SALAFI, antara Tuduhan & Kenyataan Bag.10

[..baik Ahmad Zaini Dahlan yang dijadikan rujukan maupun Idahram sendiri, tidak sedikit pun bisa mendatangkan bukti atas tuduhan keji lagi dusta tersebut..]

Sambungan.
SALAFI, antara Tuduhan & Kenyataan
Bag.10

🏹 2. Pertempuran di Hijaz (Makkah, Madinah, Thaif dan sekitarnya)

Seperti biasa, rujukan saudara Idahram dalam memaparkan “fakta-fakta” sejarahnya kepada buku Ahmad Zaini Dahlan, seorang yang terkenal sangat memusuhi dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan tidak segan berdusta demi untuk menghalangi tersebarnya dakwah beliau.

Dalam memaparkan kisah pertempuran di Thaif (hal 77-81) saudara Idahram dengan keji menuduh seorang ulama yang mulia Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan pasukannya membunuh kaum muslimin, tanpa kecuali orang tua, wanita dan anak-anak di pangkuan ibunya.

سُبْحَانَكَ هَذَا ب هُْتَانٌ يََُِّمٌ

“Maha Suci Engkau (Ya Rabb kami), ini adalah dusta yang besar.” [An-Nur: 16]

Sayang sekali, baik Ahmad Zaini Dahlan yang dijadikan rujukan maupun Idahram sendiri, tidak sedikit pun bisa mendatangkan bukti atas tuduhan keji lagi dusta tersebut.

Sehingga Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Basyir As-Sahsawani rahimahullah berkata, “Jawaban terhadap tuduhan-tuduhan ini, semuanya dusta yang keji, maka janganlah engkau tertipu akan banyaknya kekejian mereka.”⁸⁵

Pembaca yang budiman, mari kita lihat jalannya sejarah “penaklukan” Hijaz lebih utuh, bukan hanya sekedar penggalan-penggalan cerita seperti yang dikutip saudara Idahram. Berikut ini akan kami paparkan rangkaian kejadian yang sebenarnya:⁸⁶

Pergesekan antara Dir’iyyah dan Makkah terjadi karena adanya kepentingan Penguasa Makkah yang terusik di Najd. Sikap permusuhan Penguasa Makkah ini berujung pada pelarangan naik haji oleh Asy-Syarif Manshur bin Sa’id (penguasa Makkah) terhadap seluruh pengikut dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.

Pengganti beliau, saudaranya Asy-Syarif Mas’ud juga tidak merubah kebijakan yang zalim ini. Akan tetapi pada tahun 1183 H/1769 M, pasukan kecil Saudi di Najd, berhasil menahan orang-orang Hijaz yang ketika itu dipimpin oleh Asy-Syarif Manshur.

Ketika mereka dibawa ke Dir’iyyah, Al-Imam Abdul Aziz bin Muhammad rahimahumallah memuliakan dan membebaskan mereka tanpa ada denda sedikit pun, sehingga karena kebaikan ini para pengikut dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah diberi izin untuk berhaji.

Bahkan pada tahun 1185 H/1771 M, Penguasa Makkah ketika itu, Asy-Syarif Ahmad bin Sa’id meminta kepada Penguasa Dir’iyyah agar mengirim untuk mereka seorang ulama, sehingga dapat menjelaskan kepada ulama Hijaz hakikat dakwah yang diserukan Dir’iyyah.

Maka dikirimlah Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Al-Hushain rahimahullah dengan membawa surat dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Al-Imam Abdul Aziz bin Muhammad rahimahumallah kepada Syarif Makkah, dan inilah usaha pertama untuk berdakwah kepada ulama, penguasa dan penduduk Hijaz.

Namun sayang, hubungan yang baik antara Dir’iyyah dan Hijaz tidak berlangsung lama, hal itu karena Asy-Syarif Ahmad dilengserkan dari kekuasaannya oleh saudaranya sendiri Asy-Syarif Surur bin Musa’id yang kemudian menggantikan posisinya.

Pada zamannya, Dir’iyyah harus kembali meminta izin untuk menunaikan ibadah haji. Walau pada akhirnya diizinkan, namun dengan syarat harus membayar pajak.

Maka pada tahun 1197 H/1782 M, jama’ah haji Dir’iyyah memasuki kota Makkah setelah pemimpin Dir’iyyah membayar mahal kepada Asy-Syarif Surur.

Lalu pada tahun 1202 H/1787 M, Asy-Syarif Surur meninggal dan digantikan saudaranya Asy-Syarif Ghalib bin Musa’id.

Awalnya Asy-Syarif Ghalib kelihatan ingin memperbaiki hubungan dengan Dir’iyyah, namun ia pada akhirnya tidak bisa menerima prinsip-prinsip dakwah Dir’iyyah seperti yang dilakukan saudaranya terdahulu Asy-Syarif Ahmad yang tidak pernah mempermasalahkan prinsip-prinsip dakwah tersebut. Sampai akhirnya, Asy-Syarif Ghalib kembali melarang jama’ah haji Dir’iyyah untuk memasuki kota Makkah.

Pada tahun 1205 H/1709 M, Asy-Syarif Ghalib menyiapkan pasukan tempur berkekuatan 10.000 tentara untuk memerangi Dir’iyyah, yang dipimpin oleh saudaranya Asy-Syarif Abdul Aziz bin Musa’id.

Dalam perjalanan ke Dir’iyyah mereka sampai ke daerah As-Sir, lalu mengepung benteng istana Bassam selama 4 bulan lamanya.

Setelah itu, pada bulan Ramadhan/Mei di tahun yang sama, mereka mengepung daerah Asy-Syu’ara’ selama sebulan lamanya, pengepungan ini pun dengan tambahan pasukan dari Hijaz yang dipimpin langsung oleh Asy-Syarif Ghalib.

Dua daerah yang diserang ini tetap bertahan, sampai akhirnya pasukan Hijaz kembali ke Hijaz karena musim haji semakin dekat, tanpa membawa kemenangan secara utuh.

Pada tahun 1210 H/1795 M, Asy-Syarif Ghalib kembali menyiapkan pasukan besar yang dipimpin oleh Asy-Syarif Fuhaid untuk menyerang Dir’iyyah. Maka terjadilah perang besar di dataran tinggi Najd, ketika pasukan Hijaz menyerang kabilah Qahthan yang tinggal di sana.

Pertempuran pertama dimenangkan oleh pasukan Hijaz dengan meninggalkan korban yang tidak sedikit pada kabilah Qahthan. Sehingga Asy-Syarif pun mengirim pasukan pada pertempuran kedua yang dipimpin oleh Asy-Syarif Nashir bin Yahya.

Pada pertempuran kedua ini barulah Dir’iyyah berhasil mengirim pasukan bantuan kepada kabilah Qahthan untuk membela diri dari serangan pasukan Hijaz, pada akhirnya pasukan Hijaz mengalami kekalahan besar dalam pertempuran ini.

Sayang sekali, Penguasa Hijaz belum puas dengan kezalimannya, pada bulan Syawwal tahun 1212 H/1798 M, dia memanfatkan kesibukan Dir’iyyah di Utara dengan mengirim pasukan besar untuk menyerang kabilah-kabilah yang telah mengikuti dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di daerah Raniyyah, Baisyah dan Turbah di kota Al-Khurmah.

Mulanya pasukan Hijaz telah berhasil mengalahkan kabilah-kabilah ini, namun setelah Dir’iyyah mengirimkan pasukan bantuan, pasukan Asy-Syarif pun bisa dikalahkan, sehingga kabilah-kabilah tersebut selamat dari pemusnahan.

Setelah kekalahan ini, barulah Asy-Syarif memohon perdamaian kepada Dir’iyyah dan diterima dengan baik oleh Penguasa Dir’iyyah. Diantara kesepakatannya, mengizinkan jama’ah haji Dir’iyyah untuk menunaikan haji selama enam tahun dan membagi kekuasaan terhadap kabilah-kabilah.

Pada tahun 1217 H/1802 M, terjadi perpecahan internal di Hijaz diakibatkan kezaliman Asy-Syarif, sehingga sebagian kabilah yang ada di bawah kekuasaan Asy-Syarif memisahkan diri dan ingin bergabung dengan Dir’iyyah.

Termasuk salah seorang menteri Asy-Syarif yang bernama Utsman bin Abdur Rahman Al-Mudhayafi juga memisahkan diri dan mendirikan pusat pemerintahannya di Al-Ubaylaa, yang terletak antara Turbah dan Thaif. Inilah akar peperangan Thaif.

Ketika Utsman bin Abdur Rahman Al-Mudhayafi memisahkan diri dari Asy-Syarif, bergabunglah kabilah-kabilah lain yang juga tidak puas dengan kepemimpinan Asy-Syarif Ghalib.

Kabilah-kabilah tersebut berasal dari Thaif dan sekitarnya, sehingga Asy-Syarif Ghalib pun menyerang Thaif, namun mereka berhasil mempertahankan diri sehingga Asy-Syarif kembali ke Makkah.

Melihat keadaan ini, maka Dir’iyyah mengangkat Utsman bin Abdur Rahman Al-Mudhayafi sebagai gubernur Thaif untuk mempertahankan Thaif.

Dari sinilah kemudian penguasa Dir’iyyah, Al-Imam Su’ud rahimahullah baru benar-benar menyiapkan pembalasan untuk Asy-Syarif Ghalib pada tahun 1217 H/1803 M.

Mendengar rencana ini, Asy-Syarif Ghalib memohon bantuan kepada Daulah Utsmaniyyah di Turki namun tidak ada jawaban sediki tpun atas permohonannya.⁸⁷

Bahkan Asy-Syarif memaksa jama’ah haji untuk membantu mereka berperang melawan Dir’iyyah. Sehingga Al-Imam Su’ud rahimahullah menunggu sampai berakhir musim haji dan jama’ah haji kembali ke negeri mereka masing-masing.

Tentang permohonan Asy-Syarif kepada Daulah Utsmaniyyah yang tidak ditanggapi, diakui juga oleh Ahmad Zaini Dahlan, dia berkata,

“Pemimpin kami Asy-Syarif Ghalib mengirim kabar kepada daulah tertinggi (di Turki) tentang Al-Wahhabiyyah, beliau juga mengirim As-Sayyid Muhsin bin Abdullah Al-Hamud dan As-Sayyid Husain, mufti Malikiyyah, tetapi daulah Utsmaniyyah tidak mempedulikan permohonan ini.”⁸⁸

Ketika Asy-Syarif merasa tidak mungkin bisa melawan Dir’iyyah, ia pun melarikan diri dari Makkah ke Jeddah, kekuasaan Makkah pun berpindah kepada saudaranya Asy-Syarif Abdul Mu’in bin Musa’id. Pada akhirnya Asy-Syarif Abdul Mu’in mengumumkan bahwa Makkah tunduk kepada Dir’iyyah dan menyatakan kesiapan untuk menyerahkan Hijaz kepada Dir’iyyah dengan syarat beliau tetap sebagai Penguasa Makkah.

Al-Imam Su’ud rahimahullah pun menerimanya pada bulan Muharram tahun 1218 H/1803 M, beliau dan pasukannya lalu memasuki Makkah tanpa peperangan, lalu dibacakan jaminan keamanan dari Penguasa Saudi untuk penduduk Makkah.

Berikut naskah surat jaminan keamanan tersebut:

“Dari Su’ud bin Abdul Aziz kepada seluruh penduduk Makkah, ulama, pembesar dan para qadhi, salam sejahtera kepada siapa saja yang mengikuti petunjuk. Kalian adalah tetangga dan penduduk Al-Haram yang aman, sesungguhnya kami hanyalah mengajak kalian kepada agama Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Dan dia berbicara dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa dan dia termasuk di antara orang-orang yang saleh.” [Ali Imron: 46].

Maka kalian ada dalam perjanjian Allah, dan perjanjian Amirul Muslimin Su’ud bin Abdul Aziz dan pemimpin kalian Abdul Mu’in bin Musa’id, maka tetaplah mendengar dan taat kepadanya selama ia taat kepada Allah. Wassalam.”

Jaminan keamanan kepada penduduk Makkah, pemerintah dan ulamanya ini sekaligus bantahan terhadap tuduhan dusta saudara Idahram atas pembunuhan ulama di Makkah yang tidak sefaham (pada hal. 96), kejadian ini juga sebagai bantahan terhadap tuduhan membunuh ulama yang tidak sefaham –yang tidak terbukti- di negeri-negeri lainnya, karena kenyataannya ketika menguasai Makkah, Penguasa Saudi memberikan jaminan keamanan kepada ulama, bagaimana bisa dituduh membunuh ulama?!

Setelah itu Al-Imam Su’ud rahimahullah memerintahkan penduduk Makkah untuk mempelajari dan mengamalkan dakwah perbaikan yang beliau serukan, barulah beliau menghancurkan kubah-kubah dan simbol-simbol kesyirikan yang dibangun di atas kuburan-kuburan. Lalu beliau meninggalkan Makkah, kembali ke Dir’iyyah.

Bersambung Insyaallah.. 🤲

🖊 Catatan Kaki 🦶:

⁸⁵ Lihat Shiyanatul Insan, hal. 498.
⁸⁶ Kami ringkas dari website resmi Ensiklopedi Sejarah Muqotil Min Ash-Shohro, karya ilmiah kumpulan peneliti sejarah.

⁸⁷ Hal ini menimbulkan tanda tanya besar, apakah Hijaz masih berada di bawah penguasaan Daulah Utsmaniyyah ataukah berdiri sendiri dengan Asy-Syarif sebagai pemimpinnya? Ataukah memang Daulah Utsmaniyyah di masa itu sudah begitu lemahnya hingga penguasaannya terhadap Hijaz hanya tinggal nama? Yang pasti, penguasaan Saudi atas Hijaz akibat ulah penguasa Hijaz sendiri yang menyerang Dir’iyyah, itu pun dia lakukan beberapa kali baru kemudian Dir’iyyah melakukan pembalasan setelah para Syarif tidak menaati perjanjian damai.

Terlebih di masa para Syarif, Hijaz penuh dengan kesyirikan dan penyembahan terhadap kuburan, maka sungguh tidak pantas dua kota suci ummat Islam dibiarkan begitu saja tanpa dibersihkan dari kesyirikan dan bid’ah. Dan yang patut dicatat, penguasaan Saudi atas Hijaz bukanlah untuk memberontak dan memisahkan diri dari Daulah Utsmaniyyah, sehingga tidak terdapat satu pun data ilmiah berupa pernyataan resmi memisahkan diri dari Daulah Utsmaniyyah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Saudi. Fa’tabiru yaa Ulil Abshar!

⁸⁸ Khulasatul Kalam fi Umara Al-Bait Al-Haram, Ahmad Zaini Dahlan, hal. 266, sebagaimana dalam Ensiklopedi Sejarah Muqotil Min Ash-Shohro, dalam website resminya.

http://www.fb.com/sofyanruray.info | www.sofyanruray.info | @SofyanRuray

Disunting dan dirapiin untuk posted di FB (agar nyaman mengilmuinya), biiznillah, by @nhc ummu my beloved son.

Selalu dengan rasa cinta kepada saudara/i ku kaum Muslimin/mah, wherever you are .. 🌹💙

Komentar