ala mengatakan, “Sesungguhnya kitab al-Ibanah pernah
disodorkan kepada salah seorang tokoh Jahmiyyah yang menisbahkan diri kepada
Abul Hasan al-Asy’ari di Baitul Maqdis, lalu dia mengingkari dan menolaknya
seraya mengatakan, ‘Kami tidak pernah mendengarnya sama sekali, buku ini
bukanlah karya tulisnya.’ Ada lagi yang mencoba berpikir realistis lalu
mengatakan setelah menggerakkan jenggotnya, ‘Mungkin ini ditulis tatkala dia
masih Hasyawi.’ Saya tidak mengerti, dari ucapan siapa yang lebih mengherankan?
Apakah dari kejahilannya terhadap kitab ini padahal sangat populer dan sering
disebut oleh para ulama?! Atau dari kejahilannya tentang keadaan gurunya yang
dia nisbahkan dirinya kepadanya secara dusta.”[2]
Kami tidak memperpanjang bantahan
kepada golongan ini, karena telah kami jelaskan di muka dengan bukti-bukti
autentik tentang keabsahan nisbah kitab al-Ibanah ini kepada
Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan bahwasanya kitab tersebut termasuk buku (kitab)
terakhir beliau.
Golongan Kedua: Golongan yang
menetapkan kitab al-Ibanah sebagai karya al-Asy’ari tetapi
meragukan keaslian kitab al-Ibanah yang beredar dan tercetak
sekarang, sehingga mengatakan bahwa kitab al-Ibanah yang
tercetak sekarang sudah tidak asli lagi, terdapat manipulasi, tambahan dan
pengurangan oleh tangan-tangan yang tidak amanah, yang menurut mereka pelakunya
adalah para Salafi dan Wahhabi. Inilah yang banyak didengungkan oleh para
Asya’irah sekarang seperti Muhammad Idrus Ramli dan seorang misterius bergelar
Syaikh Idahram(!) yang telah kami nukil ucapannya di awal tulisan.
Baiklah, berikut ini kami akan
menanggapi beberapa data yang dikemukakan oleh Syaikh Idahram dalam bukunya Mereka
Memalsukan Kitab-Kitab Klasik Ulama hlm. 73–81 yang menurutnya adalah
bukti-bukti bahwa Salafi telah memalsukan kitab al-Ibanah sehingga
sudah tidak asli lagi. Insya Allah, kami akan membantahnya secara gamblang
karena itulah inti dari tulisan ini:
Syubhat
Pertama:
Pada hlm. 79, Idahram menukil ucapan gembong Jahmiyyah yaitu
Muhammad Zahid al-Kautsari. Katanya:
Al-Allamah al-Kautsari pada
muqoddimah yang disyarahnya menyatakan, naskah kitab al-Ibanah yang dicetak di
India adalah naskah yang sebagian isinya juga telah dipalsukan. Bahkan,
dicurigai, manuskrip kitab al-Ibanah adalah manuskrip yang sudah diredukasi dan
dimanipulasi isinya oleh tangan-tangan terampil yang tidak amanah…[3]
Jawaban:
Ini adalah sebuah omongan kosong tanpa bukti yang semua orang
bisa saja mengatakannya. Ada beberapa poin untuk membantahnya
1. Saya
tidak mengerti kenapa Syaikh Idahram menukil ucapan al-Kautsari di atas. Apakah
dia mengerti siapakah al-Kautsari sebenarnya?! Atau memang dia ingin mengelabui
para pembaca?!! Al-Kautsari adalah tokoh pengibar bendera Jahmiyyah pada abad
ini yang telah dibongkar kedok kesesatannya oleh para ulama Ahlus Sunnah
sekarang[4].
Al-Allamah Muhammad Bahjat al-Baithar
mengatakan dalam risalahnya al-Kautsari wa Ta’liqatuhu hlm.
26, “Kesimpulannya, orang ini (al-Kautsari) tidak dianggap akalnya, nukilannya,
ilmunya, dan agamanya. Barangsiapa yang menelaah komentar-komentarnya (terhadap
kitab-kitab ulama) niscaya dia akan membenarkan kejujuran ucapan kami.”[5]
Syaikh al-Allamah Abdul Aziz bin Baz
menyifatinya, “Al-Affak (penuduh/pendusta), al-Atsiim (banyak
dosa), al-Maftun (terkena fitnah).”[6]
Syaikh al-Albani menyifatinya, “Dia
seorang berpaham Jahmiyyah Mu’aththilah, fanatik tulen terhadap
madzhab Hanafi, pencela ahli hadits nomor wahid.”[7]
Dan tahukah Idahram serta pembaca
bahwa al-Kautsari adalah pencela para ulama[8], bahkan di antaranya adalah
Imam Syafi’i?! Al-Ghumari mengatakan, “Al-Kautsari telah mencela nasab Imam
Syafi’i yang telah disepakati, dan menganggapnya sebagai bekas budak bukan dari
Quraisy, dan mengatakan bahwa Imam Syafi’i bodoh tentang bahasa Arab dan
hadits, lemah dan jahil tentang hukum-hukum fiqih, menyelisihi ijma’ dalam
empat ratus masalah, dan masih banyak lagi celaan-celaan lainnya terhadap imam
yang mulia tersebut.”[9]
2.
Anggapan al-Kautsari yang diikuti oleh Idahram bahwa ada manipulasi pada al-Ibanah adalah
anggapan tanpa bukti yang semua orang bisa saja mengatakan seperti itu. Namun,
anggapan ini adalah tidak terbukti sama sekali berdasarkan beberapa alasan:
a.
Kitab al-Ibanah memiliki enam manuskrip yang ditemukan dan
semuanya sama dalam babnya, permasalahannya, dan lafal-lafalnya, yang semua itu
membuktikan tidak adanya manipulasi. Seandainya memang terjadi manipulasi,
tentunya akan terjadi perbedaan lafal yang menonjol dan kontroversi yang sangat
tampak. Adapun adanya perbedaan antara manuskrip, itu hanya perbedaan-perbedaan
parsial yang tidak berkaitan dengan isi kitab; seperti shalawat, ada yang
diberi shalawat ada yang tidak, ada yang diberi radhiyallahu ’anhu pada
sahabat ada yang tidak, ada yang menggunakan lafal Ta’ala setelah
Allah ada yang Azza wa Jalla, demikian seterusnya. Adapun perbedaan
yang mengubah isi dan maksud kitab, sama sekali tidak ada.
b. Setelah
kita bandingkan kitab al-Ibanah yang beredar sekarang dengan
nukilan-nukilan ulama dahulu, ternyata sama dan sesuai. Sebagai contoh,
al-Hafizh al-Baihaqi menukil sebuah pasal dari kitab al-Ibanah dalam
kitabnya al-I’tiqad hlm. 114, ternyata sesuai dengan al-Ibanahcetakan
sekarang. Demikian juga Ibnu Asakir menukil beberapa pasal dalam kitabnya Tabyin
Kadzibil Muftari hlm. 152–162 ternyata sesuai dengan al-Ibanah cetakan
sekarang. Ibnu Taimiyyah menukil beberapa pasal dalam beberapa kitabnya seperti Naqdhu
Ta‘sis hlm. 63–85,Majmu’ Fatawa 3/224–225, 5/93–98 dan
168–178, Bayanu Talbis Jahmiyyah 1/420–426, 2/12–26 dan
348–349 ternyata sesuai dengan cetakan sekarang. Ibnul Qayyim menukil dalam Tahdzib
Sunan 13/35–36, Mukhtashar Shawa’iq 2/169, dan Ijtima’ul
Juyusy hlm. 182–190 ternyata sesuai dengan cetakan sekarang. Demikian
juga adz-Dzahabi menukil dalam al-’Uluw hlm. 218 dan al-’Arsy hlm.
291–303 ternyata sesuai dengan cetakan sekarang.
c. Apa
yang disampaikan oleh al-Asy’ari dalam al-Ibanah tentang
aqidah ahli hadits kebanyakannya sesuai dan sama dengan apa yang beliau
sampaikan dalam kitab-kitab lainnya seperti Maqalat Islamiyyin dan Risalah
ila Ahli Tsaghar. Hal itu menguatkan bahwa tidak ada manipulasi pada isi
kandungan kitab-kitab tersebut.[10]
Syubhat Kedua:
Pada hlm. 80–81, Idahram mengatakan:
Selain itu, mereka juga mendapati
bahwa ternyata kitab al-Ibanah yang banyak beredar di pasaran
adalah kitab al-Ibanah yang memiliki banyak versi, alias sudah
tidak asli lagi. Di antara indikasinya adalah, pada halaaman 16 tertulis:
وأنكروا أن يكون له عينان
Mereka mengingkari Allah memiliki dua mata.
Kata عينان pada teks tersebut
berbentuk tatsniyah (dua) dan kalimatnya menunjukkan penolakan Allah punya dua
mata. Sedangkan dalam kitab al-Ibanah ’an Ushul Diyanah yang
ditahkik oleh Dr. Fauqiyah Husain Mahmoud, seorang professor di Universitas Ain
Syams Kairo, Mesir, cetakan ke-2 tahun 1987 M, pada masalah yang sama[11] di halaman 22
berbunyi:
وأن له عينين بلا كيف
Allah punya dua mata tanpa diketahui bagaimana caranya
(haikakatnya).
Kata yang digunakan juga berbentuk
tatsniyah, hanya saja berbentuk manshub inna[12] dan kalimatnya
menunjukkan tidak menolak Allah punya dua mata. Sedangkan dalam kitab al-Ibanah versi
Ibnu Asakir pada halaman 158 tertulis lagi:
وأن له عينا بلا كيف
Allah punya mata tanpa diketahui bagaimana caranya.
Kata yang digunakan berbentuk mufrod (satu mata) dan kalimatnya
menunjukkan arti Allah punya mata tanpa harus tahu kondisinya”.
Jawaban:
Ada beberapa poin untuk membantah tulisan di atas:
1.
Idahram telah melakukan manipulasi dalam tulisan di atas ketika dia mengatakan
tentang teks kedua yang menunjukkan penetapan sifat mata dengan teks pertama
yang meniadakan dianggap sebagai masalah yang sama, padahal teks pertama adalah
ketika al-Asy’ari menceritakan pendapat kaum Mu’tazilah, sedangkan teks kedua
ketika beliau menetapkan aqidah ahli hadits. Untuk mengecoh pembaca, dia
menyebutkan al-Ibanah dari tahqiq lain yaitu tahqiq Dr. Fauqiyah
Husain. Sungguh ini kelicikan dan penipuan yang luar biasa, namun Allah pasti
akan membongkar kedustaan para pendusta.
Namun, tidak perlu heran dengan tadlis (manipulasi)
ini, karena Idahram memang dikenal sebagai pembohong besar dalam
tulisan-tulisannya terutama trio bukunya Sejarah Berdarah Sekte Salafi
Wahhabi, Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Klasik Ulama, dan Ulama
Sejagad Menggugat Wahhabi.[13]
Buku pertama-misalnya-dari sampul depan hingga sampul belakang
penuh dengan kebohongan dan kedustaan. Adapun sampul depan, penulis misterius
ini menyebut dirinya dengan bertopeng Syaikh Idahram, padahal itu bukan nama sesungguhnya.
Dan telah sampai kabar kepada kami dari beberapa ikhwan di Jakarta yang
terpercaya bahwa nama sesungguhnya adalah Marhadi kebalikan dari Idahram.
Bayangkan, jika nama penulisnya saja terbalik, bagaimana dengan isinya?! Jangan
aneh jika isinya banyak terbalik dari kenyataan. Kenapa penulis ini begitu
pengecut dalam pertempuran wacana ilmiah sehingga tidak menampakkan identitas
aslinya?!
Adapun sampul akhirnya, karena
mencatut nama-nama tokoh tersohor yang memberikan rekomendasi terhadap buku ini
seperti KH Ma’ruf Amin (Ketua MUI) dan Muh. Arifin Ilham, padahal keduanya
menyatakan tidak pernah memberikan rekomendasi tersebut, baca aja belum apalagi
memberi rekomondasi?! Tentang Muh. Arifin Ilham, terdapat sebuah artikel di
internet[14] yang memuatnya.
Adapun tentang KH. Ma’ruf Amin, kami pernah menanyakan kepada kawan yang sangat
dekat dengan beliau, ternyata beliau menyatakan, “Benar, saya mendapatkan
kiriman buku itu, tapi saya belum membacanya apalagi memberi rekomendasi, dan
saya tidak ingin terlibat dalam pertikaian umat.” Jika sampul depan dan
akhirnya saja dusta, lantas bagaimana dengan isinya?! Sungguh, sangat luar
biasa kebohongannya!!
2.
Adapun perbedaan teks kedua dengan ketiga antara mutsanna dan mufrad,
maka memang benar ada perbedaan tersebut. Dari enam manuskrip kitab al-Ibanah yang
ada, satu manuskrip menggunakan lafal mufrad (tunggal) yaitu
manuskrip Darul Kutub al-Qaumiyyah di Cairo, Mesir. Adapun lima manuskrip
lainnya menggunakan lafal mutsanna (dua).
Namun, perlu diketahui bahwa
perbedaan seperti ini adalah tidak memengaruhi keabsahan sebuah kitab dan tidak
mengubah makna, karena hampir semua kitab tidak selamat dari adanya perbedaan
seperti ini, karena perbedaan manuskrip dan penyalinnya. Bahkan kitab-kitab
hadits seperti Shahih Bukhari juga tidak luput dari perbedaan
seperti ini. Andaikan seperti ini disebut pemalsuan, maka tidak ada kitab yang
sah kalau begitu.
3.
Sekalipun demikian, kami menguatkan pendapat yang menggunakan redaksi mutsanna bukan mufrad,
dengan alasan sebagai berikut:
a. Demikian yang tertulis dalam
banyak manuskrip sebagaimana berlalu penjelasannya.
b. Lafal mutsanna sesuai
dengan aqidah salaf shalih.[15]
c.
Lafal tersebut sesuai dengan apa yang tertulis di kitab-kitab al-Asy’ari
lainnya seperti Maqalat Islamiyyin[16] dan Risalah
ila Ahli Tsaghar[17].
d. Tidak ada
pertentangan antara lafal mufrad dan mutsanna,
karena mufrad tersebut maksudnya adalah jenis.[18]
Syubhat Ketiga:
Pada hlm. 74–75, dia mengatakan:
Salafi Wahabi telah mengacak-acak isi
kitab Al-Ibanah fi Ushul ad-Diyanah karya al-Imam Abu Hasan
al-Asy’ari dengan menghapus kalimat-kalimat yang tidak sejalan dengan akidah
mereka. Di antaranya adalah menghilangkan beberapa kalimat Imam al-Asy’ari
tentang istiwa’ dalam al-Ibanah versi terbitan mereka. Kalimat yang hilang itu,
di antaranya:
وأن الله تعالى استوى على العرش على
الوجه الذي قاله وبالمعنى الذي أراده استواء منزها عن المماسة والاستقرار والتمكن
والحلول والانتقال لا يحمله العرش بل العرش وحملته محمولون بلطف قدرته ومقهورون في
قبضته وهو فوق العرش وفوق كل شيء إلى تخوم الثرى فوقية لا تزيده قربا إلى العرش
والسماء بل هو رفيع الدرجات عن العرش كما أنه رفيع الدرجات عن الثرى وهو مع ذلك
قريب من كل موجود وهو أقرب إلى العبد من حبل الوريد وهو على كل شيء شهيد
“Dan sesungguhnya Allah istiwa’[19] atas arsy seperti
yang dia firmankan, dan dengan makna yang Dia inginkan. Istiwa’ yang bersih
dari arti menyentuh, menetap, bertempat, dia dan pindah. Arsy tidak membawanya,
melainkan arsy (yang dibawa). Arsy yang dibawa maksudnya tercakup dalam
kelembutan kuasaNya, serta tunduk dalam genggamannya. Dia di atas (tidak
menyentuh) arsy, bahkan di atas segala sesuatu hingga gugusan bintang tata
surya sekalipun. Di atas yang tidak membuatNya tambah dekat ke arsy dan langit,
melainkan dia sangat tinggi derajatNya dari arsy sebagaimana dia snagat tinggi
derajatnya dari tata surya, dan Dia dengan itu dengan segala yang ada. Dia
lebih dekat kepada hambaNya daripada urat lehernya dan menyaksikan segala
sesuatu”.[20]
Pembaca budiman, saksikanlah, semua
kalimat di atas raib sama sekali tanpa bekas dari dalam kitab al-Ibanah yang
diterbitkan oleh penerbit-penerbit Salafi Wahabi, sehingga terbitan mereka
sangat berbeda dengan versi aslinya.[21]
Jawaban:
Demikianlah ucapan Idahram, kami menukilnya secara lengkap
beserta catatan kakinya dari dia agar kita bisa mengetahui lebih lanjut
bantahan berikut:
1. Idahram
menukil ucapan di atas dari seorang bernama Hasan bin Ali as-Segaf. Apakah Anda
mengetahui siapa dia?! Hasan bin Ali as-Segaf adalah seorang gembong Jahmiyyah
abad sekarang, ahli bid’ah dari Yordania. Kami tidak yakin kalau Idahram
seorang Asy’ari, namun kami lebih cenderung bahwa dia adalah seorang Jahmi dan
Mu’tazili, seperti Abul Hasan al-Asy’ari pada fase awal. Berikut gambaran
secara ringkas tentangnya:[22]
a.
Orang ini ber‘aqidah Jahmiyyah tulen, mengingkari Sifat-Sifat Allah Subhanahu
wa Ta’ala dengan takwil dan ta’thil. Dia
berkata dalam bukunya at-Tandid liman ‘Addada at-Tauhid hlm.
50, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah menegaskan bahwa Allah Subhanahu wa
Ta’ala tidak boleh disifati bahwa Dia berada di luar alam maupun di
dalam alam.”
b. Sering
melecehkankan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seperti
ucapannya tentang hadits budak perempuan pada hlm. 188, “Itu adalah lafal yang
keji[23]!!!”
c.
Menghina sebagian sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seperti
Mu’awiyah bin Abu Sufyan Radhiallahu ‘Anhu, juru tulis NabiShallallahu
‘Alaihi wa Sallam.
d. Mulutnya sangat kotor, sering
melontarkan kata-kata keji terhadap para ulama seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnul
Qayyim, Muhammad bin Abdul Wahhab, Ibnu Baz, al-Albani, dan sebagainya.
e. Memuji
para tokoh ahli bid’ah, lebih-lebih gurunya yang bernama Muhammad Zahid
al-Kautsari, panglima Jahmiyyah pada zaman sekarang[24].
f.
Sering melakukan kedustaan, tadlis (penipuan), dan talbis (kerancuan).
Sungguh, telah banyak para ulama yang
membongkar kesesatan Hasan as-Seggaf ini seperti Syaikh Sulaiman al-Ulwan,
Syaikh Ali Hasan al-Halabi, Syaikh Abdul Karim al-Humaid, Syaikh Khalid
al-Anbari, Syaikh Abdurrazzaq al-Badr, Syaikh Amr Abdul Mun’im dan masih banyak
lagi lainnya.[25]
2.
Adapun penafsiran Idahram dalam catatan kaki bahwa di antara makna istawa adalah istaula (menguasai),
maka ini adalah penafsiran yang batil dari beberapa segi, di antaranya:
a.
Penafsiran ini tidak dinukil dari kalangan salaf, baik dari kalangan sahabat
maupun tabi’in. Tidak seorang pun dari mereka yang menafsirkan seperti
penafsiran ini, bahkan orang yang pertama kali menafsirkan istawa dengan istaula adalah
sebagian kaum Jahmiyyah dan Mu’tazilah sebagaimana diceritakan oleh Abul Hasan
al-Asy’ari dalam bukunya al-Ibanah.[26]
b.
Sesungguhnya menafsirkan kitab Allah dengan penafsiran yang baru dalam
menyelisihi penafsiran as-salaf ash-shalih, mengandung dua perkara,
yaitu: entah dia yang salah atau kaum as-salaf ash-shalih yang
salah. Seorang yang berakal sehat tidak akan ragu bahwa penafsiran baru yang
menyelisihi as-salaf ash-shalih ini yang pasti salah.
c.
Tidak ada dalam bahasa Arab, kata istawa berarti istaula,
bahkan hal ini diingkari oleh pakar bahasa seperti Imam Ibnu A’rabi.[27]
d. Asal
sebuah kalam (ucapan) harus dibawa kepada makna hakikatnya, tidak boleh
dipalingkan kecuali dengan dalil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullahu
Ta’ala berkata, “Kaidah asal suatu ungkapan adalah secara hakikatnya.
Hal ini telah disepakati oleh seluruh manusia dari berbagai bahasa, karena
tujuan bahasa tidak sempurna kecuali dengan hal itu.”[28]
3.
Tambahan di atas yang dibawakan oleh pengibar bendera Jahmiyyah abad ini Hasan
as-Segaf adalah tambahan yang bukan asli ucapan al-Asy’ari dalam kitab al-Ibanah[29] dengan beberapa
argumen sebagai berikut:
a.
Tambahan ini tidak ada dalam semua manuskrip asli kitab al-Ibanah yang
berjumlah enam, kecuali hanya satu manuskrip saja di Iskandariyyah. Dan menurut
penelitian, ternyata manuskrip ini tidak diketahui penulisnya dan tanggal
penyalinannya.
b. Biasanya kalau ada perbedaan dalam
menyalin manuskrip itu tidak lebih dari beberapa kalimat atau maksimal satu
lembar, bukan beberapa lembar seperti tambahan ini yang tidak ada dalam seluruh
manuskrip lainnya dan tidak ada dalam cetakan lainnya seperti cetakan India dan
Lebanon.
c. Para
ulama yang menukil ungkapan al-Asy’ari dalam masalah ini tidak menampilkan
tambahan tersebut, padahal al-Ibanah saat itu disalin oleh
seorang ulama terpercaya yaitu Imam Nawawi.[30] Di antara ulama yang
menukil adalah Ibnu Asakir dalam Tabyin hlm. 128, Ibnu
Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa 5/142, Dar‘u Ta’arudhil
Aql 7/104, Bayanu Talbis Jahmiyyah 3/313, Ibnu Qayyim
dalam Ijtima’ Juyusy hlm. 169, adz-Dzahabi dalam al-’Uluw 2/1240
dan Kitab al-Arsy 2/291, Ibnul Imad dalam Syadzarat Dzahab 2/304,
Abdul Baqi dalam al-’Ain wal Atsar hlm. 111, Hamd bin Nashir
dalam Tuhfah Madaniyyah hlm. 129, asy-Syinqithi dalam Adhwa‘ul
Bayan 7/281. Perhatikanlah delapan ulama tersebut menukil dari al-Ibanah tanpa
adanya tambahan tersebut, apakah mereka berpedoman pada manuskrip yang salah
semua?!!
d. Dalam
kitab lainnya seperti Maqalat Islamiyyin 1/168 dan 290,
al-Asy’ari juga menyampaikan masalah istiwa‘ yang sama tanpa
adanya tambahan tersebut dalam cetakan yang ada mana pun.
e. Lafal
tersebut adalah lafal Abu Hamid al-Ghazali dalam tiga kitabnya yaitu Ihya‘
Ulumuddin 1/90, al-Arba’in fi Ushuliddin hlm. 7-8, Qawa’idul
Aqa‘id hlm. 52. Dan ucapan al-Ghazali ini dinukil dengan menisbatkan
padanya oleh sejumlah ulama seperti Ibnu Asakir dalam Tabyin hlm.
300, Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa 5/503 dan as-Subki
dalam Thabaqat Syafi’iyyah 6/231. Seandainya ungkapan tersebut
adalah ungkapan al-Asy’ari maka mereka akan bersemangat menisbahkannya kepada
al-Asy’ari bukan kepada al-Ghazali, bahkan Ibnu Asakir sendiri-yang menukil
ucapan Abul Hasan al-Asy’ari dari al-Ibanah-menisbahkan ucapan ini
kepada al-Ghazali bukan kepada al-Asy’ari.
f.
Ungkapan tersebut jika dicermati justru meniadakan ketinggian Allah yang
diimani oleh al-Asy’ari. Oleh karenanya, Ibnu Taimiyyah setelah menukil ucapan
ini dari al-Ghazali, beliau menghukuminya termasuk orang yang mengingkari
ketinggian Allah di atas Arsy[31]. Maka menisbahkan ucapan
ini kepada al-Asy’ari merupakan kezaliman terhadap beliau.[32]
Dengan demikian, jelaslah bagi kita
bahwa tambahan tersebut bukanlah ucapan al-Asy’ari, melainkan itu adalah ucapan
al-Ghazali yang dicantumkan sebagian penyalin kitab al-Ibanah pada
satu manuskrip yang ada.
Syubhat Keempat:
Pada hlm. 81, Idahram mengatakan:
Selain pemalsuan pada tema tersebut, contoh pemalsuan lain dari
kitab al-Ibanah yang dapat dijumpai adalah penghapusan hadits-hadits Nabi Saw
tentang keistimewaan Sayyidina Ali dan kasus kekhalifahannya.
Jawaban:
Ada beberapa poin untuk menjawab tuduhan ini:
1. Kami
menuntut kepada Idahram untuk membuktikan tuduhannya tersebut. Apakah memang
dia melihat manuskrip asli kitab al-Ibanahyang memuat hadits-hadits
tentang keutamaan Ali Radhiallahu ‘Anhu?! Dari mana dia berani
mengatakan demikian?! Apakah berdasarkan bukti ataukah sekadar bualan yang
menjadi kebiasaannya?!
2.
Kalau seandainya memang ada pembuangan pada hadits-hadits keutamaan Ali Radhiallahu
‘Anhu karena kebencian kepada AliRadhiallahu ‘Anhu seperti
dugaan Idahram, niscaya akan dibuang juga lafal-lafal yang menunjukkan
keutamaan Ali Radhiallahu ‘Anhu, seperti ucapan al-Asya’ari, “Kami
berkeyakinan bahwa para khalifah empat adalah para khalifah yang cerdas dan mendapatkan
petunjuk, tidak ada selain mereka yang bisa menandingi keutamaan mereka.”[33] Juga ucapan al-Asy’ari,
“Kekhalifahan Ali Radhiallahu ‘Anhu telah ditetapkan setelah
Utsman Radhiallahu ‘Anhu dengan kesepakatan para sahabat Radhiallahu
‘Anhum. Dan telah disepakati tentang keutamaan beliau dan keadilannya.”[34]
3. Ada
sesuatu yang membuat hati bertanya-tanya, mengapa dia mengkhususkan hal itu
pada Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu. Apakah ini adalah adalah
salah tanda-tanda bau Syi’ah dia yang telah dicium oleh para peneliti
buku-bukunya. Ya, itu bukanlah hal yang mustahil, karena buku-bukunya banyak
ditunggangi oleh pemikiran Syi’ah, sebagaimana disingkap oleh para peneliti
buku-bukunya.
Akhuna al-Ustadz Firanda Abu Abdil Muhsin—semoga Allah
menjaganya—menjelaskan bahwa aroma Syi’ah sangat mencolok dalam buku Idahram
dengan beberapa bukti:
1) Idahram
mengatakan bahwa dalam dunia Islam ada tujuh madzhab yang dikenal, yaitu madzhab
Hanafi, Maliki, asy-Syafi’I, Hanbali, Zhahiri, Ja’fari, dan Imamiyah.[35] Dan dua kelompok
terakhir adalah Syi’ah.
2) Idahram banyak menukil dari buku-buku
sejarawan Syi’ah.
3) Kedustaan
yang banyak dilakukannya, sebagaiamana kebiasaan Syi’ah yang gemar berdusta
(taqiyyah).[36]
Peneliti buku Idahram lainnya, yaitu
A.M. Waskito, berpendapat sama, dia mengemukakan enam bukti tentang kesyi’ahan
Syaikh Idahram, seperti menyebut Najaf dengan kata Najaf al-Asyrof—sebutan yang
hanya dikenal dari Syi’ah, sering mengutip referensi Syi’ah, berpendapat Ali Radhiallahu
‘Anhu lebih utama daripada Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu,
sering berlaku curang, kebenciannya yang mendalam terhadap Ahlus Sunnah.[37]
Peneliti lainnya lagi adalah Ust.
Agus Hasan Bashori dalam makalahnya berjudul “Waspada! Buku ‘Sejarah Berdarah
Sekte Salafi Wahabi’ Mengusung Faham Rafidhah (Syi’ah Iran)”.[38]
Mengapa Mereka Membenci al-Ibanah?!
Setelah Anda mengetahui tentang
keabsahan kitab al-Ibanah kepada Imam Abul Hasan al-Asy’ari
dan keasliannya tanpa manipulasi, sekarang di penutup ini kami mengajak Anda
untuk berpikir jernih, mengapa Asya’irah begitu berusaha mendustakan atau
meragukan kitab al-Ibanahini? Jawabannya tidak lain dan tidak bukan
adalah karena kitab ini sangat berseberangan dengan keyakinan Asya’irah
sendiri, bahkan menampar mereka, sehingga boleh dikata bahwa dalam kitab al-Ibanah ini,
Imam al-Asy’ari menggugat Asya’irah.
Syaikh Abu Zahrah telah mempelajari manhaj Abul Hasan al-Asy’ari
lalu menyimpulkannya dalam beberapa poin berikut:
1) Al-Asy’ari berpendapat untuk
mengimani seluruh apa yang terdapat dalam al-Qur‘an dan Sunnah dalam
masalah-masalah aqidah, dan berhujjah dengan segala cara yang memuaskan untuk
mendukung hal itu.
2) Beliau
menerima nash-nash dalam ayat-ayat yang dianggap tasybih tanpa
terjatuh dalam tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk),
dia meyakini Allah punya wajah tetapi tidak seperti wajah hamba, demikian juga
Allah punya tangan tetapi tidak sama seperti tangan makhluk.
3) Beliau berhujjah dengan hadits-hadits
ahad dalam masalah aqidah untuk penetapannya. Beliau menegaskan untuk meyakini
beberapa masalah aqidah yang ditetapkan dengan hadits ahad.
4) Beliau
membantah seluruh ahli hawa nafsu dan Mu’tazilah dan berusaha untuk tidak
tergelincir dalam penyimpangan.[39]
Sekadar sebagai contoh kebencian
mereka terhadap al-Ibanah karena bertolak belakang dengan
aqidah mereka yang rusak adalah ucapan Idahram sebagai berikut:
Pada halaman. 127, dalam buku itu bahkan Imam al-Asy’ari
mengatakan sebuah kesimpulan yang mengejutkan, yang berbunyi:
وهذا يدل على أن الله عز وجل على
عرشه فوق السماء
Ini menunjukkan bahwa Allah ada di
arsy di atas langit.[40]
Para pembaca budiman, mungkinkah Imam
Abul Hasan al-Asyari mengatakan kalimat seperti ini? Padahal, Imam Asy’ari
sangat membenci kalimat-kalimat tasybih seperti ini dalam buku-bukunya. Imam
Asy’ari-lah yang bahkan menjadi musuh utama faham tasybih dan tajsim yang
diusung Salafi Wahhabi. Apalagi, isi kitab al-Ibanah cetakan Salafi Wahabi ini
telah terbukti berbeda dari versi manuskrip aslinya.[41]
Lihatlah, Idahram ingin agar Abul
Hasan al-Asy’ari mengikuti aqidah Jahmiyyah dan Asya’irah belakangan yang
mengatakan bahwa Allah di mana-mana, karena Imam Abul Hasan al-Asya’ri dalam
kitabnya al-Ibanah (hlm. 405–423) telah memaparkan secara
panjang lebar dalil-dalil tentang istiwa‘ dan ketinggian Allah
di atas langit-Nya serta membantah orang-orang yang menyimpang dalam masalah
ini[42]. Di antara ucapannya:
وَزَعَمَتِ الْمُعْتَزِلَةُ وَالْحَرُوْرِيَّةُ وَالْجَهْمِيَّةُ
أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ, فَلَزِمَهُمْ أَنَّهُ فِيْ بَطْنِ
مَرْيَمَ وَفِيْ الْحُشُوْشِ وَالأَخْلِيَةِ, وَهَذَا خِلاَفُ الدِّيْنِ, تَعَالَى
اللهُ عَنْ قَوْلِهِمْ
“Dan kaum Mu’tazilah, Haruriyyah, dan
Jahmiyyah beranggapan bahwa Allah berada di setiap tempat. Hal ini melazimkan
mereka bahwa Allah berada di perut Maryam, tempat sampah, dan WC. Paham ini
menyelisihi agama. Maha Suci Allah dari ucapan mereka.”[43]
Setelah ini, lantas pantaskah bagi
Idahram untuk menisbahkan diri kepada al-Asy’ari?!! Semoga Allah merahmati
al-Hafizh Abul Abbas ath-Tharqi tatkala berkata, “Saya melihat kaum Jahmiyyah
yang meniadakan Arsy dan menakwilkan istiwa‘, mereka menisbahkan
diri kepada Abul Hasan al-Asy’ari. Ini bukanlah awal kebathilan dan kedustaan
yang mereka lakukan. Saya telah mebaca dalam kitabnya yang berjudul al-Ibanah
’an Ushul Diyanah dalil-dalil yang menetapkan istiwa‘.”[44]
Adapun tuduhan Idahram bahwa aqidah
yang meyakini bahwa Allah di atas Arsy adalah tasybih dan tajsim,
maka ini adalah kedustaan, sebabas-salaf ash-shalih tatkala
menetapkan sifat-sifat Allah, dalam waktu yang sama mereka tidak
menyerupakannya dengan makhluk. Namun, demikianlah ciri khas ahli bid’ah
sepanjang zaman sejak dahulu hingga sekarang, mereka mengecap Ahli Sunnah
sebagai Musyabbihah karena menetapkan sifat-sifat Allah berdasarkan dalil.
Semoga Allah merahmati Imam Abu Hatim ar-Razi yang telah
mengatakan:
وَعَلاَمَةُ أَهْلِ الْبِدَعِ : الْوَقِيْعَةُ فِيْ أَهْلِ
الأَثَرِ وَعَلاَمَةُ الْجَهْمِيَّةِ أَنْ يَسُمُّوْا أَهْلَ السُّنَّةِ
مُشَبِّهَةً
“Tanda ahli bid’ah adalah mencela
ahli atsar. Dan tanda Jahmiyyah adalah menggelari Ahli Sunnah dengan
Musyabbihah.”[45]
Ishaq bin Rahawaih juga mengatakan:
عَلاَمَةُ جَهْمٍ وَأَصْحَابِهِ دَعْوَاهُمْ عَلَى أَهْلِ
السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ مَا أُوْلِعُوْا مِنَ الْكَذِبِ أَنَّهُمْ مُشَبِّهَةٌ
بَلْ هُمُ الْمُعَطِّلَةُ
“Tanda Jahm dan pengikutnya adalah
menuduh ahli sunnah dengan penuh kebohongan dengan gelar Musyabbihah padahal
merekalah sebenarnya Mu’atthilah (meniadakan/mengingkari sifat bagi Allah).”[46]
Imam Nu’aim bin Hammad Rahimahullahu
Ta’ala berkata, “Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya maka dia telah kufur, barangsiapa mengingkari sifat Allah maka dia
telah kufur, dan tidaklah penetapan apa yang Allah sifatkan pada diri-Nya atau
yang disifatkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam disebut tasybih (menyerupakan
Allah dengan makhluk).”
Imam adz-Dzahabi Rahimahullahu
Ta’ala mengomentari ucapan di atas, “Ucapan ini benar sekali. Kita
berlindung kepada Allah dari tasybihdan mengingkari sifat-sifat
Allah.”[47]
Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr Rahimahullahu
Ta’ala berkata, “Seluruh Ahlus Sunnah telah bersepakat untuk
menetapkan sifat-sifat yang terdapat dalam al-Qur‘an dan as-Sunnah serta
mengartikannya secara lahirnya, tetapi mereka tidak menggambarkan bagaimana
(bentuk)nya sifat-sifat tersebut. Adapun Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan Khawarij
mereka mengingkari sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
tidak mengartikannya secara lahirnya. Lucunya, mereka menyangka bahwa orang
yang menetapkannya termasuk Musyabbih (kaum yang menyerupakan Allah dengan
makhluk.”[48]
Sesungguhnya aqidah yang meyakini
bahwa Allah di atas Arsy telah ditetapkan dalil-dalil yang banyak sekali dalam
al-Qur‘an[49], hadits, ijma’, fitrah,
dan akal; tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang sesat.[50] Akankah para ulama
semuanya yang bersepakat tersebut memiliki aqidah tasybih seperti
anggapan Idahram?!!
Penutup dan Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat kita tarik beberapa poin
kesimpulan sebagai berikut:
1.
Kitab al-Ibanah ’an Ushul Diyanah adalah benar-benar karya
Imam Abul Hasan al-Asy’ari.
2.
Kitab al-Ibanah termasuk karya terakhir al-Asy’ari.
3. Imam al-Asy’ari telah berlepas
dari paham Mu’tazilah, Kullabiyyah, dan mengikuti jejak Ashabul Hadits, Ahlus
Sunnah wal Jama’ah, Salaf Shalih dalam aqidah.
4.
Tuduhan bahwa al-Ibanah yang yang beredar sekarang telah
diacak-acak adalah tuduhan yang dusta.
5.
Kitab al-Ibanah tidak disukai oleh Asya’irah karena tidak
sesuai dengan paham mereka bahkan bertentangan dengan paham mereka.
Demikianlah kajian yang dapat kami
ketengahkan kepada pembaca. Akhirnya, kami berdo’a kepada Allah agar merahmati
Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan sebagaimana kami berdo’a juga kepada Allah agar
melapangkan hati kita semua untuk menerima kebenaran. Amin ya Rabbal
’Alamin.
Daftar Referensi Induk
1. Al-Ibanah ’an Ushul Diyanah
karya Imam Abul Hasan al-Asy’ari, tahqiq Dr. Shalih bin Muqbil al-Ushaimi,
Darul Fadhilah, KSA, cet. pertama, 1432 H.
2. Risalah ila Ahli Tsaghar karya
Imam Abul Hasan al-Asy’ari, tahqiq Abdullah Syakir Muhammad al-Junaidi,
Maktabah al-Ulum wal Hikam, KSA, cet. kedua, 1422 H.
3. Maqalat Islamiyyin karya Imam
Abul Hasan al-Asy’ari, tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, al-Maktabah
al-Ashriyyah, Beirut, cet. pertama, 1419 H.
4. Al-Asya’irah fi Mizani Ahli Sunnah
karya Faishal bin Qazar al-Jasim, al-Mabarrah al-Khairiyyah, Kuwait, cet.
pertama 1428 H.
5. Muqaddimah ’ala al-Ibanah oleh
Syaikh Hammad al-Anshari, tergabung dalam Rasa‘il fil Aqidah, Maktabah
al-Furqan, Emirat Arab, cet. pertama, 1424 H.
6. Madzhab Al-Asy’ari Benarkah
Ahlussunnah wal Jama’ah? Jawaban Terhadap Aliran Salafi. Muhammad Idrus Ramli,
Penerbit Khalista, Surabaya, cet. pertama, April 2009.
7. Mereka Memalsukan Kitab-Kitab
Karya Ulama Klasik. Episode Kebohongan Publik Sekte Salafi Wahabi. Syaikh
Idahram, Percetakan PT LKIS Printing Cemerlang, Yogyakarta, cet. pertama, 2011.
[1]
Lihat bukunya Madzahib Islamiyyin hlm. 533.
[2] Risalah adz-Dzabb ’an
Abil Hasan al-Asy’ari hlm. 131
[3]
Imam Ibnu Asakir, Tabyin Kidzbi al-Muftari, al-Maktabah
al-Azhariyyah li Turots, Cairo, Mesir, h. Mukaddimah. — [Ini adalah catatan
kaki yang ditulis oleh Idahram]
[4] Di
antaranya adalah al-Hafizh Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimi dalam kitabnya at-Tankil
Bima fi Ta’nibil Kautsari minal Abathil, Muhammad Bahjat al-Baithar dalam al-Kautsari
wa Ta’liqatuhu, Ahmad bin Shiddiq al-Ghumari dalam Talbis Kadzibil
Muftari Muhammad Zahid al-Kautsari, Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitabnya Bara‘ah
Ahli Sunnah minal Waqi’ah fi Ulama‘il Ummah, dan sebagainya.
[5]
Dinukil dari Bara‘ah Ahli Sunnah minal Waqi’ah fi Ulama‘il Ummah (ar-Rudud
hlm. 274) oleh Bakr Abu Zaid.
[6]
Kata pengantar buku Bara‘ah Ahli Sunnah karya Syaikh Bakr Abu
Zaid
[7]
Muqaddimah Syarh ath-Thahawiyyah hlm. 45 oleh Ibnu Abil Izzi
al-Hanafi, cet. Maktab Islami
[8]
Syaikh al-Albani Rahimahullahu Ta’ala mengatakan dalam
muqaddimah tahqiq at-Tankil, “Kitab at-Tankil… karya
al-Allamah al-Muhaqqiq Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimi yang berisi
penjelasan dengan argumen dan bukti yang valid dalam membongkar kedok dan
penghinaan Ustadz al-Kautsari terhadap para imam dan perawi hadits, seperti
tuduhannya bahwa para ulama adalah kelompok Mujassimah dan Musyabbihah,
serangannya terhadap para ulama dengan hawa nafsu dan fanatik buta, sehingga
merembet hingga mencela sebagian sahabat, yaitu tatkala dia menyatakan bahwa
Abu Hanifah membenci hadits-hadits mereka(!) dan qiyas (analogi)nya lebih utama
daripada perkataan Sahabat. Belum lagi cercaan-cercaannya terhadap keutamaan
dan ilmu para imam besar seperti omongannya bahwa nasab Imam Malik bukan Arab
tetapi bekas budak(!); Imam Syafi’i tidak fasih berbahasa Arab dan tidak pintar
fiqih(!); Imam Ahmad tidak faqih(!); Abdullah putra Imam Ahmad, Ibnu Khuzaimah,
Utsman ad-Darimi, Ibnu Abi Hatim, dan para imam lainnya adalah Mujassimah!;
Imam Daraquthni buta, sesat dalam aqidah, dan pengekor hawa nafsu(!); Imam
al-Hakim seorang Syi’ah dan hafalannya rusak parah(!). Demikianlah, sehingga
hampir tak satu pun ulama selamat dari kejahatan lidahnya, bahkan seperti
al-Humaidi, Shalih bin Muhammad al-Hafizh, Abu Zur’ah ar-Razi, Ibnu Adi, Ibnu
Abu Dawud, adz-Dzahabi, dan sebagainya…”
[9] Talbis Kadzibil Muftari hlm.
66
[10] Dinukil dari
kitab al-Asya’irah fi Mizani Ahli Sunnah hlm. 689–691 oleh
Faishal bin Qazar al-Jasim dengan beberapa tambahan.
[11] Perhatikanlah
kalimat yang kami pertebal, dia menganggapnya pada masalah yang sama, padahal
berbeda; pada kalimat sebelumnya adalah ketika al-Asy’ari menceritakan pendapat
kaum Mu’tazilah dan Qadariyyah yang mengingkari sifat mata bagi Allah,
sedangkan yang kedua ini adalah pendapat ahli hadits yang menetapkan sifat mata
bagi Allah tanpa membagaimanakan tangan Allah atau menyerupakannya dengan
tangan makhluk. Subhanallah, alangkah liciknya mereka dalam
berdusta.
[12] Ini juga
termasuk tadlis (penipuan) Idahram kepada pembaca yang belum
mengerti bahasa Arab sehingga menggambarkan adanya pertentangan dan perbedaan
dengan sebelumnya, padahal teksnya berbeda, pada yang pertama kata ‘ainani marfu’
karena sebagai isim kana, sedangkan di sini manshub karena sebagai isim
inna.
[13] Alhamdulillah,
telah banyak para penulis yang membongkar aurat buku ini, di antaranya adalah:
al-Ustadz Firanda Abu Abdil Muhsin dalam bukunya “Sejarah Berdarah Sekte
Syi’ah”, AM. Waskito dalam bukunya “Bersikap Adil Terhadap Wahabi”,
dan Sofyan Cholid dalam bukunya “Salafy Antara Tuduhan dan Kenyataan”.
Belum lagi artikel-artikel para ustadz lainnya di internet. Oleh karenanya,
saya kira bantahan-bantahan tersebut sudah cukup bagi orang yang berakal.
[14]
http://arrahmah.com/read/2011/12/08/16720-kebohongan-syaikh-idahram-atas-nama-arifin-ilham.html
[15] Lihat ar-Raddu
’ala al-Marisi 1/327 oleh ad-Darimi, at-Tauhid hlm.
42 oleh Ibnu Khuzaimah.
[16] 1/285, 290,
345, 271
[17] Hlm. 225–226
[18] Disadur dari al-Asya’irah
fi Mizani Ahli Sunnah hlm. 692–696 oleh Faishal bin Qazar al-Jasim.
[19] Di antara arti
istawa adalah menguasai. — [Ini adalah catatan kaki yang ditulis oleh Idahram]
[20] Dinukil dari
Syaikh Hasan ibnu Ali as-Segaf saat dia menjelaskan biografi Ibnul Jauzi, lihat
kitab Daf’u Syibhi at-Tasybih, buku tahkikannya, h. 19. — [Ini
adalah catatan kaki yang ditulis oleh Idahram]
[21] Mereka Memalsukan Kitab-Kitab
Ulama Klasik hlm. 74–75
[22] Lihat Silsilah
Ahadits ash-Shahihah I/7–17 dan al-Qaulus Sadid fi Man Ankara
Taqsim Tauhid oleh Syaikh Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad.
Kata pengantar: Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan.
[23] Sebaliknya,
ucapan as-Saqqaf (biasa dituliskan dengan “as-Segaf”) ini yang malah keji
sekali. Aduhai, apakah Anda berani mengucapkan hal itu di hadapan Nabi n\?!!
Pikirkanlah baik-baik!! Lihat pembelaan kami terhadap hadits ini dalam buku
kami Membela Hadits Nabi hlm. 27–48, cet. Media Tarbiyah,
Bogor.
[24] Demikian juga
Idahram, dia menyifati al-Kautsari dengan “al-Allamah”. Lihat bukunya Mereka
Memalsukan Kitab-Kitab Ulama Klasik hlm. 79.
[25] Lihat Kutub
Hadzara Minha Ulama‘ 1/301 oleh Syaikhuna Masyhur bin Hasan alu
Salman.
[26] Imam
al-Asy’ari Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Kaum Mu’tazilah,
Jahmiyyah, dan Haruriyyah mengatakan bahwa istawa maknanya
adalah istaula ‘menguasai’ dan bahwasanya Allah berada di
setiap tempat dan mengingkari kalau Allah di atas arsy-Nya sebagaimana pendapat
ahlil haq, sehingga mereka berpendapat bahwa istawa adalah menguasai.
Seandainya apa yang mereka katakan benar, berarti tidak ada bedanya antara Arsy
dan bumi karena Allah menguasai segala sesuatu.” (al-Ibanah ’an Ushul
Diyanah hlm. 410–411, tahqiq al-Ushaimi)
[27] Lihat
penelitian Dr. Fauqiyah Husain dalam tahqiqnya terhadap al-Ibanah hlm.
21 dan 188.
[28] Tanbih Rajulil Aqil 2/487
[29] Sebagaimana
dikuatkan oleh Dr. Abdurrahman al-Mahmud dalam kitabnya Mauqif Ibnu
Taimiyyah minal Asya’irah 1/354–355.
[30] Lihat al-Uluw 2/1240
oleh adz-Dzahabi.
[31] Majmu’ Fatawa 5/502
[32] Kami banyak
mengambil faedah poin bantahan ini dari ta’liq Dr. Shalih al-Ushaimi terhadap al-Ibanah hlm.
205–208.
[33] Al-Ibanah ’an Ushul Diyanah hlm.
246
[34] Ibid. hlm. 620
[35] Sejarah Berdarah Salafi Wahhabi hlm.
203
[36] Sejarah Berdarah Sekte Syi’ah.
Membongkar Koleksi Dusta Syaikh Idahram. Firanda Andirja, Lc., M.A., hlm.
xviii–xix, Penerbit Nashirusunnah, Tahun 1433 H.
[37] Lihat Bersikap
Adil Kepada Wahhabi. Bantahan Kritis dan Fundamental Terhada Buku Propaganda
Karya Syaikh Idahram hlm. 122–135 oleh A.M. Waskito, Pustaka
Al-Kautsar, Oktober 2011.
[38] Silakan baca
di http://www.gensyiah.com/waspada-buku-sejarah-berdarah-sekte-salafi-wahabi-mengusung-faham-rafidhah-syiah-iran.html
[39] Ibnu Taimiyyah wa ’Ashruhu.
Ara‘uhu wa Fiqhuhu hlm. 154
[40] Abu Hasan
al-Asy’ari: al-Ibanah fi Ushul Diyanah, Universitas Islamiyyah
Madinah, cet ke-5, Kerajaan Saudi Arabia 1409, h. 27. — [Ini adalah catatan
kaki yang ditulis oleh Idahram]
[41] Mereka Memalsukan Kitab-Kitab
Klasik Ulama hlm. 78
[42] Demikian juga
dalam Risalah ila Ahli Tsaghar hlm. 232–236, beliau menukil
ijma’ (kesepakatan ulama) tentang ketinggian Allah di atas Arsy-Nya dan
bahwasanya hal itu tidak bertentangan dengan kebersamaan Allah dengan
hamba-Nya. Demikian juga dalam Maqalat Islamiyyin1/284. Apakah
semua kitab ini dusta seperti klaim sebagian kalangan?! Ataukah karena
bertentangan dengan hawa nafsu dan pemikiran sesat mereka?! Dan lebih
mengejutkan lagi, apabila kita tahu bahwa Abdullah bin Sa’id bin Kullab juga
menetapkan ketinggian Allah di atas langit-Nya. Imam adz-Dzahabi berkata dalam
biografinya, “Dia menulis tentang tauhid dan menetapkan sifat dan bahwa
ketinggian Allah di atas makhluk telah diketahui dengan fitrah dan akal sesuai
dengan nash.” (Siyar A’lam Nubala‘ 11/175)
[43] Al-Ibanah hlm. 423,
tahqiq al-Ushaimi
[44] Risalah fi Dzabbi ’an Abil Hasan
al-Asy’ari, Ibnu Dirbas hlm. 111–112
[45] Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah
wal Jama’ah al-Lalikai 1/204, Dzammul Kalam al-Harawi
4/390, Aqidah Salaf Ashabul Hadits ash-Shabuni hlm. 304.
[46] Syarh Ushul I’tiqad al-Lalikai:
937, Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah 1/85 oleh Ibnu Abi Izzi
al-Hanafi.
[47] Siyar A’lam Nubala‘ 10/610
[48] Mukhtashar al-’Uluw hlm.
278–279
[49] Sebagian
sahabat kondang Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Dalam al-Qur‘an, terdapat
seribu dalil lebih yang menunjukkan bahwa Allah tinggi di atas makhluk-Nya.” (Majmu’
Fatawa 5/121)
[50] Penulis telah
membahas masalah ini secara khusus dalam bukunya Di Mana Allah.
Pertanyaan Penting yang Terabaikan, cet. Media Tarbiyah, Bogor. Silakan
menelaahnya.
http://abiubaidah.com/mereka-membenci-kitab-al-ibanah-karya-abul-hasan-al-asyari-bagian-2-dari-2-tulisan.html/
Komentar
Posting Komentar