SALAFI, antara Tuduhan & Kenyataan Bag.2



Bag 2 (sambungan) ..
[Panjang memang, tapi mengilmuinya akan menghindari diri dari kejahilan (kebodohan) dan aneka tipu daya. Aamiin 🤲]
🗨Jawaban Terhadap Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj, M.A. (Ketua Umum PBNU)🎭
Sangat disayangkan, seorang Profesor Doktor yang bernama KH. Said Agil Siraj ikut-ikutan pula memberi kata pengantar dan menganjurkan untuk membaca buku yang sangat tidak ilmiah dan penuh dengan kedustaan serta pemutarbalikan fakta ini, bahkan Profesor memujinya sebagai karya ilmiah.
Buku ini juga penuh dengan prasangka buruk terhadap negeri yang dibangun oleh Al-Imam Muhammad bin Su’ud dan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumallah, yaitu Kerajaan Saudi Arabia (KSA).
Saya tidak tahu, mungkinkah sang profesor lupa dengan jasa-jasa pemerintah Saudi Arabia terhadapnya, dimana profesor belajar dari tingkat S1 sampai meraih gelar doktor di universitas yang ada di Kerajaan Saudi Arabia yang dibiayai oleh Pemerintah Saudi Arabia.
Berikut ini beberapa catatan terhadap kata pengantar sang Profesor:
1. Tuduhan Profesor bahwa sahabat yang mulia Amr bin Ash radhiyallahu’anhu melakukan tipuan
Profesor berkata dalam kata pengantarnya, “Ketika Amr bin Ash melakukan tipuan dengan mengangkat Mushaf Al-Qur’an sebagai tanda perdamaian, Ali r.a.¹³ dan komandan pasukannya Malik Ibnu Asytar, tidak mempercayainya. Tapi karena didesak oleh sekelompok orang, akhirnya Ali r.a. pun menerima perdamaian itu.” (Sejarah Berdarah..., hal. 13)
Jawaban:
Profesor yang terhormat, tidakkah Anda memiliki adab terhadap sahabat yang mulia Amr bin Ash radhiyallahu’anhu dengan menuduhnya telah melakukan tipuan? Apakah Anda lupa bagaimana jasa sahabat dalam menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada generasi selanjutnya hingga hari ini kita bisa mengamalkan Islam? Sulitkah bagi Anda untuk mendoakan Amr bin Ash radhiyallahu’anhu sebagaimana engkau lakukan untuk Ali radhiyallahu’anhu?
Adapun aqidah kami, aqidah yang Anda sebut Wahabi, tidak seperti kaum Syi’ah¹⁴ yang mengkultuskan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu dan membenci para sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang lainnya. Aqidah kami penuh cinta dan penghormatan kepada seluruh sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tanpa terkecuali, karena mereka adalah orang-orang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, dan mereka telah berjasa menyampaikan ajaran Islam kepada generasi berikutnya hingga sampai kepada kita, yang sebelumnya mereka pelajari dengan susah payah dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Aqidah Al-Washitiyyah,
وَمِنْ أُصُولِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَا ةَُِ: سَلَامَةُ قُ لُوبِهِمْ وَأَلْسِنَتِهِمْ لِأَصْحَابِ مُحَمَّدٍ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ لََُيْهِ وَسَلَّمَ
“Dan diantara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah selamatnya hati dan lisan mereka terhadap para sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam syarah-nya menerangkan, “Selamatnya hati adalah tidak membenci, hasad, dengki dan marah terhadap sahabat. Adapun selamatnya lisan adalah tidak mengucapkan sesuatu yang tidak layak bagi sahabat. Maka Ahlus Sunnah wal Jama’ah bersih dari perbuatan tercela itu, hati mereka penuh dengan cinta, penghormatan dan pemuliaan terhadap para sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.”¹⁵
Karena demikianlah yang harus dilakukan generasi umat Islam setelah sahabat, yaitu mendoakan generasi pendahulu mereka dan tidak membenci mereka. Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ جَ اءُوا مِنْ بَ عْدِهِمْ ي قَُولُونَ رَبَّ نَا اغْ رَِْ لَنَا وَلِِْخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَ قُونَا بِالِْْيمَانِ وَلََّ تَجْعَلْ ف ي قُ لُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّ نَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau biarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” [Al-Hasyr: 10]
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata dalam kitabnya Risalah Ila Ahlil Qosim,
“Aku mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, aku hanya menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka, mendoakan keridhoan untuk mereka, memohon ampun untuk mereka, aku tidak berbicara tentang kejelekan-kejelekan mereka dan perselisihan yang terjadi diantara mereka dan aku yakini keutamaan mereka, sebagai pengamalan dari firman Allah Ta’ala,
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." [Al-Hasyr: 10].”¹⁶
Adapun tentang pertikaian dan perselisihan yang terjadi antara para sahabat radhiyallahu’anhum, seperti antara Ali dan Mu’awiyah yang melibatkan Amr bin Ash radhiyallahu’anhum, maka berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah,
وَيُمْسِكُونَ مََُّا شَجَرَ بَ يْنَ الصَّحَابَةِ، وَيَ قُولُونَ: إِنَّ هَذِهِ الْثَارَ الْمَرْوِيَّةَ فِي مَسَاوِيهِمْ مِنْ هَا مَا هُوَ كَذِبٌ، وَمَنْ هَا مَا قَدْ زِيدَ فِيهِ وَنُقِصَ وَغُيِّ رَ نَُْ
وَجْهِهِ، وَالصَّحِيحُ مِنْهُ هُمْ فِيهِ مَعْذُورُونَ: إِمَّ ا مُجْتَهِدُونَ مُصِيبُونَ، وَإِمَّا مُجْتَهِدُونَ مُخْطِئُونَ.
“Ahlus Sunnah wal Jama’ah menahan diri dari pertikaian yang terjadi antara para sahabat. Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa riwayat-riwayat tentang kejelekan para sahabat diantaranya ada yang dusta, ada yang telah ditambah, dikurangi dan dirubah-rubah sehingga tidak seperti kisah yang sebenarnya. Dan yang benar (pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah) dalam masalah pertikaian para sahabat adalah, bahwa mereka diberikan pemaafan, sebab para sahabat adalah mujtahid yang benar mendapat dua pahala dan yang salah mendapat satu pahala.”¹⁷
Apakah Profesor tidak mengindahkan himbauan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam untuk tidak mencela sahabatnya? Sungguh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah mengingatkan:
لََّ تَسُبُّوا أَصْحَابِى لََّ تَسُبُّوا أَصْحَابِى فَ وَالَّذِى نَ سَِْى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْ قَََ مِثْلَ أُحُدٍ ذ هَباا مَا أَدْرَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلََّ نَصِي هََ
“Janganlah kalian mencerca sahabatku, janganlah kalian mencerca sahabatku, demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, andaikan seorang dari kalian bersedekah emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan menyamai satu mud emas yang disedekahkan oleh sahabatku, tidak pula separuhnya.” [HR. Muslim]¹⁸
Kenyataan ini merupakan bukti penyimpangan aqidah dan kecondongan kepada Syi’ah yang ada dalam buku ini, karena memang kelompok Syi’ah yang ajarannya penuh dengan kesyirikan dan bid’ah, yang paling banyak dirugikan dengan munculnya dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
Tidak terkecuali penulis buku ini yang cenderung mengakui Karbala sebagai “tanah suci” versi Syi’ah, walaupun kelihatannya Syaikh Idahram belum berani secara tegas membela Syi’ah dalam buku ini, sehingga saudara Idahram tidak terang-terangan mengatakan bahwa Syi’ahlah yang menjadikan Karbala sebagai kota suci, Idahram berkata, “ada sebagian umat muslim yang menjadikannya sebagai salah satu kota suci.” (Sejarah Berdarah..., hal. 70)
Dan sebetulnya, ucapan Profesor, “Ali r.a. dan komandan pasukannya Malik Ibnu Asytar, tidak mempercayainya. Tapi karena didesak oleh sekelompok orang, akhirnya Ali r.a. pun menerima perdamaian itu,” juga mengandung celaan kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, karena mengandung tiga tuduhan:
Pertama: Ali radhiyallahu’anhu tidak mempercayai seorang muslim yang jujur, Anda pun tidak mampu mendatangkan bukti ilmiah atas tuduhan ini.
Kedua: Ali radhiyallahu’anhu orang yang lemah, yang mudah didesak.
Ketiga: Ali radhiyallahu’anhu seakan tidak mau melakukan perdamaian, padahal dengan itu pertumpahan darah antara kaum muslimin dapat dihentikan. Apakah engkau mengira Ali radhiyallahu’anhu mau terus membunuh kaum muslimin?!
2. Tuduhan Profesor bahwa Imam Muhammad bin Su’ud dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memisahkan diri dari Khilafah Utsmani (Sekaligus jawaban terhadap tuduhan Syaikh Idahram bahwa Wahabi bekerjasama dengan Inggris)
Profesor berkata -dengan tanpa bukti sedikit pun-, “Tapi awal abad ke-18, Gubernur Najd, Muhammad Ibnu Saud, yang didukung seorang ulama bernama Muhammad bin Abdul Wahab memisahkan diri dari Khilafah Utsmani.” (Sejarah Berdarah..., hal. 15)
Jawaban:
Sangat disayangkan seorang Profesor berbicara tanpa sedikit pun memberikan bukti, bahkan bukti-bukti sejarah menuturkan bahwa Najd memang tidak termasuk dalam wilayah kekuasaan Khilafah Utsmani sebagaimana akan kami paparkan insya Allah.
Tidak jauh beda dengan tuduhan dusta Syaikh Idahram (pada hal. 120), “Bekerjasama dengan Inggris Merongrong Kekhalifahan Turki Utsmani.” Ternyata, yang dijadikan bukti oleh Idahram adalah arsip sejarah milik orang-orang kafir Inggris (pada hal. 121).
Padahal dalam ajaran Islam, jangankan kepada orang-orang kafir, berita orang-orang muslim yang fasik saja tidak boleh kita percayai begitu saja. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَي هَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَ تَبَ يَّ نُوا أَن تُصِيبُوا قَ وْاما بِجَهَالَةٍ فَ تُصْبِحُوا لََُى مَا ف عَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” [Al-Hujurat: 6]
Al-Imam Muslim rahimahullah berkata tentang makna ayat di atas, dalam Muqaddimah Shahih-nya,
فَدَلَّ بِمَا ذكََرْنَا مِنْ هَذِهِ الْْ أَنَّ خَبَ رَ الْ اََسِقِ سَاقِطٌ غَيْ رُ مَقْبُولٍ، وَأَنَّ شَهَادَةَ غَيْرِ الْعَدْ لِ مَرْدُودَة
“Maka ayat ini menunjukkan sebagaimana yang kami sebutkan, bahwa kabar yang berasal dari orang fasik itu jatuh, tidak boleh diterima. Dan persaksian seorang yang tidak adil (yaitu tidak beriman dan bertakwa) tertolak.”¹⁹
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga telah memperingatkan:
كَ ىََ بِالْمَرْءِ كَذِباا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seorang dianggap pendusta, jika dia menceritakan setiap yang ia dengar.” [HR. Muslim]²⁰
Mereka yang menjadikan berita-berita orang kafir untuk menghantam kaum muslimin tak ubahnya seperti kata Penyair:
و من جعل الغراب له دليلا يمر به لُى جيف الكلاب
“Siapa yang menjadikan burung gagak sebagai dalil baginya, Maka burung itu akan membawanya melewati bangkai-bangkai anjing.”
Pembaca yang budiman, menjawab tuduhan dusta ini kami nukilkan dulu bagaimana pandangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah terhadap usaha memisahkan diri atau merongrong kepemimpinan kaum muslimin. Beliau rahimahullah berkata dalam Risalah Ila Ahlil Qosim,
“Aku memandang wajibnya mendengar dan taat kepada para pemimpin kaum muslimin, apakah itu pemimpin yang baik maupun jahat, selama mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan.²¹ Dan siapa yang memimpin khilafah dan manusia bersatu dalam kepemimpinannya, mereka ridho kepadanya, meskipun dia mengalahkan mereka dengan pedang sampai menjadi khalifah, maka wajib taat kepadanya dan haram memisahkan diri (memberontak) kepadanya.”²²
Beliau rahimahullah juga berkata dalam kitabnya Sittatu Ushulin ‘Azhimah Mufidah,
“Diantara kesempurnaan persatuan kaum muslimin adalah mendengar dan taat kepada pemimpin meskipun yang memimpin kita adalah seorang budak habasyi (Etiopia).”²³
Beliau rahimahullah juga berkata tentang perangai Jahiliyah dalam kitabnya Masail Jahiliyyah,
“Anggapan kaum Jahiliyyah bahwa menyelisihi pemimpin, tidak mendengar dan taat kepadanya adalah sebuah keutamaan, sedangkan mendengar dan taat kepadanya adalah
kehinaan dan kerendahan, maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyelisihi mereka, beliau memerintahkan untuk mendengar, taat dan menasihati pemimpin.”²⁴
Inilah sesungguhnya pandangan beliau tentang pemberontakan terhadap penguasa muslim, bahwa hal itu diharamkan dalam Islam. Adapun tentang bekerjasama dengan orang-orang kafir dalam memerangi kaum muslimin, beliau rahimahullah berkata dalam risalah Nawaqidul Islam,
“Pembatal keislaman yang kedelapan, bekerjasama dengan kaum musyrikin dan tolong-menolong dengan mereka dalam memerangi kaum muslimin.”²⁵
Bagi orang yang adil dan obyektif, penukilan langsung dari kitab-kitab Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di atas sebenarnya sudah cukup sebagai bantahan terhadap mereka yang menuduh beliau memberontak kepada khilafah Turki Utsmani dengan bantuan orang-orang kafir Inggris. Namun untuk lebih dapat membungkam kedustaan mereka, berikut ini kami nukilkan fakta sejarah bahwa wilayah Najd tidak termasuk wilayah kekuasaan Turki Utsmani ketika itu.
Prof. Dr. Shalih Al-‘Abud hafizhahullah memaparkan hasil penelitian beliau,
“Najd bukanlah termasuk dalam wilayah kekuasaan daulah Utsmaniyah, penguasa Utsmani tidak pernah melakukan perluasan sampai ke Najd, tidak pula para penguasa Utsmani pernah datang ke Najd. Pasukan Turki tidak pernah menembus Najd sebelum munculnya dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Bukti atas kenyataan sejarah ini adalah sebuah studi menyeluruh terhadap pembagian administrasi wilayah daulah Utsmaniyyah, dari sebuah dokumen Turki yang berjudul, “Undang-undang Utsmani yang mencakup daftar perbendaharaan negeri”, ditulis oleh Yamin Ali Afandi, petugas yang menjaga daftar Al-Khaqoni pada tahun 1018 H yang bertepatan dengan 1609 M. Dari dokumen ini jelas bahwa sejak awal abad ke-11 Hijriah, daulah Utsmaniyah terbagi 32 distrik, diantaranya 14 distrik wilayah Arab, dan negeri Najd tidaklah termasuk wilayahnya kecuali Ahsaa, jika kita menganggapnya termasuk Najd.”²⁶
📚 Sekilas Kisah Wilayah Ahsaa
Fakta sejarah di atas menyebutkan bahwa daerah Najd yang termasuk wilayah Utsmani hanya Ahsaa, tetapi pada akhirnya Ahsaa pun lepas karena pemberontakan Bani Khalid yang menganut Syi’ah pada tahun 1080 H, yang pada akhirnya juga Bani Khalid berusaha memerangi Dir’iyyah dan berhasil dikalahkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan pasukannya. Dalam ensiklopedi sejarah Muqotil min Ash-Shohro’, tercatat 7 kali penyerangan Bani Khalid dari Ahsaa ke Dir’iyyah, Qosim dan daerah-daerah yang telah mengikuti dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
Tujuh penyerangan ini terjadi pada tahun 1172 H, 1178 H, 1188 H, 1192 H, 1193 H, 1195 H, dan 1197 H. Pada tahun 1198 H Dir’iyyah baru melakukan serangan pembalasan atas kejahatan mereka. Pada tahun 1207 H, Dir’iyyah bisa menguasai Ahsaa dan menerima permohonan damai yang diajukan oleh penduduk Ahsaa yang tetap bertahan di kota mereka, hingga dibuatlah perjanjian damai.
Adapun sebagian pemimpin Bani Khalid ini lari ke Kuwait dan berhasil membangun kekuatan di sana, maka pada tahun 1208 H Dir’iyyah pun mengejar Bani Khalid sampai ke Kuwait.
Menurut Ensiklopedi Sejarah Al-Muqotil min Ash-Shohro’, yang ditulis oleh lebih dari 10 pakar sejarah, sebagaimana dalam website resminya, bahwa penyerangan Dir’iyyah pertama terhadap Bani Khalid di Kuwait itu terjadi pada tahun 1208 H, berbeda dengan klaim saudara Idahram, pada tahun 1205 H (pada hal. 95).
Dan pada tahun 1208 H, Ahsaa juga mengkhianati perjanjian damai dengan membunuh para pemimpin, pengurus baitul maal dan penasihat yang ditugaskan Dir’iyyah di Ahsaa. Maka Dir’iyyah pun kembali menyerang Ahsaa untuk membalas (qishash) para pembunuh.
Pada tahun 1210 H, Ahsaa kembali memberontak, namun berhasil dipadamkan oleh Dir’iyyah. Inilah rangkaian kejadian penyerangan Ahsaa dan Kuwait yang sebenarnya, tidak sekedar penggalan-penggalan sejarah yang dibuat saudara Idahram (pada hal. 91-93) dan penyerangan Kuwait (pada hal. 95-96).
Maka jelaslah kalau ternyata buku yang diberi kata pengantar oleh sang Profesor ini tidak lebih dari sebuah karya yang sangat tidak ilmiah dan penuh dengan kedustaan serta pemutarbalikkan fakta.
وَالَّذِينَ ي ؤُْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَ قَدِ احْتَمَلُوا ب هُْتَاناا وَإِثْ ا ما مُّبِيناا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” [Al-Ahzab: 58]
3. Profesor Menyesalkan Pembongkaran Terhadap Situs-situs sejarah dan Meratakan Kuburan
Profesor berkata, “Begitu masuk Makah, mereka langsung meratakan semua kuburan, termasuk kuburannya Siti Khadijah, Abdullah bin Zubaer, Asma binti Abu Bakar, kuburan para sahabat, dan semua kuburan ulama.” (Sejarah Berdarah..., hal. 15)
Lalu dengan sangat berlebihan Profesor mengatakan -yang lagi-lagi Profesor berbicara tanpa bukti-, “Situs-situs sejarah perkembangan Islam juga dibongkar: rumah paman Nabi Saw (shallallahu’alaihi wa sallam, pen)...” (Sejarah Berdarah..., hal. 16)
Syaikh Idahram pun tak ketinggalan, Idahram berkata, “Kemudian, mereka menghancurkan kubah di Pekuburan Baqi, seperti kubah Ahlul Bait (isteri-isteri Nabi, anak dan keturunannya) serta pekuburan kaum muslimin.” (Sejarah Berdarah..., hal. 86)
Syaikh Idahram juga berkata, “Sebelum kehadiran mereka, peninggalan bersejarah itu terjaga dengan rapi...” (Sejarah Berdarah..., hal. 105)
Jawaban:
Profesor yang terhormat, menjaga tauhid jauh lebih penting dari sekedar menjaga situs-situs sejarah Islam, sehingga Islam tidak melarang sedikit pun penghancuran tempat-tempat bersejarah demi untuk menjaga tauhid. Tentunya selama itu bukan tempat yang dilarang untuk dihancurkan, buktinya pemerintah Saudi tidak pernah menghancurkan ka’bah, hajar aswad maupun maqam Ibrahim ‘alaihissalam.
Jangankan rumah atau kubah kuburan yang hanya sebuah benda mati, bahkan sebuah pohon yang merupakan makhluk hidup dan saksi sejarah perjuangan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pada peristiwa Bai’atur Ridhwan, bahkan pohon ini disebut dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits; pohon ini ditebang oleh Al-Khalifah Ar-Rasyid Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu, ketika beliau mendengarkan adanya sebagian orang yang mulai melakukan napak tilas sejarah ke pohon tersebut.
Allah Ta’ala menyebutkan tentang pohon ini dalam Al-Qur’an:
لّقَدْ رَضِيَ اللّهُ نَُِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ ي بَُايِعُونَكَ تَحْتَ الشّجَرَة
“Sesungguhnya Allah telah ridho terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon itu.” [Al-Fath: 18]
Juga disebutkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits:
لََّ يَدْخُلُ النَّارَ أَحَدٌ مِمَّنْ بَايَعَ تَحْتَ الشَّجَرَة
“Tidak akan masuk
neraka seorang pun yang berbai’at di bawah pohon itu.” [HR. At-Tirmidzi]²⁷
Namun ternyata, pohon yang sangat bersejarah itu ditebang oleh Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu. Apa sebab beliau menebangnya? Apakah karena di situ terjadi kesyirikan? Jawabannya, belum terjadi kesyirikan di situ. Beliau menebangnya hanya karena khawatir jangan sampai pohon tersebut kelak dijadikan tempat kesyirikan.
Padahal, orang-orang yang datang ke sana tidak melakukan kejahatan dan kemaksiatan yang nampak jelas, yang mereka lakukan hanyalah sholat di bawah pohon itu.
Al-Imam Ibnu Wadhdhah rahimahullah menuturkan:
أَمَرَ مَُُرُ بْنُ الخطابِ رَضِيَ اللهُ نَُْهُ بقطعِ الشَّجَرَةِ التي بوْيعَ تَحْتَ هَا النَّبيُّ صَلَّى اللَّهُ لََُيْهِ وَسَ لَّمَ ، فقطعَهَا ، «: سَمِعْتُ يُِْسَى بْنَ ي وُْنسَ يَقوْلُ
لأَنَّ النّاسَ كانوْا يَذْهَبُ وْنَ فيصَلوْنَ تَحْتَ هَا ، فخافَ لَُيْهمُ ال تَِْنة
“Aku mendengar Isa bin Yunus berkata, Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu memerintahkan untuk memotong pohon yang di bawahnya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dibai’at, maka dipotonglah. Hal itu dilakukan karena orang-orang pergi ke pohon itu untuk sholat di bawahnya, maka beliau khawatir mereka akan ditimpa fitnah (syirik).”²⁸
Adapun menghancurkan kubah-kubah di kuburan dan meratakannya, inilah salah satu isu mereka untuk memberi kesan jelek terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Dalam hal ini, mereka memanfaatkan keawaman sebagian besar kaum muslimin yang tidak mengetahui hakikat permasalahan ini.
Padahal, meratakan kuburan yang ditinggikan memang perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan telah diamalkan dengan baik oleh sahabat dan tabi’in. Al-Imam Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj An-Naisaburi rahimahullah meriwayatkan:
نَُْ أَبِى الْهَيَّاجِ الأَسَدِىِّ قَالَ قَالَ لِى لَُِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ أَلََّّ أَبْ عَثُكَ لََُى مَا بَ عَثَنِى لََُيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله لُيه وسلم أَنْ لََّ تَدَعَ تِمْثَالَّا إِلََّّ - -
طَمَسْتَهُ وَلََّ قَ بْ ارا مُشْرِفاا إِلََّّ سَوَّيْ تَه
“Dari Abul Hayyaj Al-Asadi rahimahullah, beliau berkata, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata kepadaku, akan aku utus engkau sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah mengutusku; janganlah engkau biarkan sebuah patung (dalam riwayat lain: gambar bernyawa) kecuali engkau hancurkan, dan tidak pula kuburan yang ditinggikan, kecuali engkau ratakan.” [HR. Muslim ]²⁹
Sebagaimana Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga melarang kaum muslimin membangun kuburan, seperti dalam hadits:
نَ هَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله لُيه وسلم أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْ رُ وَأَنْ ي قُْعَدَ لََُيْهِ وَأَنْ ي بُْ نَى لََُيْه - -
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang untuk mengapur kuburan, duduk di atasnya, dan dibangun di atasnya.” [HR. Muslim]³⁰
Pembesar ulama Syafi’iyyah, Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
“Adapun membangun di atas kuburan, apabila tanah pekuburan milik orang yang membangunnya maka hal itu makruh³¹ dan jika di pekuburan umum maka haram, hal ini seperti dinashkan oleh Asy-Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah. Berkata Al-Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm: Dan aku melihat para Imam di Makkah memerintahkan untuk menghancurkan kuburan yang dibangun. Adapun dalil yang mendukung penghancuran kuburan adalah sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam (kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu):
وَلََّ قَ بْ ارا مُشْرِفاا إِلََّّ سَوَّيْ تَه
“Dan tidaklah ada kuburan yang ditinggikan kecuali engkau ratakan”.”³²
Pembaca yang budiman, ternyata menghancurkan dan meratakan kuburan memang perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, diamalkan oleh sahabat dan tabi’in, juga dianjurkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam An-Nawawi serta diperintahkan oleh para imam di Makkah yang hidup di zaman Al-Imam Asy-Syafi’i.³³
Walhamdulillah, ketika para pelaku syirik dan bid’ah membangun kembali kuburan-kuburan di Makkah, Madinah dan sekitarnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan pasukannya menghancurkan bangunan-bangunan itu kembali setelah sekian lama diagungkan dan disembah oleh sebagian orang. Maka pantas kalau banyak ulama menggelari beliau sebagai Mujaddid (pembaharu).
Asy-Syaikh Muhammad bin Utsman Asy-Syawi rahimahullah menceritakan kisah yang terjadi pada tahun 1343 H, yaitu penghancuran kuburan di kota Makkah yang telah dijadikan arena kesyirikan oleh sebagian orang, beliau berkata,
“Ketika kami selesai melakukan umroh, kami segera menghancurkan kubah-kubah (kuburan), dan kami dapati sesuatu yang sangat berat untuk diceritakan, yang berada pada kubah yang dibangun di atas kuburan Ummul Mukminin Khadijah radhiyallahu’anha. Diantaranya kami dapati sebuah surat permohonan (doa) yang berbunyi, “Wahai Khadijah, wahai Ummul Mukminin, kami datang berziarah kepadamu, kami berdiri di pintumu, maka janganlah engkau menolak kami sehingga kami merugi, berilah syafa’at kepada kami, agar sampai kepada Muhammad, agar sampai kepada Jibril, agar sampai kepada Allah”. Kami juga mendapati di kuburan tersebut kambing sesajen untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Khadijah radhiyallahu’anha.³⁴
Tidak diragukan lagi, berdoa kepada selain Allah Ta’ala dan menyembelih untuk selain-Nya adalah perbuatan syirik, sebab do’a dan menyembelih adalah ibadah, maka mempersembahkan doa dan sembelihan kepada selain Allah Ta’ala berarti beribadah kepada selain-Nya. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
الدُّ اَُءُ هُوَ الْعِبَادَةُ ثُمَّ قَ رَأَ )وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْ وُُنِى أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ نَُْ بَُِادَتِى سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ(
“Doa itu adalah ibadah. Lalu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam membaca firman Allah Ta’ala, “Dan Robbmu telah berfirman, berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan, sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah (doa) kepadaku, mereka akan masuk neraka dalam keadaan hina.” [HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi]³⁵
Beliau shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda:
لَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ
“Allah Ta’ala melaknat orang yang menyembelih untuk selain-Nya.” [HR. Muslim]³⁶
Inilah sesungguhnya salah satu sebab pertikaian yang terjadi antara Ahlus Sunnah dan Ahlul Bid’ah, ketika Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menguasai suatu negeri maka misi utama beliau dalam penguasaan negeri itu adalah untuk melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, diantaranya menghancurkan kuburan-kuburan yang ditinggikan, dan sebabnya jelas, bahwa pengagungan terhadap kuburan telah mengantarkan sebagian orang kepada penyembahan terhadap kuburan tersebut, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pun bersikap tegas dalam permasalahan ini.
فَا تَُْبِرُوا يَا أُولِي الأَبْصَار
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” [Al-Hasyr: 2]
🖋Catatan Kaki 👣:
¹³ Penulisan shalawat dan doa radhiyallahu’anhu dengan disingkat menjadi “saw” dan “ra” itu juga bukan cara yang baik. Profesor dan penulis buku ini sudah terbiasa menyingkat shalawat dan doa. Bagaimana pandangan ulama dalam masalah ini?
Al-Imam As-Sakhawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Fathul Mughits Syarhu Alfiyatil Hadits lil ‘Iraqi, “Dan jauhilah wahai penulis, menuliskan shalawat dengan singkatan, yaitu menjadikannya dua huruf dan semisalnya, sehingga bentuknya kurang. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Al-Kattani dan orang-orang jahil dari kalangan ‘ajam (non Arab) secara umum dan penuntut ilmu yang awam.”
Al-Imam As-Suyuthi rahimahullah berkata dalam kitabnya Tadribur Rawi fi Syarhi Taqrib An-Nawawi, “Dibenci menyingkat tulisan shalawat dan salam di sini dan di setiap tempat yang disyari’atkan padanya shalawat, sebagaimana dijelaskan dalam Syarah Muslim dan kitab lainnya.” [Lihat Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Bin Baz rahimahullah (2/399)]
¹⁴ Profesor sendiri memang sempat gerah ketika dituduh sebagai penganut Syi’ah ketika mencalonkan diri sebagai ketua PBNU. Namun dengan adanya pernyataan ini semakin mengindikasikan pengaruh Syi’ah terhadap pemikiran Profesor. Tidak heran jika seorang penulis pernah berkata tentang Profesor, “Tokoh ini khabarnya berbau Syi’ah. Pernah menggegerkan ketika ia berbicara dan menulis makalah yang isinya menuduh bahwa orang-orang Arab, begitu Nabi saw (shallallahu’alaihi wa sallam, pen) meninggal maka mereka meninggalkan agamanya, dan yang tidak hanya kaum Quraisy, dan itupun bukan karena Islam, tapi karena kesukuan. Karena berani memurtadkan orang-orang sekitar Nabi saw (shallallahu’alaihi wa sallam, pen), maka khabarnya Said Agil Siraj ini dikafirkan oleh sekian kiai.”
Penulis ini juga menginformasikan, “Ketika Agil Siraj bersaing mencalonkan diri sebagai ketua umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) dengan KH Hasyim Muzadi untuk menggantikan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) yang sedang jadi Presiden, ada selebaran di Muktamar NU di Jawa Timur. Isinya, jangan pilih orang yang suka blusak-blusuk (keluar masuk) ke gereja.”
¹⁵ Syarhul Aqidah Al-Washitiyyah, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah, 2/247-248.
¹⁶ Syarhu Risalah Ila Ahlil Qosim, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, hal. 129-130.
¹⁷ Syarhul Aqidah Al-Washitiyyah, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin, 2/285-287.
¹⁸ HR. Muslim no. 6651 dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
¹⁹ Shahih Muslim, 1/8.
²⁰ HR. Muslim no. 7 dari Hafsh bin ‘Ashim radhiyallahu’anhu.
²¹ Maksud beliau rahimahullah, jika perintah itu merupakan maksiat kepada Allah Ta’ala maka tidak boleh ditaati, namun tetap wajib taat pada perintah yang lain, yang bukan merupakan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala.
²² Syarhu Risalah Ila Ahlil Qosim, Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 157.
²³ Silsilah Syarhir Rosaail, hal. 34.
²⁴ Syarhu Masaail Jahiliyyah, Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 47.
²⁵ Silsilah Syarhir Rosaail, hal.231.
²⁶ Lihat Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wa Atsaruha fil ‘Alam Al-Islamy, 1/27, sebagaimana dalam Da’awa Al-Munawi’in, hal. 303-304.
²⁷ HR. At-Tirmidzi dan beliau berkata, hadits ini Hasan Shahih dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhuma, dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 7680.
²⁸ Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah dalam Al-Bida’ wan Nahyu ‘Anha, sebagaimana dalam Fathul Majid Syarah Kitab At-Tauhid, Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah, hal. 255.
²⁹ HR. Muslim no. 2287 dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu.
³⁰ HR. Muslim no. 2289 dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhuma.
³¹ Yang lebih tepat -wallahu A’lam-, hukumnya juga haram, karena keumuman dalil dan tidak ada dalil yang memperkecualikan kuburan yang dibangun oleh pemilik tanah pekuburan.
³² Syarah Muslim, Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, 7/27.
³³ Apakah kalian akan menuduh Imam Syafi’i dan Imam Nawawi sebagai Wahabi?! Bukankah Wahabi yang lebih layak berbangga andaikan boleh saling membanggakan diri- dengan mazhab Syafi’i?!
³⁴ Lihat Al-Qoulul Asad, Qof (3), sebagaimana dalam Da’awa Al-Munawiin, hal. 421.
³⁵ HR. Abu Daud no. 1481 dan At-Tirmidzi no. 3247 dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu, dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud, no. 1329.
³⁶ HR. Muslim no. 5239, 5240, 5241 dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu.

Bersambung, Insyaallah.. 👌

Komentar